Tuesday 5 February 2008

"Dua Warna"


Aku belum juga bangkit saat ciuman pipi Ayah kembali mendarat di wajahku. Kali ini bahkan Ayah sengaja menggelitik pinggangku. Malas aku menggeliat, memandang wajah Ayah yang tersenyum tak berdosa. Kembali tengkurap dengan bantal guling menutup seluruh kepalaku. Ayah tertawa kecil melihat tingkahku, terdengar sekilas dari balik bantal.
“Ayolah Tuan Putri, lekaslah bangun. Kau lihat matahari sudah tinggi. Apa kau ingin datang ke sekolah dengan terlambat. Atau jangan – jangan di setrap Ibu Guru sudah menjadi hobi barumu ?” kata Ayah lembut. Direnggutnya paksa bantal guling dariku. Aku mengeluh. Ayah, kenapa aku yang selalu diganggunya dan bukannya Mita atau Tyo, anak – anak Ayah yang lain ?
Ugh. Aku menggeliat malas. Kudorong tubuh Ayah dengan kakiku. Pura – pura tak sengaja. Tak ayal, tubuh Ayahpun terjerembab jatuh. Ayah terbahak, mengambil bantal dan melemparkannya padaku. Kutangkis segera dengan reflek. Ye nggak kena tuh.
Aku kembali bergelung. Memeluk erat bantal gulingku tersayang. Menarik malas selimut yang sebenarnya tak lagi kuperlukan dan berfungsi hanya sebagai penghalang sinar yang menyilaukan mataku yang masih ingin terpejam.
“Dasar pemalas !” maki lembut Ayah sambil menyeret tanganku untuk bangkit. Aku menurut. Tak ada bedanya kalau aku berlama – lama. Pasti sebentar lagi Ayah akan menawarkan bantuannya untuk memandikanku. Bukan masalah sih kalau itu terjadi beberapa tahun yang lalu. Tapi ini, mungkin Ayah sudah lupa aku tak lagi Nin Ayah yang dulu, yang harus dimandiin setiap kali harus berangkat sekolah. Tapi Nin yang sekarang yang hampir lima belas tahun. Yang udah gede dan udah ce banget.
“Ayo.. Ayah mandiin ya ?” Nah benar kan. Tak susah menebaknya karena itu hampir terjadi setiap pagi. Paling tidak kalau Ayah tak harus berangkat pagi – pagi bener atau hari libur.
“Ga ah, mandi sendiri. Nin udah besar Yah.” Sungutku. Bergegas kuraih handuk dan berlari – lari kecil menuju kamar mandi. Ayah tersenyum dan berlalu dari kamarku.
Ayah ? kalau saja bisa kuungkapkan aku akan melukiskan Ayahku seperti Rembulan atau bintang dilangit yang selalu hadir menghiasi malam. Ayah adalah rembulan. Sedangkan aku bolehlah sebagai langitnya.
Ayah selalu hadir kapan saja aku butuhkan. Saat aku sedih dan merasa sendiri, Ayah akan dengan senang hati menemaniku. Mendengarkan segala keluh kesahku. Mendamaikanku dengan perasaan. Tapi itulah curangnya aku, aku bahkan dapat saja melupakan Ayah saat perasaan senang dan gembira menyambangiku. Tapi ayahku tetap seorang ayah yang penuh perlindungan, hangat, penuh perhatian dan pengertian. Dan kalaupun aku harus jujur, I’m is Dady Doughter !
Trit…Trit… Trit…. Suara alarm dari jam wekerku berderit panjang. Astaga naga, jam tujuh tepat. Sebenarnya belum sih, hanya saja sengaja jam weker itu aku lebihkan lima menit dengan maksud aku tak terburu – buru untuk bersiap. Tapi tetap saja aku kaget.
Turun ke Dapur, Bunda sudah menyiapkan sarapan untuk kami. Seperti biasa akulah yang paling datang terlambat. Mita, adik perempuanku seperti biasa juga tetep jadi anak Bunda yang baik. Jam berapa dia bangun ? sepagi ini sudah rapi jali. Seolah acuh, dia ikut tak kalah sibuk dengan Bunda. Menata meja dapur, menata sarapan pagi, dan kemudian duduk manis menghabiskan sarapannya. Sedangkan Tyo, si Bungsu, dengan acuh pula sibuk menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya. Sedangkan matanya tak juga beralih dari komik The Swordsman di tangannya.
“Ayo Tyo, cepetan makannya. Komiknya nanti aja.” Teriak Bunda memperingatkan Tyo. Tyo hanya mengangguk. Seperti biasa teriakan Bunda tak pernah dihiraukannya. Rasa – rasanya kalaupun ada bom atom meledak didekat kepalanyapun Tyo tak akan pernah rela melepaskan komik itu dari tangannya.
“Tuh kan, susu kamu tumpah lagi ! berapa kali Bunda bilang, kalo makan jangan sambil baca. Kamu…” belum selesai Bunda mengomel, Tyo sudah berlari menuju kamarnya. Baju putih dan celana merahnya kotor, rupanya susu yang seharusnya diminumnya tersenggol dan tumpah di tubuhnya.
Hihihi…kasihan deh. Melihatku tertawa, Bunda melotot. Aduh Bunda, segitu galaknya. Buru – buru kualihkan perhatianku pada Mita. Anak emas Bunda itu sedang mengemas bekal Tyo. Kepang ekor kudanya bergerak kesana – sini. Lucu. Bunda selalu mendandaninya. Karena rambut Mita panjangnya melebihi punggung, hingga Ibu yang harus mengepangnya setiap pagi, paling tidak dua kali sehari Bunda menyisir rambutnya, bahkan kadang – kadang Bunda harus menyisirnya tiga kali atau lebih saat Mita harus pergi lebih dari satu kali sehari. Nah ini yang nggak enaknya, saat Bunda tidak ada, Mita nyaris seperti kuntilanak yang nggak pernah tidur. Rambutnya aduh, jangan sampe deh dibayangin itu kusyutnya. Meriap – riap kesana sini.
Ehm soal rambutku, sebenernya sama kok kaya si Mita, rambut ku juga panjang. Nyaris mencapai pinggang tapi aku lain, aku nggak pernah ngandalin Bunda buat menyisir rambutku. Aku terbiasa berdandan sendiri. Walaupun kuakui kadang – kadang ribet dan perlu bantuan Bunda juga. Hehe..
“Nin, cepetan gih berangkat, tuh Ayah dah nunggu. Jangan lupa awasi adikmu. Jangan biarkan dia pulang sendiri.” Tegur Bunda yang tiba – tiba sudah ada disampingku.
Wah, kok aku jadi ngelamun. Kulihat Tyo dan Mita sudah tak ada. Rupanya mereka sudah duduk manis didalam mobil. Sedang Ayah telah bersiap dibelakang stirnya.
“Yes Mom, Nina berangkat dulu. Mungkin nanti Nina pulangnya telat, soalnya ada ekskul Tari. Biar Mita pulang duluan, toh nanti ada Erli dan Dian yang searah sama dia. Jadi dia nggak akan sendirian.” Kucium punggung tangan Bunda, Bunda membalasnya dengan mengecup dahiku.
“Ya, tapi kamu jangan melepaskannya begitu saja.” Ach Bunda, selalu saja mengkhawatirkan Mita. Kenapa sih nggak aku sekali – kali di khawatirkan. Aku kan juga anaknya ?
“Mit, kamu depan gih.” Kataku sambil menuju mobil. Mita menatapku kemudian mencibir kearahku.
“Ogah.” Jawabnya ketus.
“Dah, jangan ribut, pamit tuh ma Bunda.” Potong Ayah sebelum aku sempat berkata – kata. Aku segera masuk, melambai pada Bunda yang mengantarkan kepergian kami dengan lambaian dan juga desahan berat. Seakan kami hendak pergi jauh saja.
Duduk didepan membuatku jengah, apalagi nanti rute perjalanan kami harus melewati STM Nusantara. Dan pasti aku akan melihatnya lagi. Ugh, wajah itu pasti akan tersenyum manis menatapku. Dan setelah itu, Ayah akan terus meledekku. Mengatakan bahwa sekarang dia sudah punya anak gadis, yang sebentar lagi mungkin akan dewasa dan meluncurlah petatah petitih yang membosankan.
“Kamu harus bisa menjaga diri. Jangan sampai tergelincir dalam pergaulan bebas. Nina boleh pacaran, asal dalam batas kewajaran. Dan yang terpenting, sehat. Nina tahu kan artinya ? ya, paling tidak Ayah dengar di sekolah kamu sudah ada mata pelajaran Sex Education. Dan jangan lupa kenalkan cowok kamu tadi pada Ayah, dst, dsb.”
Kalo sudah seperti itu biasanya kedua adikku akan menggodaku lewat kaca spion. Mereka akan menjulurkan lidah, terbahak – bahak, dan seribu satu ejekan yang lain. Tentu saja tanpa suara. Persis seperti pantonim, hanya saja ini berupa ledekan dan ditujukan hanya untukku.
Dan benar saja, cowok itu dah ada di muka pagar sekolahnya. Tersenyum kearah datangnya mobil kami. Mendekat dan melambaikan tangan sambil memamerkan senyumnya yang sebenarnya memikat juga itu.
“Pagi Om…” sapanya. Gilingan banget sih. Dan Ayahpun akan tersenyum sembari membagikan dua tiga bunyi klakson membalas sapaannya.
Dah gitu, pasti cowok itu akan bilang, “Hai Nin..” dengan begitu lembut sebelum kemudian Ayah melajukan mobilnya kembali.
Dan aku, yang tertinggal padaku mungkin hanya rasa panas yang tiba – tiba menjalari seluruh mukaku. Mungkin warnanya lebih menyerupai warna kepiting rebus daripada memerah jambu.
Sebenarnya jarak sekolahku dan sekolah dia nggak lebih dari dua ratus meter. Tapi kami jarang bertemu. Sebab masing – masing sekolah kami dikelilingi tembok yang tinggi. Sehingga waktu ketemuan paling – paling ya pagi atau siang, untuk yang terakhir lebih jarang sebab terkadang saat dia pulang awal, aku harus pulang telat begitu sebaliknya.
“Nin, turun nggak sih, kok malah ngelamun ?” tegur Mita yang telah membukakan pintu untukku.
“Nina melamunkan cowok tadi ya ?” goda Ayah sambil tersenyum, memandangku penuh arti. Eehem.
“Ugh Ayah, apalagi sih. Bete deh.” Sungutku.
“Boleh Kok, kan Nina udah dewasa. Tapi…..” buru – buru kuraih tangan Ayah, mencium punggungnya dan berlalu pergi, sebelum petuah membosankan itu terdengar lagi.
“Nin.” Panggil Ayah. Aku menoleh dan berhenti sejenak. Ayah tersenyum, tangannya mengibas di udara.
“Hati – hati ya.” satu lagi petuah Ayah terdengar. Aku menggangguk, kembali berjalan kearahnya.
“Yah, boleh nggak Nina minta sesuatu ?” tanyaku pada Ayah. Sengaja kupancarkan wajah memohon dan berharap.
“Apa sih ? penting banget kayaknya ?” gantian Ayah bertanya.
“Nina pengen motor yah.” Mendengar kataku Ayah tak menjawab. Beragam ekpresi tampak diwajahnya. Kaget dan tak menyangka. Mulut Ayah bahkan menyerupai mulut ikan yang megap – megap kekurangan air.
“Makasih ya Yah, Ayah baik deh.” Seruku sambil ngeloyor pergi. Ya, Ayah kan belum bilang iya.
“Nin, hei hei.”
“Da Ayah, sampai nanti ya.”
Begitulah aku selalu menjadi anak yang baik, dengan keluarga yang baik, ayah yang baik, adik – adik yang baik. Walaupun terkadang aku merasa nggak pede saat temen – temen tahu bagaimana keluargaku. Yang anak papa lah yang kb lah – maksudnya keluarga ideal. Puff kadang – kadang aku sampai nggak bisa mikir.
Btw, soal motor tadi aku sama sekali nggak nyangka sama diriku sendiri kalo aku mo minta motor pada Ayah. Satu detik sebelumnya bahkan aku nggak kepikiran sama sekali. Permintaan itu meloncat begitu saja dari benakku.
Aku tahu, permintaanku berat untuk Ayah, bukan karena nominal nilai motornya. Tapi sepertinya Ayah mengkhawatirkan keselamatanku.
Aku juga mulai ragu, jika semula Ayah tak pernah sekalipun permintaanku dipendingnya lebih dari dua hari. Tapi ini hampir satu minggu, Ayah belum kelihatan mau membelikanku Motor. Jangankan terus ngajak ke showroom tiap kali bicarapun Ayah nggak pernah nyinggung soal motor itu.
“Wih, Nin. Enak banget nih. Kemarin kita habis touring ke Bromo. Kamu tahu tidak, naik motor itu sensasional banget. Bayangin aja, kita nggak usah repot bawa macem – macem. Cuma bawa diri kita aja, trus pergi deh kemana kita suka.” Cerocos Eli menyodok pinggangku. Menerangkan pengalamannya dengan motor barunya.
Aku meringis. Jauh didepan, Bu Bertha tengah menerangkan sebuah teori tentang demokrasi. Guru yang killer tapi cantik itu tampak serius dengan kata - katanya.
“Nin, tau nggak pacaran paling asyik naik motor. Bayangin aja, semakin jauh kita jalan, semakin lama kita bisa berpelukan ma bokis kita. Kalau perlu cari jalan yang jalurnya asyik. Sensasional banget….” Lagi – lagi cerocos Eli membuyarkan konsentrasiku. Matanya terpejam sambil senyum – senyum genit, apa sih yang lagi muncul dibenaknya.
Aku tersenyum. Merapatkan jari telunjuk persis didepan mulutku dan tetap menyimak keterangan Bu Bertha. Walaupun aku akui, aku sudah nggak bisa konsen lagi sama kata – katanya.
“Jadi Demokrasi itu berasal dari Bahasa Yunani, Demos dan Kratos, bla..bla..bla..”
Oh ya soal motor, suer aku nggak ada niatan mesum seperti Eli buat punya motor. Bukankah sudah seminggu aku minta dibelikanku Motor ? Bahkan sebelum Eli nyerocos soal salah satu keasyikan naik motorpun aku sudah berniat banget pengen punya motor. Satu hal itu karena aku hanya ingin bisa menghindar dari Firgi, cowok STM yang selalu setia setiap pagi menyongsong mobil Ayah dan menyapanya. Aku ingin setelah aku punya motor nanti aku tak perlu lagi diantar mobil Ayah. Dalam benakku terbayang, jika saja wajahku tertutup rapat oleh helm hitam. Kepiting rebus tak akan lagi berani menyambangi wajahku nanti. Setidak – tidaknya aku bisa tancap gas, saat melintas di depan STM itu nanti.
**