Wednesday 11 April 2007

Cinta >< Setia

“Cinta itu tidak melulu harus setia Saudariku “ Tutur Pergiwa sesaat setelah Gangga mulai duduk disampingnya. Mereka baru saja menyelesaikan mata kuliah terakhir malam itu. Pergiwa merasa perlu mengajak gadis itu keluar. Dia mengumpulkan ranting – ranting kecil dan mulai membuat api unggun untuk menghangatkan badan. Bulan itu bulan April, angin mulai bertiup kencang dan udara sangat nyaman, tak terlalu panas namun juga tak terlalu dingin.

Bayang – banyang pepohonan didepan mereka menari – nari diterpa cahaya api unggun. Beberapa siswa mungkin lebih senang bergelung selimut daripada menatap rembulan yang sayu mengintip dari balik awan.

Gangga menatap Pergiwa tidak percaya, bukankah pelajaran tentang cinta yang telah diajarkan oleh guru segala guru kehidupan tetap pada muara yang sama yaitu kesetiaan ? Gangga tak mengerti ada banyak pengejawantahan cinta yang bisa ditangkapnya dari seluruh pelajaran yang dia terima selama menjadi mahasiswi kehidupan. Dan ucapan Pergiwa meluluh lantakkan arti cinta seperti yang dimengertinya selama ini.

“Tapi bukankah rembulan tetap diharuskan mengitari bumi karena dia setia akan cintanya ?’ Tanya Gangga gusar. Dipandangnya wajah rembulan yang sayu bersinar di balik awan. Bagaimanapun hatinya selalu takluk pada mahasiswi bandel itu. Ulah Pergiwa memang terkadang ugal – ugalan tapi sebenarnya pikiran dan hatinya baik. Gangga menyadari, dalam diri Pergiwa dia merasa ada sebagian dari jati dirinya.

“Rembulan tak pernah bisa setia karena cinta hingga dia mengitari bumi. Suatu saat rembulan akan terbenam dan digantikan oleh Matahari, karena itulah aku katakan rembulan tak setia pada bumi begitupun sebaliknya. Lihatlah, wajahnya yang sayu, tak lama lagi dia akan menyerah dan cintanya akan kalah.”

Sekali lagi Gangga membenarkan perkataan Pergiwa. Kembali angannya melayang pada cintanya yang tertambat. Mungkin memang benar cinta tak mensyaratkan kesetiaan, tapi Gangga akan tetap berusaha untuk setia.

“Lalu kau pikir apa yang bisa membuat rembulan patuh mengitari bumi jika dia tidak setia pada cintanya ?” Sebagai salah satu mahasiswi kehidupan yang masih baru, Gangga masih terlalu hijau untuk mengenal dunia. Dimatanya seluruh dunia tampak indah dan benderang. Tak ada bahaya dan tak perlu terlalu dirisaukan. Gangga benar, sebagian dan sebagian lain dia hanya mempunyai alat peraba sedangkan indera lainnya belum pernah digunakan sebagaimana mestinya.

“Kekuatan yang Mahatinggilah yang menghendakinya, hingga rembulan tak pernah bisa menolak kehendaknya.”

“Kau pasti hendak mengatakan kalau Rembulan melakukan itu semata – mata karena telah ginaris oleh Sanghyang Widi ?”

“Tak perlu kau ragukan itu, memang aku telah berfikir demikian.”

“Kau bilang, wajah rembulan telah kuyu dan tak lama lagi dia akan menyerah dan cintanya akan kalah. Berarti dalam hati kaupun mengakui rembulan itu mencintai bumi dan kekuatan maha tinggi tak akan ada artinya.”

Pergiwa menggeleng pelan dan lemah, bagi Gangga itu sudah cukup untuk mengatakan bahwa Pergiwa tidak sependapat dengannya.

“Tidakkah kau lihat Saudariku ? Cinta Rembulan pada Bumi begitu nyata tapi itu tidak berarti mereka harus saling setia, berapa kali aku harus mengatakannya padamu bumi telah membagi cintanya pada matahari. Mereka saling cinta tapi tak pernah setia.”

Gangga terpana, sudut pelupuk Pergiwa yang tangguh telah penuh oleh bening air mata. Sesaat lagi, tetesan pertama akan bergulir dipipinya yang menguning gading. Gangga melihat pantulan cermin wajahnya dalam bening itu. Sungguh, dia merasa takjub pada pengetahuan dan kedalaman hati Pergiwa.

Pergiwa tersentak, dia merasa malu lalu sibuk mencari - cari dimana ketangguhan dan keperkasaannya telah jatuh atau tertinggalkan. Tapi dia tak bisa mendapatkannya hingga seseorang – tampaknya seorang hulubalang, datang menghadap mereka. Pakaian dan tanda yang dikenakannya jelas mengatakan dia adalah utusan seseorang yang dikirimkan kepadanya.

“Jika aku tak salah lihat, kau adalah salah seorang hulubalang Sentanu bukankah demikian ?”

Gangga terhenyak, inilah waktunya, tibalah saatnya dia harus pulang dan meninggalkan kesenangannya. Penjemput itu telah datang, seperti yang telah dijanjikan. Gangga mengerti disinilah dia akan kehilangan cinta dan keabadian. Bermalam – malam dia telah memikirkan jalan terbaik untuk melepaskan diri dari pemasungan yang pelan tapi pasti menghampirinya dan Gangga telah memutuskan.

“Bukankah sebuah e – mail telah kukirimkan pada rajamu semalam ? dan katakan apa dia menerima syarat yang telah kuajukan ?” Gangga bangkit dan berdiri, jika saja masih ada sedikit waktu atau ada sesuatu yang bisa ditukarkan dengan kebebasannya. Tentu dia masih ingin mengulur waktu dan berdiskusi tentang cinta dan kesetiaan dengan Pergiwa. Tapi pendulum waktu telah menghabiskan pasir seperti janjinya untuk pulang.

Hulubalang itu menunduk memeriksa lehernya dan melepaskan sebuah kalung yang tergantung bersama jimatnya lalu mengulurkannya ke arah Gangga dan berkata, “Raden Sentanu mengirimkan flash disk ini untuk Gusti, Semua yang ingin Gusti ketahui tentang beliau tersimpan di dalamnya, mohon untuk segera memeriksanya dan memberikan jawaban secepatnya, hamba tak bisa menunggu lama, Garuda akan terbang terakhir kalinya beberapa saat lagi, setelah itu kita harus menunggu paling tidak satu dasa warsa untuk kembali bertemu dengannya, Prabu Sentanu tak mau menunggu terlalu lama, Mohon Gusti mengerti.”

Hulubalang itu mengundurkan diri, Gangga mendengus kesal, atau lebih baik dia terlambat mendapati Garuda itu hingga harus menunggu beberapa lama lagi. tapi satu dasa warsa ? itu sangat terlalu lama. Pergiwa menatap flash disk yang berada diantara jari jemari Gangga dan menatapnya dengan tajam.

“Kamulah cinta Raden Sentanu, dia tidak akan pernah berhenti mengejarmu seperti Bulan mengejar Bumi.” Pergiwa mengulurkan tangan memainkan ujung rambut Gangga yang terurai dibuai angin. Rmbut yang halus, indah dan hitam berkilau.

“Ya, sekalipun bumi telah terikat janji dengan matahari.” Jawab Gangga kelu.

“Janji itupun tak mengikat bumi tak akan pernah bisa menerima bulan.” Pergiwa tertunduk khawatir. Geliat – geliat di hatinya semakin tak beraturan. Karena itu dia semakin gelisah. Gangga adalah putri dewa, bidadari yang tercipta untuk Sentanu. Sebagai seseorang yang lihai mudah saja bagi Pergiwa untuk mencuri berita itu dari langit. Dia tak perlu memandang cambuk api berkilat atau lingkaran nebula yang mengantarkan catatan kehidupan ke Bumi. Pergiwa hanya cukup memandang wajah ayu Gangga, bidadari yang sejak awal kedatangannya telah mencuri hatinya.

“Benarkah ? Jika demikian antarkan aku memeriksa catatan ini.” Pinta Gangga mengulurkan tangan yang disambut genggaman erat tangan Pergiwa.

Slide – slide kehidupan Sentanu tergambar jelas saat flash disk mulai dibuka. Dan itu cukup untuk membuat Gangga terpana dan terpaku menatapnya. Sentanu adalah seseorang yang terlalu sempurna untuk ditolaknya. Wajahnya begitu tampan, tulang wajahnya terlihat menonjol tapi tak menghapuskan ketampanannya sebaliknya terlihat sangat kokoh, gagah dan menawan. Tingkah lakunya santun dan berwibawa. Kepandaiannya meramal bintang, memanah dan berburu tak kalah dengan ketrampilannya memimpin. Sebagai calon pemimpin, Sentanu memang wajib memiliki nilai A + dalam semua mata pelajaran, dan itu terbukti dengan cacatan pendidikan yang terekam. Kekaguman Gangga belum saatnya berhenti, Sentanu sungguh seorang yang berbudi halus dan bawa laksana, diujung pertemuan itu Sentanu mengakhirinya dengan janji, “Aku bersumpah jika Dinda Gangga menerima pinanganku dan bersedia menjadi Ibu dari seluruh rakyatku maka aku tak akan pernah menolak keinginannya, apapun itu.”

Gangga menarik nafas panjang, Pergiwa mengambil kembali flash disk itu dan memberikannya pada Gangga. Sudah saatnya api unggun itu padam, bukan karena tersiram air hujan, melainkan karena air yang sengaja akan disiramkannya. Berlama – lama bertahan bukan pilihan yang bijaksana.

“Bagaimana menurutmu, Saudariku ?” Tanya Gangga. Pergiwa memandangnya dengan berkaca – kaca. Gangga menebak pastilah karena Pergiwa terharu oleh janji Sentanu yang terucap untuknya.

“Aku kira, hatimu sudah cukup untuk menilainya, maka jangan libatkan hatiku.”

Pergiwa benar, menerima pinangan Sentanu adalah harapan terbesar seluruh keluarganya. Sentanu adalah manusia setengah Dewa. Dia layak untuk mendapatkan apa yang diinginkannya, karena dialah anak emas Bathara. Sinar terang selalu menyinarinya kemanapun dia melangkah, Bintang kemujuran selalu mengiringinya kemanapun dia pergi. Karena itulah Gangga menginginkannya, karena cinta.

Gangga tak lagi berkata – kata, dia segera bersiap untuk meninggalkan tempat itu, sesegera mungkin, hingga pesawat terakhir bisa membawanya lebih cepat ke hadapan Sentanu untuk mempersembahkan cinta dan dirinya.

Gangga telah bersiap ketika Pergiwa menghadangnya dan mencekal pergelangan tangannya, “ Tunggu, aku tak mau rembulan sayu ada di wajahmu, karena aku telah melihatnya dari nebula semalam sesudah kau tidur.”

Gangga terkejut, kenapa Pergiwa tidak mengatakannya sejak awal. Ia memang percaya bahwa cinta telah mensyaratkan kesetiaan, tapi kata – kata Pergiwa dalam pertemuan itu telah membuat hatinya was – was dan khawatir.

“Cepat Saudariku, sebelum hulubalang itu datang dan Garuda pergi untuk yang terakhir kali, katakan demi Bathara Guru dan Bathara Indra juga Ibu Bapakku, katakan apa yang membuatmu khawatir wajahku akan sayu seperti rembulan ?”

Pergiwa tersenyum tipis, Gangga sudah berada dalam genggamannya sekalipun baru di ujung kelingking. tapi tidak mustahil gadis itu akan melekat di telapak tangannya hingga menjadi bagian dari garis tangannya, jika Bathara menghendaki.

“Jangan biarkan Sentanu mendapatkan keturunan darimu, sebab dialah yang akan merenggut kesetiaan dan cintanya padamu.”

“Anakku ?”

“Ya, anak kalian.”

“Bagaimana mungkin ?”

“Tidakkah kau pikir Sentanu menghendakimu hanya karena dia ingin dari rahimmu akan terlahir manusia – manusia hebat dan tangguh sepertimu, yang bisa meneruskan warisan tahtanya, menjadi bagian dari pasukan dan prajuritmu.”

“Tapi bukankah tanda cinta antara dua manusia adalah anak – anak yang akan terlahir ?”

“Mungkin.”

“Atau tidak mungkin jika itu adalah cintaku.” Bisik Pergiwa lirih lebih pelan dari desau daun hingga tak ada telingga satupun yang bisa mendengarnya kecuali hatinya sendiri.

“Sadarlah, kau tak ubahnya sebuah mesin penetas untuknya, kau bukanlah Amor yang harus selalu dipujanya setiap waktu. Mungkin saat ini ya, tapi sebentar lagi, cinta dan setianya akan tergerus waktu dan kebosanan.” Gejolak di hati Pergiwa telah sedemikian berapi – api. Untuk memiliki Gangga itu tak mungkin, dunia di luar Asrama ini tak akan pernah menerimanya apalagi bersaing dengan Sentanu dan menang adalah sesuatu hal yang mustahil dan terlalu dipaksakan. Pergiwa luruh, kedekatannya dengan Gangga akan menambah siksa.

Mata Gangga terbelalak lebar, dia tentu saja tidak bisa berbuat apapun selain meraba – raba mungkinkah kata – kata Pergiwa benar adanya. Pikiran Gangga berputar dengan cepat, tentu saja Sentanu membutuhkan perantara bagi anak – anaknya yang akan lahir. Calon pewaris tahta dan ras unggul. Sentanu tentu telah memilihnya karena semua yang disyaratkan untuk dapat menjadi Ibu yang unggul ada pada dirinya dan benarlah apa yang dikatakan Pergiwa, Sentanu tak akan pernah berpikir panjang tentang cinta dan kesetiaan.

Pergiwa menatap senang ke arah Gangga, perubahan wajah Gangga telah cukup memberi pengertian jika gadis itu telah dilanda kebimbangan. Pergiwa tak mungkin mengatakan terus terang akan batin dan perasaannya, dia tak pernah pecaya sekalipun pada Gangga yang dicintainya secara diam – diam. Perasaannya mungkin hanya sesaat dan akan kembali hilang saat dia bertemu lain orang. Untuk saat ini mempengaruhi pikiran Gangga sudah cukup membuatnya merasa dicintai.

“Lalu apa yang akan kau lakukan ?” tanyanya kemudian. Terus mendesak hingga Gangga tersudut. Dia harus memutuskan sesuatu.

Gangga terdiam beberapa saat, membatalkan pernikahan itu sama sekali tidak mungkin. Itu sama saja dengan menghancurkan istana dengan bom rakitannya sendiri. Tak dapat ia bayangkan angkara yang akan diterimanya dari Ayah Bundanya jika penolakan itu terucap.

“Tak akan kubiarkan mereka merebut cinta serta kesetiaannya dariku.” Desisnya pelan, pandangannya tak beralih dari sebongkah batu yang berada setindak di depannya. Petir menggelegar, sekalipun tak ada tanda – tanda hujan akan turun. Janji telah terdengar hingga ke penjuru langit dan bumi. Dewa telah mencatatnya, Gangga tersentak, menyadari kesalahan pengucapannya tapi Bathara terlanjur mendengarnya, Sabda pandhita ratu tan kena wola – wali.

Lidah Gangga tak lagi dapat berkata – kata, lidah itu telah menjadi sedemikian keras dan bertulang hingga tak satupun kalimat kembali terucap sampai akhirnya hulubalang datang menjemputnya.

Gangga menatap angkuh ke arah rembulan, jika keabadianmu tak bisa membuatmu setia lalu apa yang bisa membuatku setia ?

No comments: