Thursday 31 May 2007

My Journey Is Beginning !!!

Hai....
I already make a big mistake ! I just out from my J O B !! I told to my master that i don't like be goverment worker. I want make my dream come true.... but the problem is... i don't know who i must keep on the GOD way... Just prayer me and wait for 3 year, i will tell u much.......... see u...

Na.....! just call me Na !

Sunday 20 May 2007

"SKENARIO"

Aku berteriak marah, tak ada seorangpun yang berhak menulis skenario hidupku, tak ada tidak juga mereka Polisi, Wartawan dan juga Atasan – atasanku. tapi teriakkanku luruh ditelan gemuruh air terjun yang mengalir deras. Aku memilih berlari, daripada menghadapi arogansi mereka. Aku tak ingin kemarahanku hanya berujung kemarahan yang mendendam, walaupun aku bukan siapa – siapa.

Aku adalah Khabil, anak manusia yang harus terbunuh karena keserakahan Habil saudaranya sendiri. Hanya saja, kenapa mereka memilihku untuk membunuhku pelan – pelan dan bukannya memuntahkan peluru tepat diatas kepalaku ? atau mungkin lebih baik mereka menghujamkan mata belati itu tepat di ulu hatiku, dengan begitu dalam hitungan detik rohku akan melesat meninggalkan ragaku, tanpa kesakitan yang berarti. Seketika aku telah menjelma menjadi tambang emas yang menggiurkan tanpa harus berpanas – panas mendulang satu – dua gelas air limbah dan memutarnya seharian.

“Itu bukan skenario kami, melainkan skenario Tuhan.” teriak salah seorang diantara mereka. Aku menjerit histeris, bahkan mereka telah membawa – bawa nama Tuhan. Demi Tuhan, mereka sungguh jahanam ! Aku menangis, menggulung tubuhku dalam lumpur penyesalan. Kalian semua biadab, kalian putuskan benang harapan seorang manusia, kalian terbangkan layang – layang pengharapan anak – anak yang menantikan kasih Ibunda.

Terbayang olehku wajah polos kedua anakku, bagaimana harus kuhadapi tatapan bening mereka saat menagih kasih. Aku tak kuasa, kemarahan membelengguku. Mengikatku dengan jeratan kegusaran yang dalam.

“Kamu terlalu emosional Nduk, bukankah sudah kukatakan kamu jangan lakukan itu, itu hanya akan menyengsarakanmu, seharusnya....” Laki – laki sepantaran Almarhum Ayah yang botak itu tiba – tiba datang bagaikan angin beliung yang menyebalkan sekaligus memuakkan. Wajahnya berkilat dipenuhi oleh minyak dari makanan yang tak halal, mengingatkanku pada patung cina yang pendek, gemuk dan berisi.

“Diam !” Potongku, kejadian ini sudah cukup untuk mengajariku. “Tak ada lagi yang berhak untuk mengguruiku !” Aku menolak sekuat tenaga, tapi sia – sia, wajah misionaris yang sengaja dikirimkannya untukku itu kembali tersenyum lebar. Kalian benar, kalian adalah pemburu yang dipersiapkan untuk berburu manusia sepertiku, yang bahkan dalam keadaan terikat dan tak berdayapun masih kalian todongkan senjata untuk di rampok dan diperas.

“Biarpun kamu terima atau kamu menolaknya, aku tak akan pernah merugi Nduk.” Bisiknya lirih, seolah angin sepoi tapi terdengar jelas di telingaku.

Aku tersenyum sinis, “Tentu saja karena kalian memang bangsat licin dan terkutuk.” Kataku tak kalah lirih. “Apa yang kau bawa ?”

“Aku membawa pesan dari luar penjara, katakan kau mau mendengarnya. Jangan sampai aku bicara sia – sia.” Sekali lagi batinku mengutuk, bangsat licik, jahat dan terkutuk.

“Katakan aku akan mendengarnya.” Kataku memalingkan wajah. Kuangkat daguku tinggi – tinggi, kuletakkan kakiku ke atas kursi tunggu tamu sel jahanam. Tak ada ruginya aku berbuat tidak sopan, walaupun sudah terlalu sering kudengar keberatan mereka dengan orang – orang yang meremehkan.

“Beri mereka uang, dan semuanya akan selesai persis seperti yang engkau kehendaki. dan jangan sampai kamu berteriak meminta pertolongan, pasal yang akan dikenakan untukmu akan diperberat.” Bisiknya tepat di dahiku hingga seketika kata – kata itu menempel dan tak akan pernah lagi terlepas untuk selamanya. Kutatap wajahnya yang licin dan senyumnya yang ringan seolah dia sedang menikmati sebuah permainan yang menyenangkan. Ujung – ujung jarinya membentuk isyarat tertentu menunjukkan sejumlah bilangan.

Aku tertawa, berusaha untuk tampak lebih licik dan angkara. “Kau pikir aku akan sebodoh itu ?” Bisikku dalam hati. Aku bagian dari mereka, aromaku sama seperti aroma mereka, wajahku mungkin juga seperti wajah mereka – hanya mungkin tak terlalu licin dan berminyak, hingga ayunan langkah merekapun sudah tertebak dan terangkai dalam otakku. Sebuah trap dan jebakan yang dikhususkan untukku. Bidak demi bidak, seperti rangkaian rel kereta api yang saling bertaut. Sederhana tapi rumit. Mereka pasti berharap agar aku melewatinya dan hup aku terjerumus hingga tak akan pernah bisa bangkit.

Tapi aku tak pernah takut, sekalipun pada ancaman – ancaman yang telah mereka buat dan perberat. Aku merasa tubuhku seringan kapas ketika kulminasi penyesalan menimpaku. “Sebaiknya kamu pulang, kamu salah alamat, datang padaku. aku tak punya cukup harta berharga untuk ditukar dengan semua omong kosong itu, pun seandainya aku punya lebih baik kubeli pendulum keadilan daripada kuberikan pada kucing – kucing garong itu.”

Kata – kata yang ngawur dan jelas membabi buta. Bagaimana jika manusia – manusia busuk yang kusebut kucing garong itu mendengar aku bicara ? pasti akan lebih buruk akibatnya untukku, pasal – pasal dalam lembaran rekayasa itu akan segera mendapatkan cairan tip ex yang tumpah tanpa pertimbangan keesokan harinya. Atau mungkin besok pagi, sebilah belati akan terhunus di depan leherku.

Laki – laki sebaya Ayah itu menganggukkan kepala segera setelah puncak kesadarannya terkumpul dan menyimpulkan dia tak akan pernah mendapatkan apa – apa dariku. Dia menyerah kalah pada kegigihannya membujukku untuk tetap menutup mulut dan merahasiakan kedatangannya yang dikirim oleh Script Writter yang merasa berhak menulis tentang hidupku. Laki – laki itu pergi meninggalkan busuk tubuhnya yang tertinggal pada udara penjara.

Aku tersenyum lebar, aku memang tak mempunyai apa – apa yang berharga tapi Tuhan tak akan pernah meninggalkanku. Jikapun akhirnya datang sekumpulan penjual berita – yang hanya berisi tentang fitnah, isu dan gosip, semuanya sudah tertebak olehku. Dan mereka hanya menulis sesuatu yang buruk tapi cukup untuk membuat keluarga mereka berlega hati – dia mendapat upah dari berita fitnah itu, Berita tentang penganiayaan seorang perempuan yang mepertahankan harga dirinya dan sedikit dibumbui oleh kisah tragis yang sudah pasti bohong. Aku tiba – tiba saja menjadi seorang selebriti yang ceritanya dibawa oleh penikmat – penikmat berita koran beroplah ribuan itu.

Aku harus puas karena lagi – lagi aku tak pernah punya pembela yang benar – benar tulus membelaku dan berfihak padaku, karena aku tak pernah bisa membayarnya dan sebab lain adalah karena aku bukan siapa – siapa.

“Lihat, akibat keras kepalamu, kamu tak lagi tertolong.” Seseorang melemparkan halaman koran itu tepat didepan hidungku. Aku mendengus kesal, apalah artinya aku, sebuah titik dalam selembar surat kabar, nol tak ada ! Sebuah rumput di Padang rumput luas, tak akan pernah bisa mengubah kehidupan sekalipun harus dicabut, diinjak atau dilenyapkan !

Kututup mataku rapat – rapat, tempat ini benar – benar salah sekalipun benar bukan, bukan tempat ini yang salah melainkan skenario hidupku terlalu menarik untuk tidak diinginkan. Mereka ingin menambakan koma, titik bahkan jika dan seandainya dalam deretan kalimat dan plot alur ceritanya. Tangan – tangan kejam dan tak berkemanusiaan itu ingin menuliskan sesuatu dalam lembar – lembarnya, continued walaupun seharusnya tamat, more seharusnya end. Sebelum tab dan enter.

Aku merasa jijik ketika tubuh tua yang – aku selalu berdo’a dia lebih cepat mampus, mungkin sebab wajahnya sudah menghitam gosong terpampang matahari saat berjemur menunggu mangsa, itu memnghampiriku, membentakku dan menanyakan apa aku mengakui kesalahan yang telah kuperbuat.

Aku tersenyum lebar, “Ya, aku akui kesalahanku, walaupun aku lakukan kesalahan itu karena dia telah bersalah kepadaku dan aku harus membalasnya.”

Laki – laki tua itu tidak pernah sepakat dengan kalimatku, menurutnya vocabulary ku benar – benar payah dan nilai bahasa Indonesiaku dulu mungkin dibawah enam atau lima, walaupun aku merasa bukan itu, tapi karena pelajaran idealisme kehidupanku – dalam sub keegoan, yang terlalu berlebih nilai.

Seketika, penglihatan, pendengaran dan perasaan berubah. Aku bukan koruptor, pencuri, perampok dan pemalak pinggir jalan tapi kabar dari neraka dunia mendenging hebat di telingaku. Mengabarkan sakaratul maut tanpa kematian yang segera akan datang.

Dan akibatnya aku harus dihukum, “Aku tolak pengacara yang akan membelamu.”

Aku tersentak, tapi seketika aku harus puas. Inilah aku, disinilah aku seharusnya dengan seluruh idealisme dan ke egoanku yang berlebih nilai. Tak ada yang harus kutukar, uang, harta, lembar berharga, tanah, dengan harga diri. Aku hanya tak mau mereka menuliskan skenario hidupku sekalipun mereka merasa berhak dan mau. Aku bukan siapa – siapa karena itu pula aku tak pernah takut dinginnya dinding penjara dan ganasnya sengatan nyamuk untuk sebuah idealisme dan harga diriku.

Aku bahkan bisa menebak, setelah dua laki – laki sepantaran Ayahku itu akan datang kembali misionaris – misionaris yang diutus untuk memngabarkan sebelum skenario film hidupku tertulis dengan airmata darah anak – anakku yang tak akan pernah bisa terhapus. Tapi aku tetap tertawa lebar, “Semua boleh meninggalkanku tapi Tuhan tak akan meninggalkanku.”

##

17-04: 23.16

Untuk : Sony SET.

Stoples Milik Eyang

Lebaran masih beberapa hari lagi tapi Eyang sepertinya sudah kehabisan waktu untuk mempersiapkannya. Seharian yang lalu Eyang sibuk menyuruh Yu Pah dan Yu Poni untuk menumbuk kopi, bakal seduhan minuman kesukaan Pakde Slamet dan Om Yan. Eyang bahkan mengawasi langsung ketika Yu Pah menggorengnya. Disisi pawon Eyang sibuk memberi intruksi kapan kopi harus dibalik, diberikan sedikit kelapa dan berapa banyak kayu bakar yang harus dimasukkan ke lelengan pawon hingga api yang diinginkan pas dengan ukuran. Biasanya Eyang menggoreng kopi dan menumbuknya sendiri. Walaupun memakan waktu yang lebih lama tapi Eyang selalu puas dengan hasilnya. Kopi Eyang selalu jadi bahan obrolan sepanjang lebaran. Tidak ada duanya, khas rasanya, sip lah, ok lah dan sejuta pujian yang lain.

Selain kopi ada banyak hidangan yang Eyang persiapkan untuk menyambut kedatangan anak, menantu dan cucu – cucu tersayangnya. Maklum, keluarga Eyang keluarga besar. Mereka tersebar ke seluruh Indonesia, bahkan hingga bermukim di Australia. Dan seperti diketahui mudik selalu jadi rutinitas liburan lebaran yang tidak boleh terlewatkan. Hukumnya wajib dan tak terbantahkan.

Seperti Lebaran tahun – tahun sebelumnya, Eyang sudah mempersiapkan banyak kue dan bakal hidangan tahan lama khasnya. Kue Cucur untuk Pakde Jupri yang datang dari Jepara, Kue Banjar khusus untuk Pakde Ponco yang bertugas di Sampit, Kembang Goyang kesukaan Om Hadi yang setiap lebaran pasti akan terbang langsung dari Australia, Serabi Notosuman buat Om Yan yang cuti bertugas dari Papua sedangkan untuk Bapak, sebuah stoples paling besar berisi kue ting – ting kacang. “Buat Werkudaraku harus yang paling besar,” Kata Eyang yang suka sekali mengatakan anak – anaknya adalah para Pandawa Lima dan sekarang kue – kue itu sudah tertata apik di stoples – stoples kaca besar dan bening yang sejak minggu pertama puasa sudah dicuci bersih dan di lap keringkan. Mirip aquarium hanya isinya makanan.

Eyang memandangi stoples – stoples cantik itu dengan masgul. Aku mendekatinya, sekilas Eyang tampak resah. Dia menghela nafas panjang hingga dadanya yang menipis kelihatan tertarik kebelakang, “An, kenapa Pakde – pakdemu, Bapakmu dan juga Om mu pada belum datang ya ?”

Aku berkernyit heran, “Datang ? lebaran masih lama Yang. Masih dua hari lagi. Lagipula biasanya mereka baru datang saat takbir sudah berkumandang.” Sambil berkata kuraih stoples yang berisi kue kembang goyang dan menaruhnya di sisi terluar. Jujur saja diantara isi stoples – stoples itu, kembang goyanglah yang tampak menarik warna – warninya menggoda. Hijau muda, kuning dan merah jambu. Yang lain melulu coklat dan kusam.

Eyang menatapku tak senang, “Sembrono,”

Aku terjingkat, nada bicara Eyang mendadak berubah. “Napane Eyang yang sembrono ?” aku berusaha menetralisir suasana dengan menggunakan bahasa jawa. Biasanya suasana hati Eyang akan luntur kalau aku gunakan jurus itu.

Eyang menarik stoples kembang goyang dari pelukanku dan kembali meletakkannya ketempatnya semula. Urutan keempat dari sisi terluar. Persis seperti urutan semula.

“Ini sudah Eyang letakkan sebagaimana harusnya ! jangan diowahi lagi !” tukas Eyang sembari pergi. Kuikuti wajah kondenya hingga hilang di balik horden ruang belakang.

Aku kembali mengamati deretan stoples – stoples itu. Stoples yang tiba – tiba saja membuat Eyang tak betah berlama – lama di dekat ku, yang membuat Eyang membentakku tak senang. Kue Cucur, Kue Banjar, Kembang Goyang, ting – ting kacang dan Serabi Notosuman semuanya berderet – deret memenuhi meja. Bahkan bale – bale mungil untuk jumeneng Eyang sehabis salat Ied dan menerima sungkeman dari seluruh anggota keluarga.

Lebaran pertama rumah sepi ini harus selalu berubah menjadi ramai. Lima anak Eyang semuanya laki – laki dan semuanya berada jauh di luar kota. Hanya Eyang dan aku cucu dari anaknya yang ketiga yang berada di rumah ini, menemaninya melewati hari tuanya. Eyang dahulu bekas kepala sekolah perawat jaman belanda. Tak heran kalau beliau sangat disiplin dan selalu menjaga kebersihan. Rumah yang kami huni sebenarnya bukan rumah modern melainkan rumah kuno dengan gaya dan arsitektur jaman belanda. Pintunya dua kali lipat tinggi badanku. Temboknya tebal dan daun pintunya berat, tapi karena Eyang tak pernah lalai merawatnya, rumah ini kelihatan jauh lebih klasik dan nyaman. Bunga – bunga di taman depan, samping dan belakang tak pernah berhenti bermekaran. Dan yang menjadi favoritku adalah Patung dewa aquarius yang terletak disudut taman dia tak pernah berhenti mengalirkan air dari kendinya. Kata Papa, patung itu sudah ada sejak dia kecil dan konon sengaja dibawa dari Muntilan atas pesanan Eyang Kakung.

Eyang memanggilku, memintaku untuk memeriksa apakah kue – kue dalam stoples itu masih utuh ataukah sudah berkurang. Jujur saja aku ingin tertawa mendengar permintaan Eyang, andai saja aku punya sedikit keberanian pasti aku akan mengatakan kalau saja stoples – stoples itu berisi gula – gula bisa dipastikan kalau semut sudah menyerbunya habis dan tanpa harus memeriksanya stoples – stoples itu pasti sudah berkurang isinya.

Aku hanya mengiyakan, kuhampiri stoples – stoples itu dan berlagak memeriksanya, padahal yang sebenarnya aku cuma membungkukkan badan dan mematut – matut bayangan wajahku yang tergambar jelas di kaca stoples walaupun sekarang wajahku dipenuhi oleh gambaran minyak. Aku tersenyum, dan mulai berhitung, lebaran masih dua hari lagi dan stoples – stoples ini sudah dipenuhi oleh makanan, masing – masing sudah punya tangan favorit yang akan memegang dan mulut tersendiri yang akan mencicipinya dan dideretan ini tak ada makanan atau stoples favorit yang Eyang sediakan untukku. Tapi pikiran itu hanya sekilas mengusikku, toh aku malah bisa dengan mudah mencicipi isi stoples manapun, walaupun semuanya hingga kini tak mengusik rasa inginku.

Aku kembali mendapati Eyang yang masih membenarkan letak sanggulnya – hal yang paling aku sukai adalah berada di dekat Eyang, Eyang perempuan klasik yang menurutku sangat unik dan eksentrik, Dia tak pernah lupa menanamkan bunga kantil pada untaian rambutnya yang dikonde, merapikan sirih dan membumbuinya sebelum mengunyahnya, memasukkan dupa ratus wangi ke dalam kamar mandi bersamanya saat mandi, bertapih dan berkebaya terawang tapi herannya tak pernah sekalipun Eyang masuk angin atau diare, padahal usia Eyang sudah hampir menginjak tujuh puluh tahunan.

“Yang, stoplesnya masih utuh, tapi isinya ...” Kataku hati – hati.

Eyang menghentikan penyisirannya dan meletakkan cemoro di atas meja rias dan menatapku menunggu.

“Tapi isinya masih utuh kok Yang,” Kataku meneruskan dan tertawa lebar. Aku takut Eyang marah kalau aku tak segera menjelaskan.

“Bocah, bercanda saja.” Eyang mengumpat. “Coba sekarang kamu telpon Pakde, Bapakmu dan Om – Om semua. tapi jangan, sebaiknya Eyang sendiri yang akan telepon menanyakan kapan mereka mau pulang. An, kamu pencetkan nomor mereka, biar Eyang sendiri yang bicara.”

Telepon ? Eyang ingin telepon ? Ah gawat, Eyang pasti akan lupa waktu dan berlama – lama bicara, dengan telaten akan ditanyakannya kabar dari semua keluarga yang dia telepon. Padahal, tempat tinggal Pakde dan Om semua harus pakai SLI atau SLJJ. Dan bisa ditebak, bulan depan Eyang pasti menanyakan, kenapa rekening telepon melonjak banyak. Eyang menatapku, aku menurut, kuangkat telepon flexi dan membawanya lebih dekat ke tempat Eyang berada.

“Eyang sudah kangen sekali ya ?”

Eyang memandangku, “Eman dengan stoples itu.” bisik Eyang dan kembali mendengarkan nada sambung di telinga kanannya.

Aku terperanjat, Eyang telepon hanya kerena stoples itu ?

@@

Aku baru saja selesai cuci muka dan berniat untuk wudhu ketika Eyang berteriak – teriak memanggilku dari dalam kamarnya. Hari ini akan menjadi hari yang sangat melelahkan, Lebaran besok pagi, itu artinya aku harus segera berbenah. Pakde, Bapak dan semua keluarga besar akan tiba hari ini. Padahal Yo Pah dan Yu Poni sudah pulang kampung sejak kemarin sore. Eyang kembali memanggilku, kali ini mungkin dengan mengerahkan sebagian besar tenaganya. Secepat kilat aku melangkahkan kaki ke kesana. Tidak seperti biasanya, Eyanglah yang terlebih dahulu bangun, terkadang dialah yang membangunkanku untuk sholat atau mengajakku menemaninya duduk dan minum kopi di teras samping, tapi ini lain, atau mungkin tadi Eyang telah bangun dan tidur kembali. Ataukah kondisi Eyang kurang fit tapi tak mungkin, Eyang tak gampang sakit.

Kubuka pintu kamar Eyang yang ternyata tak terkunci. Gelap gulita, mungkinkah bohlam lampunya mati atau kucoba menekan – nekan steker lampu ternyata hasilnya nihil, lampu tak juga menyala. kubuka pintu lebar – lebar, sial lampu ruang tengah terlalu temaram untuk bisa melihat kedalam kamar Eyang. Kucoba membiasakan mataku untuk beberapa saat dan kulihat Eyang sedang merintih kesakitan.

“Yang, Eyang kenapa ?” Tanyaku cemas, tak biasanya Eyang seperti ini.

“Eyang menutup wajahnya dengan lengan kanannya, sedangkan tangan kirinya berpegangan kuat pada sisi tempat tidur. Eyang tak menjawab hanya merintih kesakitan.

“Yang, kita ke dokter ya ? biar An panggilin taksi.” Eyang tak menjawab. Aku panik, apalagi setelah itu terdengar erangan Eyang yang menyayat hati. Kuurungkan niatku untuk memanggil taksi. Kuraih selimut yang merosot kebawah dan membetulkannya kembali menutupi tubuh Eyang tapi Eyang menendangnya seketika hingga selimut itu kembali luruh ke bawah. Mungkin Eyang kegerahan. Kuraih tangan kiri Eyang yang ternyata sangat kuat berpegangan pada sisi tempat tidur, saat itulah aku baru sadar kalau Eyang sedang dilanda kesakitan yang teramat sangat. Aku mulai membisikkan kalimat pemandu pada Eyang yang segera mengikutinya.

Perasaanku bercampur aduk, saling bergulat dan membelit dalam hati. Genggaman tangan Eyang akhirnya mengendur, saat itulah aku merasa jiwaku sudah keluar meninggalkan ragaku, sebetik airmata bergulir di pipiku. Eyang sudah tiada.

Kupanggil Pak Jo, pesuruh kami, setelah segenap kekuatanku terkumpul dan perasaanku kembali tertata. Pak Jo segera mengganti bohlam lampu itu dengan cekatan. Pria tua yang tak banyak bicara, seperti itulah yang dikehendaki almarhumah Eyang.

“Sudah Mbak,” Kata Pak Jo.

“Tolong nyalakan Pak.” Kataku lirih, walaupun aku berusaha menahan, airmata itu tetap tak berhenti mengalir, ada banyak kenangan dan keinginan yang terlepas dengan kepergian Eyang. Sesuatu yang ingin kuratapi dan kusesali sekaligus ingin kuikhlaskan saat itu juga sekalipun berat.

Pak Jo menekan steker dan seketika ruangan dipenuhi cahaya. Pak Jo terkejut mendapati keadaanku dan juga keadaan Eyang yang telah sempurna. dan aku lebih terkejut karena disamping Eyang berderet – deret stoples cintanya untuk anak – anaknya.

@@

April 07 : Untuk stoplesku

sampai kapan akan mengurungku ?