Thursday 27 March 2008

dEaR mR. MoSqUIto

Ya ampun, ini malam ketiga aku tinggal di petak kost ini dan itu artinya selama dua malam pula aku sama sekali tidak bisa tidur. Untunglah, aku sedang libur panjang karena sengaja mengambil cuti untuk pindah rumah. Kalau tidak, entah bagaimana harus ku pertanggung jawabkan rasa kantukku di depan teman – teman dan atasan.
Sekarang, aku harus bisa tidur nyenyak, habiskan sepanjang malam nati dengan episode – episode mimpi indah, bukannya nightmare lagi dan besok, hari senin akan menjadi hari pertama yang menyenangkan, penuh semangat dan tentu saja masuk kerja minus kantuk.
Jam tujuh kurang, selepas ku tunaikan ibadah, aku bergegas ke warung pojok komplek. Kubeli sekaligus tiga sachet anti nyamuk lotion merek ternama, aroma jeruk rasanya boleh juga, wangi dan manis… hm smoga nyamuk menjadi jauh.
Dengan penuh rasa confidence, aku bergegas pulang, shalat isya dan bersiap – siap untuk tidur. Masih terlalu sore memang tapi tinggal di komplek kost yang hanya seorang diri tanpa tape dan televisi mau apa lagi ? terlebih aku baru saja berada disini sementara tetangga kanan kiriku semuanya ibu – ibu. Mana bisa aku bergaul begitu saja, sok tahu, sok kenal, sok akrab.
Kuperhatikan lagi daftar urut trik – trik untuk menghadapi nyamuk itu, menurutku sebenarnya nyamuknya tapi teman – teman dikoloni mereka jumlahnya ribuan bahkan jutaan, entah berapa lipat dari populasi manusia Jakarta.
Aku mulai pasang trik pertama, memakai baju training panjang full neck dan super tebal, lalu segera rebah ditempat tidur, memanjatkan do’a dan bergegas memejamkan mata.
Tapi ugh, sinar bohlam yang terlalu terang menyilaukan mataku. Hmm… padahal nyala bohlan yang terang juga merupakan bagian dari deretan trik – trik yang harus kupakai. Aku bahkan mendapatkan mendapatkan trik ini dari Roni ketika aku keluhkan perilaku buruk nyamuk yang ikut tinggal dirumah kontrakanku.
“Kamu sih tidur pake acara gelap – gelapan. Nyamuk paling suka gelap. Coba deh lampu tetap kamu nyalakan kalau perlu ganti dengan yang terang.. 100 watt kek jangan cuma yang kerlap – kerlip doang.” Bujang lampung itu memberiku petuah panjang, mengingatkanku pada Ompungku di Kampung. Bibirnya yang hitam banyak bicara.
Alhasil saran Roni kuturuti juga dan jadilah saran itu termasuk dalam daftar trik yang harus kupakai untuk melawan nyamuk.
Dasar aku tak terbiasa tidur dengan nyala lampu yang terang benderang, mata ini tak juga mau terpejam, malah kebalikannya nyalang menatap langit – langit. Serba salah kuraih bantal dan kututup wajahku rapat. Aku menggerutu, sia – sia jika gangguan nyamuk hilang tapi aku tetap tak bisa tidur gara – gara nyala lampu. Akhirnya setelah melewati pergulatan hati yang panjang. Aku mematikan lampu. Get n ready to sleep, kataku lega.
Belum seberapa lama impian membawaku terbang, aku kembali terbangun. Ya ampun panas… apa mungkin kipas ngadat ? ah nggak juga…baling – baling kipas bergerak perlahan hingga angin yang dihasilkannyapun hanya sepoi lunglai.. oo..ternyata baju trainning lengan panjang inilah penyebabnya.
Aku menepuk jidatku sendiri, jika harus kubuka baju ini dengan apa harus kubentengi tubuhku dari serbuan nyamuk – nyamuk itu. Bakalan ngiler berat mereka melihat tubuhku yang setengah telanjang, sebab jika kupaksakan juga untuk memakai baju ini pasti aku akan menderita dehidrasi akibat kebanyakan keringat yang membanjir.
Hmm.. aku ingat nasehat Rini, “ Pasang aja kipas anginmu di tombol high speed, di jamin nyamuk bakalan kabur. Ga usah pake lotion juga kagak masalah.”
Benar juga seruku menjentikkan jari. Cepat – cepat kubuka pakaian musim dingin itu, menyisakan underware yang masih melekat dibadanku tanpa pelapis yang lain. Kunyalakan kipas angin dengan tombol high speed. Serbuan angin menyapu wajahku, syukurlah angin kecepatan tinggi itu akan mendinginkan tubuhku sekaligus mengusir nyamuk jauh, harapku dalam hati.
Niatku melanjutkan mimpi yang terpotong terhenti ketika tiba – tiba baling – baling kipas terpental menjebol kerangka besi yang mengurungnya, bergegas ku nyalakan lampu, mesin kipas itu berasap dan segera tercium aroma terbakar. Uff…pantes aja kipas itu itu kan sudah nenek – nenek banget. Maksudku, turun temurun dan udah dipakai selama puluhan tahun. Aku coba mengutak – atik mesinya tapi hasilnya tetap saja nihil.
Lalu bagaimana dengan nyamuk – nyamuk itu, gusar aku keluar kamar. Sebuah sapaan halus terdengar ditelingaku, “kenapa Na ? Insomnia ?” senyum lebar Mbak Yuni menatapku.
Aku menggeleng lemah dan mengadu, “ Bukan Mbak.. Nyamuk.”
“Oh sebentar.” Perempuan tigapuluh tahunan itu masuk kedalam kamarnya dan kembali dengan membawa sebuah semprotan obat nyamuk.
“Nih, coba gih, sekali semprot pasti pasti mati.” Angsur Mbak Yuni seperti iklan nyamuk saja tapi boleh juga sih.
Aku bergegas menutup pintu, jendela dan semua ventilasi lalu menyemprotkan obat pembasmi ke segenap penjuru kamarku penuh semangat empat lima. “Hiih.. mampus loe.” Desisku geram. Setelah yakin dan kurasa cukup aku kembali kekamar Mbak Yuni dan menunggu untuk sementara waktu seperti petunjuk pemakaian yang tertera pada label itu.
Hampir saja aku terlelap ketika sebuah dengungan mengusikku begitu berisik dan baru berhenti tapat diujung hidungku. Sial, kutajamkan penglihatanku. Ini dia, Mr Mosquito – karena tubuhnya yang kukenali paling besar dan kupikir dialah mahluk yang paling pantas menyandang gelar pemimpin di koloninya, berdiri seolah menantangku. Kedua kaki belakangnya terangkat seakan sedang berkacak pinggang. Tubuhnya ditopang oleh dua pasang kaki yang lain. Ekornya terus bergerak – gerak dan bersiap menancapkan belalai penghisap darahnya yang runcing. Kaki yang lain meraba – raba seolah – olah menandai batas wilayah tubuhku yang menjadi kekuasaannya. Reflek kuarahkan tangan kananku dan menerjangnya dengan sekuat tenaga. Plakk… auww… hidungku berdenyut – denyut nyeri, tak ada bangkai Mr. Mosquito dan juga jejaknya. Nyamuk bedebah itu menghilang entah kemana tinggal aku yang menyesali penganiayaan pada diri sendiri.
Oh my GOD. Ternyata mereka telah mempunyai anti bodi terhadap aerosol. Setengah marah kuoleskan tiga sachet sekaligus lotion nyamuk di sekujur tubuhku, tak ketinggalan juga daerah pipi, hidung dan telinga.
Akupun bersiap untuk kembali tidur, tapi astaga barisan nyamuk telah bersiap tempur menghadapiku. Tiga nyamuk paling besar dan kelihatan kejam terlihat bermanuver unjuk kebolehan di barisan yang paling depan, di belakangnya sepuluh, empat puluh bahkan ribuan nyamuk sedang menunggu aba – aba sang pemimpin untuk menyerbu tapi dimana Mr. Mosquito, sang pemimpin itu ?
Mataku liar mencari dan tiba – tiba indra perasaku mengirimkan sinyal sebuah benda asing tengah bernavigasi di bagian tubuhku. Paha !
Benar, mahluk yang kusebut Mr. Mosquito itu tengah meraba – raba urat nadiku dengan belali detektornya. Sedetik kemudian belalai itu telah mengebor pembuluh darahku dan menghisapnya, memindahkan sel – sel hemoglobin ++ ke perutnya dengan rakus.
Aku hampir menjerit histeris kalau saja tidak kulihat gerombolan nyamuk pengacau itu terlihat sedang mengancamku bengis.
Kupikir mungkin mereka akan menyerbu setelah Mr. Mosquito selesai menuntaskan nafsu dahaganya, setelah itu barulah mereka akan menghabisiku hidup – hidup menyedot habis habis darah hingga tak bersisa. Mulai otakku berputar mencoba menghitung berapa banyak darahku yang akan hilang untuk menyuplai kebutuhan pasukan itu. Tapi tetap saja otakku terasa tumpul dan bebal, lagipula dibatinku malah membayang sedotan nyamuk itu membawa dampak ikutan lain, bercak merah di kulit, gatal – gatal, anemia atau bahkan demam berdarah dan malaria.
Kutarik nafas panjang, inilah saatnya aku beraksi, aku tak boleh menyerah begitu saja, pikirku. Sekuat tenaga kuayunkan telapak tanganku, matakupun ngotot menyaksikan detik – detik terakhir ajal raja nyamuk itu.
Plak, Mr. Mosquito terang, mengejek. Kali ini dia hinggap di lenganku yang tak terjaga. Kembali aku beraksi, plak… kembali pula usahaku meleset lagi. Mr. Mosquito terbang terus dan baru berhenti di depan anak buahnya dan Pritt…. Mr Mosquito memberi aba – aba pada pasukannya untuk menyerbuku.
Nanar aku menatap pasukan itu, jujur saja sengat berupa belali kecil itu tampak mengerikan dimataku. Spontan kuangkat busa alas tidurku dan berlindung dibawahnya. Diantara kisi – kisi sprei kulihat ribuan pasukan berbaris setia menunggu kemunculanku. Aku yakin setiap bagian tubuhku keluar dari area persembunyian mereka pasti akan segera melahapnya habis.
Tak rela, sungguh aku tak rela memenuhi kantung – kantung perut mahluk mengerikan itu dengan darah segarku, darah yang masih suci dan belum tercemar uang hasil korupsi – sebab aku hanya seorang staf kecil, kuambil sebuah pencil dan selembar kertas dengan sangat hati – hati dan menghindari kontak mata dengan musuh dihadapanku dan segera menulis ; “Dear Mr. Mosquito, aku tahu seharusnya kalian menghisap darahku seperti yang telah digariskanNya, tetapi ketahuilah darah yang aku punya bukan berasal dari asupan makanan tak halal dan minuman hasil korupsi, untuk itu aku pikir kalian tak boleh menghisapnya setetespun. Aku minta berikanlah waktu sampai besok pagi aku, aku berjanji akan segera pergi dan semoga penghuni setelahku adalah seorang koruptor yang darahnya boleh kalian hisap sesuka hati sampai mati. Terima kasih.
Mr. Mosquito tampak mengangguk – anggukan kepalanya yang mungil. Melambaikan tangan dan bergerak menjauh diikuti oleh barisan nyamuk yang lain. Hah….Aku bernafas lega dan tersenyum lebar, sampai esok pagi.

Jakarta, Juni 07

Tuesday 25 March 2008

PLEASE DON'T TALK ABOUT LOVE

Didi still look at me, I know that his fell is same with me. So confused with we are intercourse. I knew, far from my heart I already faillin’ love with him when I sight him at first time.

Vigorous, calm, not much took and responsible and the most important he have a far knowledge. I’m sure that, cause after we know each other, he always seeing me, ask where’s andwhat I do. Do I already eat or not, have my prayer and then he ask me to going prayer soon and delivery me to every place that I want for my luch. But if he’s very busy, he’ll bring me some food or just call delivery food ordering.

Not just that, Didi always give me support when I think bad and almost give up in my difficult situation of life.

Didi, male from Solo that I knew at chat room. I always fell funniest if I remember when at first we’ve chatt, with pseudonym, he introduction himself duck_oslo and behind the name’s I think Didi’s coming from orland or the other country in USA. But, I just can be surprise and shock and the last I smile much after he told me that he come’s and born in Solo.

Oh my GOD ! he is my neighbourhood. It’s so close from my address. We stay at the same city. Solo, one’s city in central java that I was brn and growth. Off course, it’ll be make me shock after knews.

He’s the man that every day I seen at the goald that I was go to my office. S I think we stay at neir boarding house without I know that man is Didi my chatting friend.

If we meet at the goald, he just looking mefor a few and give me a little smile.just a little, but I really like it. It’s fell cool and kindness.

After I knew him and we close each other, have been to share, and understanding eanch other.every day as special for me. ( hmm… I think to him too ) I already have a live alarm that will warning me if come the time to eat, to rest, to quit, to wake up ang g to prayer’s comin’. And actually, I’m so reliable and delicacy that.

Didi have all of my criteria to be my boy friend. He tall but still ideal with me, he have strong arm that I hope he can protected me from everything that to threaten me. He have a nice smile like I dream ( some time I think that’s smile is like the princess have), and the most important he’s so kindness, have a sense humor, a nicey job and wide knowledge.

"Na, come on you not answer my question." Didi said with hopeless.

I stay on quoite, " Didi if you know what hapend with my minds."

"Na, please you must said some thing. I know you love me. We love each other. "Believe me, I’ll make you happy." He look at me clearly. His eyes is so sharp like eagle eyes.

I view over the window, the cloud walking slowly at the blue sky. It’s so beautifull. When I still young, I was dream, the cloud is appereance for sme animal like a lamb, unicorn, butterfly or just one’s shadow of His creature. It’s could be flower, trees or spinach ( ones kind vegetable that I don’t like and hate to eat ). Or it’s could be shadow of car that running on the road with smoke over the hole.

Didi touch my hair that fall in my forehad and hold my cheek. We are so nearly, actually at this moment I’ve no confidence with my pisic lookly. My nose is flat ( not more ), my hair is so wave like the fried nodle and my forehad is so far. Even that, I have 2,5 minus on my glasses in my face.

"Di, you know I really glad. That I have some body so kindness like you. Here, in Jakarta that I was be alone, no family, no body’s take care off me, you be here. In my side, be my some one, companies me to always hold on and make my worldis colouring and clearly with your tough voice. Didi, I really like you and always hope that will be forever."

I quite for a second, "Di… perhaps…"

Didi not give me more opportunity to continue my word. He jump and embracing me. I skip back.

"Hei… what you do Didi ?" I appeal to Didi. Didi hold his doing and look at me with innocent face. He look like white angel that come down from the heaven.

"Oups…. I’m sorry Na, but you said that you like me so I think what the false ?" He hands up and look so confused.

Ough… I don’t know what must I say to him. I just don’t want if his heart is hurt or couse my words I ‘ll lossing Didi. I afraid he’ll gone from my side and leave me alone like before I meet him. After I know him, I don’t know why in my opinion he’s already mine even already be my part of my soul.

If I walk on the way, sudenly I think where’s he at same moment. Are he already walk on the same way with me ? if ya, where’s he ? he stand before me or behind me ?

If I have my lunch at my work rest, I always asking to my self, are he already have his lunch ? If ya, where’s he have that lunch time and whose tha pertner ? Oh God that question is not enough to stop at there. It’ll continued with more question, man or women ? old or young lady ? oh Mom, I’m so jealousy.

"Na, wake up ! why you so muse ?" Didi shaky his hand in front of my face. I wink my eyes.

"I’m sorry…" I said hurried.

"So, you not give me explain yet. Please tell me. Na, why I could understand about you if you not explain what your fell to me ? Please Na… said." Didi request me back.

I beat my own cheek. Oh my… what must I say. I said in my own heart.

Didi pull up my hand and hold it fixed. I quit at a few moment to inhale.

"Di…if you asking me about my fell to you, do I love you or not, so I’ll said. Yes, I do..!"

Didi face was be glitter, he look so happines when hear my words.

"But…" I continuing my words, "I have big problem that you or some body else know even all people arround me."

Didi face was change. He stopping at quite. I fell sorry. Oh.. I must already do the big mistake.

Sudenlly Didi take my shoulder both.

"Trust me Na, you can tell me what hapend in you. I wouldn’t be hate you and that wouldn’t change my fell of you." Didi said so sure.

"Really ?" I asking not believed.

"Ya… why I must change ? on you I find all that I want for my ladies. Your heart is beautifull, I adorer you, I already find my lover in you."

When I hear Didi’s word, I fell falling down. Ough… if he knows what the real hapend in me at now. Some thing is moving, growth to life slowly, oughs, God ! give me more ____________ to explained clearly to him.

My tear is almost rolling down at my face. I try to keep on stenght.

"Di.. I confess..far from my heart. I fell same off you. I already falling in love when we meet at the first time. Far day before we know each other. In you I find, my boyfriend criteria, I almost have a dream that you’ll be my husband…but… I already have my destiny. I cann’t merried all in my life."

I quit for few moment, so I was continued, " It’s so imposible for me to have merried couse my sickness. I’ll give my painfull to my my child later, if I have a child, I affraid with my hereditery sickness."

The tear already drop rolling down at my face. I fell offresed out of my breath. It’s like a big mountain is putt on my chest, make me fell so heaviness.

"What ?" Didi ask un believed me.

I nod my head.

"That’s the truth. Di, I have a bad destiny, I born with difference organ and it’ll be hereditery." I said with sorrow.

Didi look at me with dispointment.

"Are you sure. I mean you know excactly ?"

I close my eyes try to hold my self.

"Off course, I’m is ones from much patient of Dr Mikail, the most greatest specialize doktor of hamatologi in that hospital."

I try say with seriously face. I don’t want at this important moment Didi thinking that I just playing and have big lie about my realy condition. I don’t want he have opinion that my story is fiction and not true that I creature to avoid from him.

"Na, hear me, Allah never make decease without the medicine. I’m sure your sickness is have medicine but we have find yet. So just be confidence Na, you must believe if you’ll be fine and you have the cure."

I shake my head weakly.

"Yas Di, I just can prayer and maka confidence my self, but for medicine ? nothing. Talasemian just need fresh blood to continue the live. It’s hereditery decease. I need blood tranfution periodical that must I do some time all on my life."

I continued, "Actually to past on tweenty years old it’s grace for me, much from talasemian not have much time to growing up, enjoyed their life cause the decease."

Didi look thinking at the few moment. "Na, I relly love you. I don’t care about your decease."

"Di, it’s all right if you love me but please don’t took about love at now, I want keep the fell like before. Di, I want everything just like before, no took about love but we keep our love in our self.. I hope you can understand that."

Didi give me his arm.

"Yes Na, you already mine, in here. No took about love."

We take our hand each other.




Jakarta, 16 June 2007

Wednesday 19 March 2008

"Fiuh"


Langit Banyubiru itu masih tetap biru. Awan – awan kapas menggantung berserak. Kubuang jauh pandangan ke kaki bukit. Dari kejauhan Gunung Merbabu dan Kota Solo tampak begitu indah.
Kulirik laki – laki yang mematung disebelahku, aku masih bisa mendengar nafasnya yang mendesah lirih di telingaku. Aku juga masih bisa melihat ekor matanya terpaku menatapku sekian detik sebelum membuangnya jauh, sekalipun aku tidak menatapnya.
Mungkin sebentar lagi dia akan meraih anak rambut yang jatuh di dahiku dan bergerak dipermainkan angin. Tapi tidak, dia memilih tidak berbuat itu melainkan berkata, “Aku yang salah.”
Aku tak menjawab. Jujur saja aku tak tahu apa yang harus kuucapkan sebagai jawaban. Mengiyakan ? rasa – rasanya aku tak pantas, sebab aku tahu semua itu bukan karena keinginan dia semata. Atau membantahnya ? sama juga, sepertinya dia terlalu bersalah untuk dibela. Toh, semua mizan itu keputusan ada ditangannya. Wajarlah jika sebagian perasaanku mengatakan kalau dia pantas menerimanya.
“Tolong berikan pendapatmu, jangan kau diam saja. Apa aku salah jika aku selalu membandingkannya denganmu ? “ Dia meraih tanganku, mengguncangnya, meremasnya pelan lalu menangkupkannya di pahanya. Diam, hening hanya kesiur angin menyisik pinus kering.
“Tidak.” Aku membatin tetap bisu sebagai jawaban. Kau berhak membandingkanku dengan siapapun kamu mau, begitu juga aku, aku akan selalu membandingkanmu dengan siapapun. Setiap lelaki yang datang atau sekedar menatapku dari kejauhan. Aku akan selalu membandingkannya denganmu. Sama merahkah, sama sucikah, sama tuluskah dan semua tak pernah ada yang sama, selalu saja berbeda dengan satu hati yang pernah kumiliki.
“Arini, kelak kalau kuceraikan dia apa kamu masih mau menerimaku ?”
Aku tersentak, Demi Tuhan, aku kembali bukan untuk itu. Sekedar menengok masa lalu bukan berarti aku ingin kembali menapakinya.
Kutatap wajahnya lekat – lekat. Wajah yang sama dengan wajah tercinta yang telah tercetak membatu di jiwaku. Tergantung abadi hingga menggelayuti hingga meragu untuk melangkah. Wajah yang telah menyakitiku dengan penghianatan sekaligus membenamkanku dengan romantisme mendalam.
Aku menggeleng lemah. “Kesempatan buatku sudah lama berlalu Di.”
Adi menyentak genggaman tangannya, “Enggak, ini adalah kesempatan kamu Rin.”
Lagi – lagi aku menggeleng kali ini lebih kuat, “Kesempatan itu tidak pernah datang dua kali Di dan aku telah melewatkannya dulu.”
Adi membuang nafas pelan. dia tidak akan pernah menyangka aku akan mengatakannya. Ditelannya ludah pahit, Aku tahu benar rasanya, bertahun – tahun yang lalu akupun pernah menelan ludah yang sama.
##
Danar tertawa kecil. “Akulah yang salah Rin, seharusnya aku malu terhadapmu.” Katanya kelu.
Aku tahu, tak mudah untuknya berhadapan denganku. Bertahun yang lalu, kami pernah dekat,. Lebih dekat dari kembar identik dimanapun di dunia ini. Tidur bareng, makan bareng bahkan pakaian dan peralatan mandipun kami selalu memakainya bersama.
Aku telah dianggap anak kandung oleh Papa Mamanya di Malang dan Danarpun telah dianggap Ibu dan Ayahku sebagai bagian dari keluarga kecil kami. Akhir pekan kami selalu mempunyai jadwal bersama, pulang ke Malang atau ke Solo tempat tinggalku.
Dan setelah peristiwa itu, aku tahu sulit buatku untuk menerima mereka berdua, begitupun halnya dengan mereka, perlu waktu yang cukup lama untuk bisa kembali mengganggapku sebagai seorang teman.
“Lihat, kamu perlu bicara. Kamu butuh teman Nar. Jangan simpan semuanya seorang diri. Kamu tak akan pernah sanggup.” Kataku setelah berhasil membawanya pergi dari tempat kerjanya, mengajar di sebuah Play group.
Danar mengaduk juice alpukatnya tanpa berkata. Putaran juice itu mengingatkanku pada tahun lalu ketika kami masih sama – sama duduk di bangku kuliah, selalu saja dia memesannya dan seperti biasa aku selalu mengingatkannya untuk tidak menuruti hobby nya. Tubuhnya terlalu rawan untuk bertambah berat badan setiap kali dia menyantap makanan berlemak.
“Nar, apa ini ?” kuraih dagu Danar dan mengangkatnya. Mata Danar terpejam erat, sebuah luka lebam menghitam menghiasi pelupuk matanya, sekilas tidak terlihat tertutup sapuan eye shadow berwarna ungu. Tapi sekarang, dengan posisiku dan cahaya terang yang menimpa wajahnya aku tahu benar itu bukan efek eye shadow melainkan luka yang tak biasa.
Danar mengalihkan wajah, tetap membisu. Aku menyeruput juice jeruk sekali dan kembali melihat ke arahnya. Kami beradu pandang, kali ini Danar tak lagi mengalihkan tatapannya. Wajahnya yang kian ayu dan dewasa tapi tampak kuyu dan layu. Dibandingkan denganku, sekarang Danar tampak lebih matang. Pekerjaannya bagus, mempunyai rumah tangga dengan suami dan dua orang anaknya. Bukan hal yang berlebih jika aku terkadang merasa iri terhadapnya. Bukankah wanita di usiaku yang kepala tiga sebuah fokus rumah tangga telah menjadi impian natural ?
“Adi sudah berubah Rin.” Katanya lirih. Bulir pertama airmata tergulir dipipi ranumnya disusul bulir – bulir yang segera luruh. Aku bangkit dan duduk disampingnya, membelai bahunya yang kekar namun rapuh. Kubiarkan kepala Danar bersandar di pundakku.
“Sudah lama aku menahan ini semua Rin. Tak lama setelah kami menikah dan kamu pergi, aku mencoba bertahan dan selalu berharap kehadiran anak akan membuatnya berubah, tapi tidak Adi sudah berubah menjadi monster yang selalu menakutkan untukku.” Danar tergugu di bahuku. Resah gundah gulana kurasakan menyesak dada.
“Kau tahu kan Rin ? Aku tak bisa selamanya bertahan.” Katanya kemudian.
Aku mengangguk mengiyakan, “Sabar.” Kataku pelan.
Padahal sebenarnya aku ingin berteriak dan tertawa, inilah balasan yang kutunggu – tunggu atas penghianatan kalian. Penghianatan atas cinta dan persahabatan. Seharusnya tak kubiarkan kalian menangis di hadapanku dan melihatku menatap penuh iba. Tak pantas rasanya iba itu tercipta untuk manusia – manusia yang kusayangi dan selalu menjadi asa hidupku.
##
Aku baru saja mulai berbenah. Akhirnya kuliahku usai sudah, setidaknya pikiran Ayah dan Ibuku tak lagi bertumpu padaku. Impian mereka melihatku mengenakan toga dan bergelar sarjana kutuai sudah dengan wisudaku. Inilah puncak kebahagiaanku, persembahanku untuk orang tuaku tercinta.
Semalam setelah prosesi wisuda selesai, Ayah dan Ibu langsung pulang ke Solo. Sedang aku masih mengulur waktu untuk kembali pulang ke kos – kosan. Sesuai rencana yang jauh – jauh hari sudah kami susun, Aku dan Danar masih ingin menghabiskan waktu di Kota ini untuk terakhir kali. Dan benar, sepanjang malam kami langsung bergegas, memuaskan hati menikmati malam terakhir di Semarang, dan pagi tadi Danar pamit pergi entah kemana. Masih terlalu berat mataku untuk menatap kepergiannya dan bertanya hendak kemana.
Kuraih foto – foto kami berdua, selalu ada Danar dimana ada aku begitu sebaliknya. Sebuah foto besar dengan latar belakang air terjun semirang, diambil empat bulan yang lalu. Terdengar sapaan halus dari arah pintu kamar.
“Rin, sudah selesai berkemasnya ?” Danar menyapaku.
“Hampir selesai. Kamu ? kenapa tidak berkemas ?” tanyaku heran, menatapku yang hanya termangu di pintu.
“Rin.” Panggilnya pelan.
“Iya.” Tumben, aku merasa janggal. Akh, mungkin perasaan Danar tengah terusik oleh perpisahan kami.
“Sudahlah, kita kan masih bisa bertemu esok hari. Kamu bisa kapan saja telepon atau datang ke rumah. Orang tuaku nggak akan pernah keberatan.” Kataku menenangkan.
Wajah Danar tampak gundah.
“Ada apa ?” tanyaku kemudian menghentikan pekerjaanku mengepak barang – barang.
“Emm.. ada Adi di depan.” Jawab Danar resah.
Aku tersenyum, “Oh, kenapa nggak langsung masuk ?”
Semalam Adi memang berjanji untuk datang tapi kupikir tak akan secepat ini. Dan seperti biasanya Adi selalu langsung mencariku ke kamar. Empat tahun sudah kami lalui bersama sebagai sepasang kekasih. Nyaris tak ada yang kami sembunyikan satu sama lain. Bahkan orang tua kamipun sama – sama sudah setuju.
Aku bergegas keluar kamar diikuti oleh Danar. Kulihat Adi sedang duduk termangu di pinggir kolam teras samping.
“Di.”
Adi menengok ke arahku. Tak ada senyum seperti biasa, bahkan kulihat kecanggungan tergambar jelas di wajahnya. Adi bangkit tak bergairah, kulihat Danarpun seperti halnya. Dia terlihat kaku dan mereka menatapku seolah aku bukan siapa – siapa bagi mereka melainkan orang asing yang mengganggu keberadaan mereka.
Kutatap mereka bergantian. “Ada apa ?” tanyaku penuh kebingungan.
Langkah Adi berhenti tepat di depanku. Danar menjajari langkahnya. Mereka saling berpegangan tangan. Aku tersentak, seribu satu pertanyaan lengkap dengan kemungkinan jawaban berpendar di otakku. Apakah, mungkinkah, benarkah…
Kalau saja aku bisa aku ingin otakku meledak dan jiwaku lepas dari raga ketika kudengar Adi lirih berkata, “Maafkan kami Rin, tapi kami tak bisa menghindari perasaan itu. Ternyata kami saling mencintai.”
Mencintai ? lalu bagaimana dengan aku ? Apakah perjalanan cintaku bukan cinta ? tiba – tiba aku dihempaskan pada sebuah ketololan yang teramat sangat, apalagi ketika Danar ikut berbicara, “Sebulan lagi kita akan menikah, kami harap kamu bersedia datang dan memberi restu Rin.”
Datang ? Restu ? tidakkah kalian rasakan kepedihan dan kepahitan ini. Bahkan tulang belikat ini pun sepertinya tak lagi mampu menopang tubuhku.
Aku hanya bisa menggeleng, merutuk dan kemudian berlari kedalam kamar, menumpahkan kegalauan serta ketidak mampuanku menerima kenyataan.
##
“Terima kasih Rin, dia memang pantas menerimanya.” Kata Danar seusai kami melaporkan seluruh kekerasan yang menimpanya. Kulihat kelegaan sekaligus kegalauan baru melingkupi hatinya. Kuraih tangannya dan berkata, “Sudahlah, paling tidak ini akan menjadi pelajaran untuknya agar tidak mudah mempermainkan perasaan perempuan.”
Danar menatapku, “Rin, kamu ternyata sahabat sejatiku. Maukah kamu selamanya menjadi sahabat sejatiku ?”
Aku tak menjawab hanya tersenyum sekilas. Aku tidak tahu, hanya berusaha untuk menepis keinginanku untuk tersenyum dalam hati.
Sumowono, 7 Nopember 2007
Untuk : Ad & Danar
Met bahagia ajai

"Selingkuh"


Venice melangkah ragu. Langkah kakinya berjingkat mungil. Satu – satu, surut sebentar terdiam seolah terantuk sesuatu kemudian melangkah kembali.. Dia hela nafas panjang, membiarkan paru - parunya menyeret oksigen yang seakan berberat ratusan ton. Dipejamkannya matanya erat dan dibukanya cepat – cepat. Haruskah dia bertemu dengan Laki – laki itu ? laki – laki yang setiap kali dia memikirkannya selalu sesak nafas yang diperolehnya. Sehingga penyakit asma yang tak pernah dideritanya muncul begitu saja. Laki – laki itu juga yang membuatnya imsomnia akhir – akhir ini.
Ruangan itu masih kosong, hanya satu dua orang yang sibuk memandang ke arah permukaan meja, melamun menatap layar komputer yang hampa atau sekedar mengedipkan mata mengusir rasa bosan yang meruap. Seorang perempuan dan dua orang laki – laki. Selebihnya ? seorang office boy yang sibuk mondar – mandir mengepel lantai.
Hari ini hari Senin dan dihari Senin semua akan begitu bertanggung jawab, hukuman akan dilaksanakan hari ini atas kesalahan yang terjadi minggu lalu begitupun penghargaan akan disematkan untuk mereka yang dianggap pantas menerimanya. Sehingga semua orang pantas untuk berdebar jantungnya. Masing – masing tak ada yang boleh memilih. Semuanya sudah ada bagiannya. Dan jika semua sudah mendapatkan bagiannya, mereka boleh tertunduk lesu atau membusungkan dada dengan pujian tersemat didada mereka. Ugh, itu satu hal yang selalu membuat Senin sebagai hari yang paling ditunggu. Venice menggidikkan bahu.
Dan Venice datang terlalu pagi tapi bukan karena hari Senin. Venice sudah terlalu lama merindu. Hingga rindu – rindu itu menggumpal dan nyaris membuntukan otaknya. Lihat saja, dua hari yang lalu ketika dia bermaksud mentranslate perjanjian kontrak, tak satupun kalimat berhasil diterjemahkannya semuanya kembali ke titik beku yang dingin. Kecuali sosok laki – laki itu. Laki – laki yang mirip dengan Ayah yang pernah dipunyainya beberapa tahun yang lalu.
Venice menghempaskan pantatnya diatas kursi kerja. Keras, entah berapa lama busa kursi ini telah bertahan. Menyangga beban tubuhnya yang makin lama makin tambun. Walaupun dia sudah berusaha keras untuk menjaganya agar tetap langsing. Tapi energi yang diperlukannya menuntutnya untuk terus makan, makan dan makan. Hingga masakan Bunda nyaris tak ada yang tersisa. Tentu saja Venice tak pernah puas hanya dengan memelototi makanan – makanan itu. Mulutnya selalu menuntut lebih dan lebih. Terakhir, dia hampir menjerit ketika angka melonjak melewati batas berat idealnya. Fuh..
Satu persatu orang berdatangan, hingga nanti akan mengisi penuh ruangan itu dengan hiruk pikuk masing – masing. Berserabut kertas ditingkahi jerit suara printer yang bergerak tersendat – sendat. Tidak cuma satu melainkan sembilan buah, hingga suaranya melebihi keributan yang dibuat oleh serangga hutan saat penghujan tiba.
Dan dada Venice kembali bergetar, berdebar – debar hebat, mungkinkah hari ini Laki – laki itu tak datang ? Menyapanya, memberinya pujian atas penampilannya yang sengaja dirubahnya khusus untuk bertemu dengannya. Bukankah tadi dia telah berusaha bangun lebih pagi, agar bisa melebihkan jam mandinya dengan berendam dalam larutan minyak almond untuk melembutkan jari jemari dan kulitnya. Membubuhkan bedak sedikit lebih tebal dari biasanya dan sengaja menyapu kulit wajahnya dengan warna – warni hingga kelihatan berseri – seri. Wajah Venice memang sedikit lebih cantik, paling tidak itu pujiannya untuk diri sendiri saat berdiri di depan cermin pagi tadi.
Laki – laki itu bukan siapa – siapa. Seseorang yang telah ia kenal sepertinya – enam bulan yang lalu baru pindah dari kantor cabang perusahaan di Kota lain. Perawakannya bagus, tinggi seperti pemain basket idolanya – mungkin beberapa dekade lalu. Tampan – untuk ukuran kota kecil ini. Dan tangan itu, selalu mengingatkannya pada tangan kekar Ayah yang siap melindunginya dalam dekapan. Tapi usia ? bukan, itu tidak menjadi masalah. Laki – laki itu memang pantas menjadi Ayah atau Om nya tapi bukankah Venice selalu merasa tertarik dengan mereka ? lihat saja tatapan Ayah selalu membuatnya berlutut. Pelukannya selalu membuatnya terlindung. Dan Laki – laki seusia Ayah itu ? apa salahnya jika dijadikan seorang kekasih. Bukankah tatapan mereka sama ? Toh tak seorangpun yang akan mempermasalahkan jika mereka keluar bersamaan. Mungkin saja mereka akan menyangka itu adalah Ayah atau Om nya. Dan Venice tak akan pernah keberatan jika ternyata dugaan mereka keliru besar. Ia adalah kekasihnya.
@@
Semalaman benar mata Venice tak bisa terpejam. Putaran roda mengelilinginya semakin keras, menimbulkan dengung yang tak mengenakkan jantung. Ia merasa tubuhnya gelisah. Deraian keringat dingin mengalir silih berganti dengan debaran halus dan meledak – ledak. Venice bersorak, takjub. Bibir itu kembali membayang, dengan garis kerasnya, selintang kumis diatas berselang – seling panjang pendek namun rapi, mengembangkan senyumnya yang menawan.
Siang itu, bibir itulah yang memagutnya lembut. Bibir itulah yang selama ini dikejarnya. Bukan dimana – mana, melainkan di lorong yang menghubungkan satu ruang dengan ruang yang lain. Lorong yang sempit dan gelap, yang seharusnya sangat jauh dari layak untuk memulai sebuah adegan kisah romantis. Lorong itu bahkan sangat menyeramkan – kalau saja Venice sendirian berada disana. Di lorong itu ada setan yang bersemayam. Tapi perlakuan itu bukan Setan yang menghendaki melainkan dia. Venice, bunga dahlia yang merindukan hujan.
Laki – laki itu keluar dari ruangan, karena sesuatu yang diperlukannya. Dan saat itu Venice tahu kapan dia harus keluar untuk sekedar mencari penjepit kertas, sebelum kertas – kertas kerjanya berhamburan tak karuan. Tapi bukankah menunggunya di sudut lorong ini lebih baik ? dan bukankah sangat jarang orang keluar ruangan pada jam – jam sibuk seperti ini ? Venice berpikir konyol.
Laki – laki itu datang dengan suara sepatu yang sudah teramat sangat dia hapal. Bunyi ketukannya saat menghantam lantai. Bahkan suara – suara itupun sudah membuatnya sangat haus dan .. rindu. Pertama, Venice menyapanya tapi laki – laki itu tak lagi memberinya waktu untuk mengarang kalimat. Dia merenggutnya begitu saja, menariknya begitu keras hingga Venice merasa ajalnya sudah demikian dekat. Laki – laki itu melepaskannya setelah nyawanya hampir melesat lepas. Venice berusaha menata pernapasannya yang porak poranda. Berderet – deret kembali menjadi untaian sonata.
Lalu setelah itu ? semua sudah terjawab. Dia selalu datang, sempurna dengan senyum dan kumis yang melintang. Laki – laki itu tak lagi asing, dia sudah menjadi bagian dari jiwa Venice. Selalu, memenuhi kerinduannya yang mengembara. Mengajarinya lebih dan lebih. Sama seperti Ayah, Laki – laki itu bagaikan telaga yang tak pernah kering, memberi apapun yang dia butuhkan. Ketukan sepatunya, dekapan kekarnya dan perlindungan seperti yang Ayah berikan. Sedang Venice, perempuan yang baru saja dewasa itu selalu meminta lebih dan lebih. Dan Telaga itu menjadi segalanya untuk sekuntum Dahlia.
Venice masih terus menatap pintu keluar. Beberapa orang datang dan kemudian pergi lagi. Orang – orang yang juga dikenalnya. Menganggukkan kepala jika kebetulan mereka sudah begitu akrab, selebihnya tak ada yang mengacuhkan kegelisahannya.
Venice terus berharap. Dia akan datang sebelum jam briefing dimulai. Menyapanya dan memujinya atau mungkin menawarkan kebaikan untuk mengantarnya keluar kota – minggu ini dia harus bertemu dengan beberapa costumer di Kota lain.
Venice berusaha mengalihkan kecemasannya dengan mengoreksi beberapa pekerjaan yang telah diselesaikannya semalam. Tapi tak ada lagi kesalahan. Venice mengeluarkan kikir kukunya, namun segera disingkirkannya jauh – jauh. Bukankah selama holidays kemarin, dia telah menghabiskan waktu untuk menicure ? kenapa pula dia harus merusaknya sendiri.
Atau dia harus mengacak kembali tatanan rambutnya sebelum merapikannya hingga membentuk untaian – untaian sempurna seperti yang dikatakan Bunda ? Ah tidak, bukankah dia lebih baik melihat Venice dalam keadaan seperti ini, penampilan terbaik yang telah disiapkannya ?
Venice bahkan sudah menyiapkan deretan kalimat yang akan diucapkannya nanti, ketika Laki – laki itu menemuinya. Meminta maaf ? mungkin – karena merasa bersalah karena hanya memberi Laki – laki itu separo dari jumlah yang diperlukannya. Venice merasa keterlaluan – dia pernah merasakan menjadi seorang mahasiswi yang kadangkala kiriman uang berkurang atau telat.
Tak seharusnya Venice merelakan kekasihnya akan kebingungan mencari uang demi anaknya yang sedang berjuang melalui ujian. Tapi tidak, dia tak usah meminta maaf, toh itu bukan urusannya. Dan bukankah separo dari uang yang dipintanya itupun hasil dari jerih payahnya menabung selama ini. Untuk itu, sudah seharusnya Laki – laki itu berterima kasih.
Tapi bukan, bukan itu persoalannya. Kembali perasaan Venice berdentam cemas. Mungkinkah Laki – laki itu sakit lagi ? setelah beberapa hari yang lalu dia mengeluh, tubuhnya terasa tidak sehat. Ah semoga saja tidak. Atau mungkinkah mobil tuanya ngadat lagi seperti ketika mereka memutuskan mengendarainya ke luar Kota waktu itu ? semoga juga tidak, bukankah ada banyak bengkel berdiri di jalan raya. Dan bukankah Laki – laki itu membuatnya terpesona karena kegigihannya yang tak pernah mau menyerah ? atau juga Istri Laki – laki itu – yang kelihatan galak memandangnya ketika mereka bertemu suatu waktu dulu. Ingin suaminya mengantar ke salonnya untuk berias dan memake up wajahnya yang hampir keriput. Atau jangan – jangan, semalam mereka telah bercinta hingga tenaga Laki – laki itu tak lagi tersisa untuk pergi ke Kantor.
Venice tersedak. Terkejut dengan keadaannya sendiri yang disadarinya teramat mengenaskan. Beginikah seharusnya ? mengerikan sentaknya kemudian. Venice menyisir rambutnya yang semula dijaganya. Menarik pangkalnya hingga terasa sakit dan pusing. Setelah itu dikibaskannya kuat – kuat. Ia ingin segera terbangun dari koma yang melandanya. Menghempaskan jauh – jauh bayangan itu dan berharap dugaan itu selama ini benar yang entah akan membuatnya lebih baik atau sakit.
@@
Matahari bersinar terik. Menancapkan punggung tajamnya di permukaan bumi. Sebuah mobil yang meskipun bukan keluaran terbaru akan tetapi masih tampak sangat terawat, membelah jalanan lengang menuju keluar Kota. Seorang Laki – laki separuh baya mengangguk – anggukkan kepala mengikuti irama blues dan berkata “ Aku perlu uang untuk membayar kuliah anakku. Kasihan dia, sudah hampir terlambat membayar.”
Seorang perempuan menjelang dewasa disampingnya mengernyitkan dahi, “Uang yang kemarin ?”
Laki – laki itu mengembangkan senyum terbaiknya, “Sudah kupakai untuk menukarkan mobil tua itu.”
Perempuan muda mencubit paha Laki – laki itu sambil merengek manja, “ Tak masalah, tapi kumohon setialah padaku.”
“ Tentu sayangku, tak mungkin aku meninggalkanmu. Percayalah.”
Pelan – pelan perempuan muda itu mengeluarkan beberapa helaian ratusan ribu dan jantung Venice berdetak semakin kencang. Laki – laki itu tak pernah datang.

Ambarawa, 2006-07-25

LAPAS 37

Beduk maghrib kembali bergema. Sekian hari dari sebulan puasa. Aku kembali mencoret dinding hijau berlumut dengan satu goresan kuku ibu jariku yang sengaja tak kupotong. Fungsional, apalagi dengan keterbatasan kondisiku sekarang, kuku panjang itu terkadang sangat membantu.
Treng…treng…sipir penjara memukul tongkatnya ke sela – sela jeruji besi. Mengusir kami – narapidana yang masih bermalas – malasan untuk bergegas mengambil jatah untuk berbuka, takjil sederhana, kolak talas, singkong atau kadang – kadang bubur ketan hitam. Tapi menu kali ini rupanya lain, lebih istimewa, es dawet cincau hitam bersantan dengan menu utama sepiring nasi, sepotong ayam dan semangkuk sayur bening.
Napi yang lain bersorak, makanan menjadi salah satu kebahagiaan tak terukur untuk mereka di balik tingginya tembok pembatas kebebasan. Walaupun semua sudah dibagi – bagi ternyata mereka tetap saja berjejal berebut untuk berada di urutan terdepan, sekedar antri atau lapar perut sudah tak tertahankan ?
Aku melangkah gontai, membawa mangkuk takjil dan piring berisi makananku ke meja panjang di pojok ruangan. Sudut yang gepal juga dingin, rembesan air hujan dari atap yang bocor membuat sudut ini paling dihindari oleh setiap penghuni LP.
“Kenapa ? sakit perut lagi ?” tanya Markamah menjajari langkahku, ikut melangkan ke arah bangku yang kutuju.
Aku menggeleng, “Nggak, males aja.” Jawabku pendek.
“Kenapa kamu disini ?” Tanyanya mengerling sekejap.
Aku mendesah lirih, “317, bukankah sudah berkali – kali aku mengatakannya.”
Markamah mengangkat bahu, “Sorri.. aku lupa.”
Perempuan itu selalu lupa, mungkin sebagai basa – basinya untuk mulai menceriterakan dirinya. Dia selalu senang dan bersemangat setiap kali berceritera tentang pribadinya, yang buatku tak terlalu istimewa. Ada banyak cerita sedih yang menguar disini dan semuanya sepertinya tak perlu untuk diungkap satu persatu. Terlalu menyakitkan dan pilu.
Markamah meletakkan piringnya dan duduk didepanku, “Lebaran ini seharusnya aku dapat remisi tapi Bu Siti bilang, kalau Agustus sudah dapat, sekarang tak bisa diusulkan lagi. Kalau saja aku dapat, satu setengah tahun lagi aku akan bebas.” Katanya mengeluh dengan mulut berjejal penuh makanan.
Aku menatapnya takjub, perempuan muda itu seperti tidak pernah bertemu makanan sebelumnya. Merasa diperhatikan Markamah menghentikan manannya dan memandang kearahku serta piring didepanku bergantian, mengusap mulut, menelan makanannya dengan susah payah dan berucap, “Ayo.” Tawarnya. “Aku lapar, apa kamu tidak. Enak banget kok. Cobain.” Mmarkamah mengangsurkan sejumput nasi dan lauknya ke arahku, aku menyetopnya dengan tanganku lalu menggeleng, “Aku belum lapar.”
Dia menatapku dengan masih tetap mengunyah, “Oh ya, sampai mana tadi ?”
“Ya. Aku bebas lebaran nanti.” Kataku pelan.
Mata Markamah berbinar – binar, “ Wah. Selamat.” Markamah mengulurkan tangannya tapi urung ketika dilihatnya jemari itu penuh dengan remah – remah makanan berbukanya.
“Sorry, sorry tapi..hei..” Markamah mengusap telapak tangan ke bajunya dan bangkit berdiri hendak memanggil napi - napi yang lain. Aku ikut berdiri untuk menahannya.
“Ssstt… jangan.”
Markamah urung memanggil yang lain. “Sudah – sudah, nggak ada apa – apa kok.” Katanya kemudian ketika sebagian napi sudah menengok kearah kami. Baginya mungkin pemberitahuanku adalah sesuatu yang menggembirakan, layak untuk diumumkan dan dirayakan oleh semua penghuni blok panjang ini, sekalipun menurutku tidak.
“Kenapa ? bukankah itu kabar gembira ?” tanyanya ketika kami kembali bersama saat shalat tarawih.
“Kenapa ? bukankah itu kabar gembira ? sebentar kamu akan bebas, kamu bisa tidur di tempat tidurmu yang bebas dari apek dan anyir darah kepinding, kamu bisa makan semua makanan yang bisa masuk ke dalam perutmu, kamu bisa tertawa lepas……….”
“Aku tak ingin mereka mengerjaiku.” Jawabku lirih. Sengaja kutunjuk deretan Napi yang berada di shaf terdepan. Ya, waktu yang sedikit seringkali membuat mereka untuk melakukan kekacauan dan keisengan sebagai tanda perpisahan dan Markamah cukup yakin pada kata – kataku.

Bapak melemparkan uang itu hingga berhamburan di lantai. Wajahnya mengelam penuh amarah. Andri menatap angkara Bapak tanpa berdaya, tubuhnya yang ringkih menggelosoh begitu saja dilantai, kakakku itu sedang sakaw karena heroin telat dihisapnya.
“Argh….” Bapak berteriak histeris. Kedua tangannya menjambak – jambak rapuk pendeknya. Tubuhnya terguncang – guncang menahan angkara dan baru berhenti di sudut meja. Bapak menatapku, “Bapak sekolahkan kamu bukan untuk jadi wanita sundal, pelacur atau bajingan perempuan Rin.” Kata Bapak geram, sorot matanya berubah mengerikan dalam tatapanku.
“Aku tak pernah melacur Pak. Aku menikah dengannya !” Jawabku tak kalah gusar. Ya, aku menikahi seseorang tanpa restu hanya karena dia berbeda agama dan telah berumah tangga selain dengannku. Aku bisa menerima ketidak restuan Bapak, tapi menolak uang yang kuberikan dengan maksud agar Bapak mampu keluar dari seribu masalahnya adalah tidak bisa kuterima.
“Uang ini uang haram Rin.”
“Ya, menurut Bapak, tapi aku tak pernah mencurinya. Uang itu nafkahnya untukku.”
“Sama saja !” bentak Bapak semakin keras.
“Apanya yang sama ?”
“Kau pikir kau berbeda dengan mereka, pelacur itu ? Tidak ! kau sama bahkan kamu lebih biadab.”
“Bapak !”
“Aku Bapakmu, kamu jangan sekali – kali membantahku. Kau jual tubuhmu pada laki – laki itu. Menggadaikannya, mengambil harta dan uangnya. Apa itu bukan melacur ?”
Aku menggeleng, tapi sebagian hatiku mengiyakan kata – kata Bapak. Bapak mengamati perubahan wajahku dan melunak.
“Apa hah……….. apa yang tidak ? Rupanya Bapak kembali mengartikan gelenganku dengan kata tidak.
“Aku sudah menikah dengannya Pak.”
Bapak mengusap wajahnya yang kembali menggelam. Menghela nafas lalu berkata lirih.
“Pernikahanmu tak pernah ada, yang kau lakukan adalah zina. Sekali lagi zina !” Bapak menerakkan kata terakhir tepat di liang telingaku. “Bawa kembali uangmu.” Lanjutnya lirih.
“Tapi Pak, Bapak perlu uang itu untuk menebus kembali rumah kita, membawa Ibu ke rumah sakit juga membawa Andri untuk terapi.”
Kalimatku seperti menyulut ranting kering, wajah Bapak kembali mengeras, “Ya Bapak memang butuh uang untuk itu semua tapi bukan uang haram dari kamu.”
Lemparan uang mengantarku keluar rumah dengan pilu.

-- ## --

Kutinggalkan rumah pemberian suamiku dengan gontai. Tak ada barang yang kubawa serta, hanya beberapa potong pakaian seperti saat aku datang. Tak ada kata pamit atau ciuman perpisahan. Aku hanya menitipkan secarik kertas pada Bi Onah, penjaga rumah yang beisi permintaan maaf dan permohonan untuk tidak pernah mencariku lagi.
Suamiku orang yang baik hati dan pengertian, sekalipun cinta dan sayangnya kadang kuragukan. Kenapa ? tentu saja karena dia selalu menuruti kemauanku, menghujaniku dengan materi tapi dengan kekayaannya dia bisa membeli semua perempuan yang dia kehendaki, tanpa harus perlu merasa cinta dan sayang.
Terngiang ditelingaku kata – kata Bapak, “Aku menyekolahkanmu bukan untuk jadi pelacur.” Berganti dengan igauan sakaw Andri dan rintihan nyeri Ibu melawan kanker serviksnya yang mengganas.
Aku terseok menyusuri jalanan berdebu. Aku tak mungkin memaksa Bapak untuk menerima pernikahanku, uang itu atau keberadaan suamiku. Atau mungkin melarikan Andri dan Ibu diam – diam ke dokter spesialis tanpa sepengetahuan Bapak. Aku terlalu takut dengan kenyataan aku adalah anak pembangkang yang tidak patuh terhadap kata – kata seorang Bapak.
Sekian puluh Kantor dan Pabrik kudatangi hasilnya tetap saja nihil. Lulusan sarjana tapi nol pengalaman… mereka tak berminat sama sekali.
Pencarian kerjaku akhirnya berhenti pada sebuah kafe, tak ada lowongan apapun disana kecuali lowongan untuk waiters shift malam. Aku tak perlu berpikir ulang, seribu anggukanku mengiyakanku menerima tawaran itu.

##

Kuakui laki – laki itu menarik, sopan dan berwibawa. Tutur katanya yang lembut dan tak memandang sebelah mata, siapa aku. Semenjak aku mulai bekerja laki – laki itu telah menjadi pelanggan kafe itu. Berdiam disudut, menunggu vodka atau martini pesanannyadatang, mengetik sesuatu di ponselnya, menghisap dalam – dalam rokok filternya, nemikmati ruap asap yang keluar dari mulutnya, mengembarakan angan.
Hari itu dia memintaku menemaninya, dia langsung meminta ijin pada manager café yang tak akan pernah bisa menolak permintaannya sebab laki – laki itu pelanggang lama dan tetap café kami. Dan aku, tentu saja merasa senang, setidaknya tubuhku akan beristirahat sejenak dan sedikit terbebas.
Kami mengobrol sangat panjang, tentang pekerjaannya tentang kehidupan pribadinya, terkadang dia tertawa terkekeh – kekeh ketika dia menceriterakan kenakalan anak – anaknya yang menginjak remaja dan menyamakannya dengan tingkah lakunya yang buruk dimasa lalu. Terkadang dia sedikit melamun ketika pembicaraan berubah haluan pada diri istrinya yang menurutnya ill fill dan sedikit menderita gangguan jiwa.
“Aku mencintainya, tapi ketakutannya membuatku merasa taku,” katany, lalu hening. Dipukulkannya batang rokok ke asbak, segera abu rokok berguguran, dia menghelanya sekali lalu melanjutkan, “Dia selalu takut kehilangan aku.”
Aku tak menjawab, aku hanyalah manekin yang diperlukan untuk mendengar dan bukannya memberi komentar sekalipun aku mencoba berulang kali memahami pikiran laki – laki itu ataupun pikiran istrinya dan aku hanya bisa menebak – nebak tanpa bisa memastikan jawabannya.
Laki – laki itu memaksaku untuk mengantarkan pulang, berulang kali dia menawarkan dan berulang kali pula aku menolaknya hingga dia putus asa dan meminta managerku untuk memintaku agar bersedia
Aku baru hendak melangkahkan kakiku dan laki – laki itu sedang memutup pintu mobilnya ketika kudengar teriakan histeris seorang wanita.
“Perempuan sundal, pelacur, perebut suami orang… Jahanam.” Seorang perempuan gemuk telah berdiri di belakangku, aku menoleh tapi secepat kilat tamparan perempuan itu telah mendarat di wajahku.
Aku meradang, teringat olehku kata – kata Bapak, penolakannya terhadapku, bukankah sejak kuputuskan untuk pergi dari rumah suamiku tak akan ada lagi sebutan itu padaku.
Sontak, kuraih kepala wanita itu dan membenturkannya ke bodi mobil. Cukup sekali dan kepala wanita itupun terkulai berdarah tapi aku puas, sekalipun kemudian kudengar laki – laki itu menelpon 119 dan disusul oleh raungan sirene ambulance.

Ambarawa, 2007
Untuk : Hajar Wahyudi and partner.

Tuesday 5 February 2008

"Dua Warna"


Aku belum juga bangkit saat ciuman pipi Ayah kembali mendarat di wajahku. Kali ini bahkan Ayah sengaja menggelitik pinggangku. Malas aku menggeliat, memandang wajah Ayah yang tersenyum tak berdosa. Kembali tengkurap dengan bantal guling menutup seluruh kepalaku. Ayah tertawa kecil melihat tingkahku, terdengar sekilas dari balik bantal.
“Ayolah Tuan Putri, lekaslah bangun. Kau lihat matahari sudah tinggi. Apa kau ingin datang ke sekolah dengan terlambat. Atau jangan – jangan di setrap Ibu Guru sudah menjadi hobi barumu ?” kata Ayah lembut. Direnggutnya paksa bantal guling dariku. Aku mengeluh. Ayah, kenapa aku yang selalu diganggunya dan bukannya Mita atau Tyo, anak – anak Ayah yang lain ?
Ugh. Aku menggeliat malas. Kudorong tubuh Ayah dengan kakiku. Pura – pura tak sengaja. Tak ayal, tubuh Ayahpun terjerembab jatuh. Ayah terbahak, mengambil bantal dan melemparkannya padaku. Kutangkis segera dengan reflek. Ye nggak kena tuh.
Aku kembali bergelung. Memeluk erat bantal gulingku tersayang. Menarik malas selimut yang sebenarnya tak lagi kuperlukan dan berfungsi hanya sebagai penghalang sinar yang menyilaukan mataku yang masih ingin terpejam.
“Dasar pemalas !” maki lembut Ayah sambil menyeret tanganku untuk bangkit. Aku menurut. Tak ada bedanya kalau aku berlama – lama. Pasti sebentar lagi Ayah akan menawarkan bantuannya untuk memandikanku. Bukan masalah sih kalau itu terjadi beberapa tahun yang lalu. Tapi ini, mungkin Ayah sudah lupa aku tak lagi Nin Ayah yang dulu, yang harus dimandiin setiap kali harus berangkat sekolah. Tapi Nin yang sekarang yang hampir lima belas tahun. Yang udah gede dan udah ce banget.
“Ayo.. Ayah mandiin ya ?” Nah benar kan. Tak susah menebaknya karena itu hampir terjadi setiap pagi. Paling tidak kalau Ayah tak harus berangkat pagi – pagi bener atau hari libur.
“Ga ah, mandi sendiri. Nin udah besar Yah.” Sungutku. Bergegas kuraih handuk dan berlari – lari kecil menuju kamar mandi. Ayah tersenyum dan berlalu dari kamarku.
Ayah ? kalau saja bisa kuungkapkan aku akan melukiskan Ayahku seperti Rembulan atau bintang dilangit yang selalu hadir menghiasi malam. Ayah adalah rembulan. Sedangkan aku bolehlah sebagai langitnya.
Ayah selalu hadir kapan saja aku butuhkan. Saat aku sedih dan merasa sendiri, Ayah akan dengan senang hati menemaniku. Mendengarkan segala keluh kesahku. Mendamaikanku dengan perasaan. Tapi itulah curangnya aku, aku bahkan dapat saja melupakan Ayah saat perasaan senang dan gembira menyambangiku. Tapi ayahku tetap seorang ayah yang penuh perlindungan, hangat, penuh perhatian dan pengertian. Dan kalaupun aku harus jujur, I’m is Dady Doughter !
Trit…Trit… Trit…. Suara alarm dari jam wekerku berderit panjang. Astaga naga, jam tujuh tepat. Sebenarnya belum sih, hanya saja sengaja jam weker itu aku lebihkan lima menit dengan maksud aku tak terburu – buru untuk bersiap. Tapi tetap saja aku kaget.
Turun ke Dapur, Bunda sudah menyiapkan sarapan untuk kami. Seperti biasa akulah yang paling datang terlambat. Mita, adik perempuanku seperti biasa juga tetep jadi anak Bunda yang baik. Jam berapa dia bangun ? sepagi ini sudah rapi jali. Seolah acuh, dia ikut tak kalah sibuk dengan Bunda. Menata meja dapur, menata sarapan pagi, dan kemudian duduk manis menghabiskan sarapannya. Sedangkan Tyo, si Bungsu, dengan acuh pula sibuk menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya. Sedangkan matanya tak juga beralih dari komik The Swordsman di tangannya.
“Ayo Tyo, cepetan makannya. Komiknya nanti aja.” Teriak Bunda memperingatkan Tyo. Tyo hanya mengangguk. Seperti biasa teriakan Bunda tak pernah dihiraukannya. Rasa – rasanya kalaupun ada bom atom meledak didekat kepalanyapun Tyo tak akan pernah rela melepaskan komik itu dari tangannya.
“Tuh kan, susu kamu tumpah lagi ! berapa kali Bunda bilang, kalo makan jangan sambil baca. Kamu…” belum selesai Bunda mengomel, Tyo sudah berlari menuju kamarnya. Baju putih dan celana merahnya kotor, rupanya susu yang seharusnya diminumnya tersenggol dan tumpah di tubuhnya.
Hihihi…kasihan deh. Melihatku tertawa, Bunda melotot. Aduh Bunda, segitu galaknya. Buru – buru kualihkan perhatianku pada Mita. Anak emas Bunda itu sedang mengemas bekal Tyo. Kepang ekor kudanya bergerak kesana – sini. Lucu. Bunda selalu mendandaninya. Karena rambut Mita panjangnya melebihi punggung, hingga Ibu yang harus mengepangnya setiap pagi, paling tidak dua kali sehari Bunda menyisir rambutnya, bahkan kadang – kadang Bunda harus menyisirnya tiga kali atau lebih saat Mita harus pergi lebih dari satu kali sehari. Nah ini yang nggak enaknya, saat Bunda tidak ada, Mita nyaris seperti kuntilanak yang nggak pernah tidur. Rambutnya aduh, jangan sampe deh dibayangin itu kusyutnya. Meriap – riap kesana sini.
Ehm soal rambutku, sebenernya sama kok kaya si Mita, rambut ku juga panjang. Nyaris mencapai pinggang tapi aku lain, aku nggak pernah ngandalin Bunda buat menyisir rambutku. Aku terbiasa berdandan sendiri. Walaupun kuakui kadang – kadang ribet dan perlu bantuan Bunda juga. Hehe..
“Nin, cepetan gih berangkat, tuh Ayah dah nunggu. Jangan lupa awasi adikmu. Jangan biarkan dia pulang sendiri.” Tegur Bunda yang tiba – tiba sudah ada disampingku.
Wah, kok aku jadi ngelamun. Kulihat Tyo dan Mita sudah tak ada. Rupanya mereka sudah duduk manis didalam mobil. Sedang Ayah telah bersiap dibelakang stirnya.
“Yes Mom, Nina berangkat dulu. Mungkin nanti Nina pulangnya telat, soalnya ada ekskul Tari. Biar Mita pulang duluan, toh nanti ada Erli dan Dian yang searah sama dia. Jadi dia nggak akan sendirian.” Kucium punggung tangan Bunda, Bunda membalasnya dengan mengecup dahiku.
“Ya, tapi kamu jangan melepaskannya begitu saja.” Ach Bunda, selalu saja mengkhawatirkan Mita. Kenapa sih nggak aku sekali – kali di khawatirkan. Aku kan juga anaknya ?
“Mit, kamu depan gih.” Kataku sambil menuju mobil. Mita menatapku kemudian mencibir kearahku.
“Ogah.” Jawabnya ketus.
“Dah, jangan ribut, pamit tuh ma Bunda.” Potong Ayah sebelum aku sempat berkata – kata. Aku segera masuk, melambai pada Bunda yang mengantarkan kepergian kami dengan lambaian dan juga desahan berat. Seakan kami hendak pergi jauh saja.
Duduk didepan membuatku jengah, apalagi nanti rute perjalanan kami harus melewati STM Nusantara. Dan pasti aku akan melihatnya lagi. Ugh, wajah itu pasti akan tersenyum manis menatapku. Dan setelah itu, Ayah akan terus meledekku. Mengatakan bahwa sekarang dia sudah punya anak gadis, yang sebentar lagi mungkin akan dewasa dan meluncurlah petatah petitih yang membosankan.
“Kamu harus bisa menjaga diri. Jangan sampai tergelincir dalam pergaulan bebas. Nina boleh pacaran, asal dalam batas kewajaran. Dan yang terpenting, sehat. Nina tahu kan artinya ? ya, paling tidak Ayah dengar di sekolah kamu sudah ada mata pelajaran Sex Education. Dan jangan lupa kenalkan cowok kamu tadi pada Ayah, dst, dsb.”
Kalo sudah seperti itu biasanya kedua adikku akan menggodaku lewat kaca spion. Mereka akan menjulurkan lidah, terbahak – bahak, dan seribu satu ejekan yang lain. Tentu saja tanpa suara. Persis seperti pantonim, hanya saja ini berupa ledekan dan ditujukan hanya untukku.
Dan benar saja, cowok itu dah ada di muka pagar sekolahnya. Tersenyum kearah datangnya mobil kami. Mendekat dan melambaikan tangan sambil memamerkan senyumnya yang sebenarnya memikat juga itu.
“Pagi Om…” sapanya. Gilingan banget sih. Dan Ayahpun akan tersenyum sembari membagikan dua tiga bunyi klakson membalas sapaannya.
Dah gitu, pasti cowok itu akan bilang, “Hai Nin..” dengan begitu lembut sebelum kemudian Ayah melajukan mobilnya kembali.
Dan aku, yang tertinggal padaku mungkin hanya rasa panas yang tiba – tiba menjalari seluruh mukaku. Mungkin warnanya lebih menyerupai warna kepiting rebus daripada memerah jambu.
Sebenarnya jarak sekolahku dan sekolah dia nggak lebih dari dua ratus meter. Tapi kami jarang bertemu. Sebab masing – masing sekolah kami dikelilingi tembok yang tinggi. Sehingga waktu ketemuan paling – paling ya pagi atau siang, untuk yang terakhir lebih jarang sebab terkadang saat dia pulang awal, aku harus pulang telat begitu sebaliknya.
“Nin, turun nggak sih, kok malah ngelamun ?” tegur Mita yang telah membukakan pintu untukku.
“Nina melamunkan cowok tadi ya ?” goda Ayah sambil tersenyum, memandangku penuh arti. Eehem.
“Ugh Ayah, apalagi sih. Bete deh.” Sungutku.
“Boleh Kok, kan Nina udah dewasa. Tapi…..” buru – buru kuraih tangan Ayah, mencium punggungnya dan berlalu pergi, sebelum petuah membosankan itu terdengar lagi.
“Nin.” Panggil Ayah. Aku menoleh dan berhenti sejenak. Ayah tersenyum, tangannya mengibas di udara.
“Hati – hati ya.” satu lagi petuah Ayah terdengar. Aku menggangguk, kembali berjalan kearahnya.
“Yah, boleh nggak Nina minta sesuatu ?” tanyaku pada Ayah. Sengaja kupancarkan wajah memohon dan berharap.
“Apa sih ? penting banget kayaknya ?” gantian Ayah bertanya.
“Nina pengen motor yah.” Mendengar kataku Ayah tak menjawab. Beragam ekpresi tampak diwajahnya. Kaget dan tak menyangka. Mulut Ayah bahkan menyerupai mulut ikan yang megap – megap kekurangan air.
“Makasih ya Yah, Ayah baik deh.” Seruku sambil ngeloyor pergi. Ya, Ayah kan belum bilang iya.
“Nin, hei hei.”
“Da Ayah, sampai nanti ya.”
Begitulah aku selalu menjadi anak yang baik, dengan keluarga yang baik, ayah yang baik, adik – adik yang baik. Walaupun terkadang aku merasa nggak pede saat temen – temen tahu bagaimana keluargaku. Yang anak papa lah yang kb lah – maksudnya keluarga ideal. Puff kadang – kadang aku sampai nggak bisa mikir.
Btw, soal motor tadi aku sama sekali nggak nyangka sama diriku sendiri kalo aku mo minta motor pada Ayah. Satu detik sebelumnya bahkan aku nggak kepikiran sama sekali. Permintaan itu meloncat begitu saja dari benakku.
Aku tahu, permintaanku berat untuk Ayah, bukan karena nominal nilai motornya. Tapi sepertinya Ayah mengkhawatirkan keselamatanku.
Aku juga mulai ragu, jika semula Ayah tak pernah sekalipun permintaanku dipendingnya lebih dari dua hari. Tapi ini hampir satu minggu, Ayah belum kelihatan mau membelikanku Motor. Jangankan terus ngajak ke showroom tiap kali bicarapun Ayah nggak pernah nyinggung soal motor itu.
“Wih, Nin. Enak banget nih. Kemarin kita habis touring ke Bromo. Kamu tahu tidak, naik motor itu sensasional banget. Bayangin aja, kita nggak usah repot bawa macem – macem. Cuma bawa diri kita aja, trus pergi deh kemana kita suka.” Cerocos Eli menyodok pinggangku. Menerangkan pengalamannya dengan motor barunya.
Aku meringis. Jauh didepan, Bu Bertha tengah menerangkan sebuah teori tentang demokrasi. Guru yang killer tapi cantik itu tampak serius dengan kata - katanya.
“Nin, tau nggak pacaran paling asyik naik motor. Bayangin aja, semakin jauh kita jalan, semakin lama kita bisa berpelukan ma bokis kita. Kalau perlu cari jalan yang jalurnya asyik. Sensasional banget….” Lagi – lagi cerocos Eli membuyarkan konsentrasiku. Matanya terpejam sambil senyum – senyum genit, apa sih yang lagi muncul dibenaknya.
Aku tersenyum. Merapatkan jari telunjuk persis didepan mulutku dan tetap menyimak keterangan Bu Bertha. Walaupun aku akui, aku sudah nggak bisa konsen lagi sama kata – katanya.
“Jadi Demokrasi itu berasal dari Bahasa Yunani, Demos dan Kratos, bla..bla..bla..”
Oh ya soal motor, suer aku nggak ada niatan mesum seperti Eli buat punya motor. Bukankah sudah seminggu aku minta dibelikanku Motor ? Bahkan sebelum Eli nyerocos soal salah satu keasyikan naik motorpun aku sudah berniat banget pengen punya motor. Satu hal itu karena aku hanya ingin bisa menghindar dari Firgi, cowok STM yang selalu setia setiap pagi menyongsong mobil Ayah dan menyapanya. Aku ingin setelah aku punya motor nanti aku tak perlu lagi diantar mobil Ayah. Dalam benakku terbayang, jika saja wajahku tertutup rapat oleh helm hitam. Kepiting rebus tak akan lagi berani menyambangi wajahku nanti. Setidak – tidaknya aku bisa tancap gas, saat melintas di depan STM itu nanti.
**

Wednesday 1 August 2007

"Selamat Pagi Jerawat"

Kuhitung kembali tanggal, tahun dan hari undur kebelakang. Empat tahu delapan bulan sebelas hari selebihnya lima jam sembilan menit satu detik dua puluh tiga, dua puluh emp............
Aku menghela nafas panjang, ternyata aku sudah lalui waktu yang sedemikian panjang bersamanya, dengan menggendong erat namanya hingga mengekor kemanapun aku pergi.

be continued .............