Saturday 14 April 2007

Semua tentang Rindu

Aku tertatih menyusuri jalanan gelap. Membawa tubuhku yang menggigil menahan rindu. Rindu pada kekasihku yang telah lama tak kujumpai dan menemuiku. Kau memang tak pernah menyadari aku telah melibatkan emosi dan perasaanku saat bersamamui, kalaupun kau sadari mungkin kau akan mengacuhkannya. Menganggapnya rindu yang biasa tak istimewa dan tak perlu kau perhatikan.

Rindu itu hampir membuatku mati – beberapa saat lagi. Atau mungkin juga tidak jika saja aku segera dapat bertemu denganmu dan memenuhi segala hasrat untuk memilikimu. Memuaskan dahagaku pada cintamu. Tubuhku menggigil menahan rindu. Rindu pada kekasihku yang semakin dalam dan menyeret tubuhku pelan menghampiri kepunahan, yang mungkin akan terabaikan.

Aku terus berjalan. Menyusuri jalanan gelap, nyalang menatap nomor demi nomor berderet memastikan bahwa itu bukan nomor rumahmu, atau mungkinkah nomormu telah terlewat oleh mataku yang tak berguna ini. Jika ya, mungkin aku harus segera menggantinya dengan mata yang baru agar bayanganmupun tak bisa terlewatkan.

Aku takut, kau kekasihku tengah bergumul dengan wanita lain di dalam sana. Dalam keremangan cahaya lampu yang hangat, pelukan seharum kesturi dan kecupan lembut bidadari. Ah, andai saja kesempatan itu datang aku akan jadikan diriku bidadari untukmu, dengan sepinggan cinta dan setandan kesetiaan, tidak cukupkah ? Dan desah memburu itu, pasti akan membuatku cemburu sangat cemburu. Kau akan meregutnya, mencumbunya, menyusuri lembah dan bukit – bukit yang bukan milikku. Aku meratap penuh cemburu.

Angin mulai menderu dasyat. Hampir – hampir menerbangkan sehelai kain yang membalut tubuhku. Tak ada kain yang lain, setelah semuanya kau lempar keluar malam itu. Aku berusaha memcarimu, kekasihku. Untuk mencairkan kebekuan rinduku setelah malam itu kau dinginkan aku dalam rindu, hingga tak ada lagi yang tersisa dalam benakku kecuali rinduku padamu.

Ranting – ranting mulai berjatuhan. Menimpa kepalaku yang mulai pening, penuh dengan rindu. Menimpa tubuhku yang mulai letih, menopang kerinduan yang putih.

Gesekan angin dan ranting bahkan membuatku berharap, itulah kita. Dengan sepenuh kerinduan yang dapat kita tumpahkan. Tidak hanya berupa azl, tapi cinta, sebenar – benarnya rindu.

Rembulan dengan sinarnya yang magis bahkan mungkin akan menertawakanku yang menggelandang berbalutkan rindu padamu. Atau mungkin juga rembulan akan setia menemaniku, mengantarkan kerinduan ini utuh untukmu seperti juga kerinduannya pada malam yang akan terus menjemputnya menuntaskan rindu. Tapi tidak, bahkan mungkin dia tak akan sekuat itu. Sekuat aku yang tertatih menyusuri jalanan gelap demi rinduku.

Argh… mengapa aku harus jatuh cinta padamu ? yang akhirnya akan membebaniku dengan rinduku. Dan mengapakah kau harus berhenti malam itu, memintaku untuk bercinta dua jam denganmu. Ada apa dengan ban mobilmu yang tiba – tiba harus kempes saat tiba tepat di hadapanku.

Aku tertatih menyusuri jalanan gelap. Membawa tubuhku yang menggigil menahan rindu. Rindu pada kau kekasihku. Yang mungkin tak pernah kau sadari, kalaupun kau sadari mungkin kau akan mengacuhkannya. Menganggapnya rindu yang biasa yang tak perlu kau perhatikan.

Kepak kelelawar hampir saja pudarkan lamunanku. Tapi tidak kekasihku, rindu ini terlalu berat. Amat sangat teramat berat. Membuatku menggigil dengan gigi gemelutuk harusnya kusebut namamu tiga kali, hingga luntur rinduku. Seperti lunturnya kegundahan akan penolakanmu. Tapi tidak bahkan namamu saja aku tak pernah tahu, sepanjang yang ku tahu, Kekasihku itulah namamu.

Aku memang bodoh tapi tentu saja aku tak sebodoh itu, paling tidak dua putaran waktu telah kuhabiskan untuk belajar dan aku pernah melaluinya dengan baik. Ingatanku pun lancar, selancar aku ingat bagaimana raut wajahmu saat memelukku. Merasuki badanku dengan penuh pesona. Menarik nafas panjang sebelum akhirnya tergolek dalam pelukanku. Menebarkan kelembutan yang telah lama kurindu.

Ach.. kekasih andai saja tak kau sebutkan sebuah kata dalam mimpimu bersamaku yang hanya sesaat tak mungkin aku akan merasa serindu ini padamu. Bahkan mungkin aku akan mengacuhkanmu, setelah kau angsurkan beberapa lembar ratusan ribu.

Tidak, tidak. Harusnya tak kusinggung hal itu, paling tidak sampai aku sadari aku telah memendam rindu. Ada banyak yang ingin kukatakan. Sampai rasanya berjuta kata yang kuingat tak mampu lagi mengungkapkan. Betapa aku rindu padamu.

Mataku masih saja nyalang. Hingga nomor rumah ini kukenali benar. Ya ya inilah rumahmu itu. Seperti tertera pada identity card-mu. Kupastikan cahaya rembulan yang terpantul tak berdusta, karena aku tahu bahkan rembulanpun takkan pernah mendukungku persembahkan rinduku.

Sebuah lorong gazebo panjang. Sunyi, aku tahu tak ada satupun yang memihakku. Tidak juga angin ataupun derik serangga malam.

@@

Aku ingin menuruti kata hatiku untuk mengulurkan tangan dan tergesa – gesa mengetukkannya di pintu rumahmu. Tapi dadaku berdebar kencang, siapakah yang akan menyambut ketukanku ?

Mungkinkah seringai lembut wajahmu yang bernafsu atau nyinyir wanita yang telah menjadi peliharaanmu. Menunjukku tepat di dahiku dan menumpahkan sumpah serapah menyebutku sebagai penganggu suami orang ?

Aku bergidik nyeri. Haruskah kuakui kenyataan itu, seorang perempuan malam telah jatuh cinta pada pelanggannya ? Oh, seandainya saja semua paham tentang bahasa rindu yang tengah aku pendam.

Kutuang Vodka hingga tetes terakhir menitik berakhir di ujung mulut gelasku. Menyulut sebatang rokok putih dan mencoba mengusir penatku. Malam yang gagal. Ada banyak tawaran tapi kenapa semuanya tampak hambar ?

“Apa lagi yang kau cari ? kamu disini bukan untuk menghabiskan minumanku kan ?” Parau suara Tante Feni mengusik telingaku yang setengah terbuka. Penguasa tunggal komplek ini mulai tak suka dengan tingkahku yang mulai tak wajar, mungkin sebentar lagi aku akan dibentaknya, diusirnya atau dilemparkannya kembali ke jalanan sama seperti ketika pertama kali dia menemukanku. Wanita keji yang membuat seseorang yang pernah ditolongnya mendendam.

Aku menggeleng tak berniat menjawabnya. Dia menajamkan pandangannya. “Aneh, tak seperti biasanya kamu berlaku seperti ini. Ingat Yas, tak banyak perempuan di lokalisasi ini yang punya kelebihan seperti kamu. Pelanggan kamu banyak, tapi akhir – akhir ini kamu seringkali mengecewakan mereka. Kamu tolak mereka. Kamu seharusnya sadar, didunia kita ini semuanya adalah bisnis. Atau kamu sudah merasa kaya hingga tak perlu lagi uang mereka heh ?” Nyinyir suara Tante Gendut itu mengusikku juga akhirnya.

“Aku belum kaya Tante tapi kalau hanya untuk membayar minumanmu dan juga sewa tempatmu aku masih mampu. Berapa sih jumlah semuanya ?” tanyaku sambil beranjak pergi. Perempuan tambun itu makin memuakkan. Kalau saja, aku mau sejak dari kemarin – kemarin aku hengkang dari tempat terkutuk ini dan menerima tawaran Diah, teman seprofesiku, melengkapi koleksinya di Aquarium showroom salonnya. Tapi aku masih segan, pertama kali dulu setidaknya Tante bengkak itulah penolongku – dia mencarikan pelanggan pertama untukku.

Aku meninggalkan tempat Tante Feni diiringi pandangan sinis lewat matanya yang menyipit. Makin lama dia makin mirip babi gendut saja runtukku mencoba menawarkan perasaanku.

Aku mungkin mendendam pada diri dan juga penciptaku – andai saja aku bisa. Seandainya aku bisa menggugat, akan kugugat kenapa Dia ciptakan aku untuk hidup dan terpuruk dalam lembah ini. mungkin semuanya masih bisa kuterima seandainya perasaan dan emosiku tak bisa kulibatkan dalam takdirku. Dan sekarang, karena itulah aku menanggung rindu. Rindu yang teramat sangat dan harus kutuntaskan.

Malam merambat cepat – aku berharap semuanya segera usai hingga rasa rinduku terkubur demi melihat matahari. Tapi tidak, malam malah merangkak pelan setelah melewati tengah malam. Andai saja aku bisa, tentunya telah kuterima ajakan beberapa pelangganku untuk menemaninya bercinta. Menghabiskan beberapa waktu dan menunggu matahari menjemput rinduku. Tapi sayang aku tidak bisa, perasaanku berkata lain ; mungkin sebentar lagi dia akan datang, memintaku untuk menemaninya, satu jam, dua jam, tiga atau hingga ujung usia menjemputku. Aku rela dan berjanji tak akan memintanya meninggalkan lembaran ratusan ribu untuk menebus tubuhku. Aku ikhlaskan seluruh rinduku untuknya.

“Yas, lari ada razia Trantib.” Teriak Tante Feni tergopoh – gopoh melintasiku yang gontai menyusuri rel kereta api. Aku bergeming, mungkinkah selarut ini ? bukankah setahuku tempat ini sudah dibekingi oleh beberapa petinggi yang juga pelanggan kami.

“Yas… cepat…” teriak Leni mencoba mendahuluiku disusul oleh beberapa teman yang lain. Dengus nafasnya bahkan terdengar keras hinggap di telinga kananku. Mereka tak lagi peduli pada keadaan dirinya. Mereka berlari seolah – olah dikejar setan, aku tetap berjalan tenang seakan tak terjadi apapun. Petugas – petugas itu tak biasanya bersikap keras dan liar seperti ini. Tapi aku mencoba memaklumi, merekapun butuh uang seperti kami. Kami dan mereka sama – sama hanya bertahan hidup, layaknya Tuhan yang telah menciptakan kucing diantara tikus.

Seseorang menepuk pundakku dan meraih tanganku. Dadaku berdesir tak percaya. Bukankah ini sang kekasih itu ? seseorang yang hampir pasti telah menguasai seluruh jiwaku ? aku berkedip tak percaya. Aku tak mungkin salah, rahangnya yang kokoh, genggaman tangannya yang kuat tapi lembut, bau mulutnya yang sejak pertama kali telah terpatri diotakku. Itulah dia, sang kekasih bagiku.

“Hai Kamu, ayo ikut.” Dia menarikku. Tentu saja aku mau, bukankah selama ini aku telah mencarinya kemana – mana. Mencoba menyusuri aroma tubuhnya yang terbawa olah angin malam. Mencoba mendengarkan bisikannya melalui desahan rembulan.

Dia membawaku kedalam sebuah mobil patroli terbuka, melemparkan tubuhku kedalamnya dan menyerahkannya berdesak – desakan dengan tubuh – tubuh kotor lainnya.

“Mas, apa kamu tidak mengingatku ? malam itu ….” Aku menatapnya, berusaha membangkitkan memori malam saat rinduku mulai terbentuk.

Dia menatapku sinis, “Kamu jangan coba – coba. Saya tidak kenal kamu ! dasar pelacur.” Dia menghardikku keras hingga cukup untuk memadamkan rasa rinduku yang menggelora, menyurutkannya dan mencoba mengartikan bahasanya yang tak kunjung kumengerti namun akhirnya berhasil juga kuterjemahkan bisikan angin malam itu, “ Pria hidung belang ….”

@@

Cungkup Asri, 25 Oktober 2006 22.23

Untuk : Teman2 di Bandungan

Pengalaman kalian adalah pengalamanku

No comments: