Saturday 14 April 2007

Masa Lajang Mas Bayu

Lebaran kali ini masih sama dengan lebaran – lebaran yang lalu. Kami keluarga besar berkumpul menjadi satu. Juga masih disatu tempat yang sama, rumah Kakek di pojok Kota Ambarawa.

Keluarga kami boleh dinamakan keluarga setengah besar – kalau tidak mau dikatakan sebagai keluarga kecil. Maklum, sejak dari Kakek hingga kami – generasi ketiganya sudah terbiasa dan akan selalu berprinsip dua anak cukup. Jadi bisa dibayangkan jika keluarga besar Kakek tak sebanyak Keluarga besar yang lain.

Kakek sendiri berputra dua yaitu Ayah – Ayah bekerja di Sebuah Instansi Pemerintahan di Ungaran serta Om Tio. Anak bungsu Kakek ini jebolan ITB Bandung yang sekarang bekerja di Jakarta. Tentang Kakek sendiri, Kakek adalah mantan pejuang Tahun Empat Puluh Lima dan kini – dia masih sering berbangga dengan perjuangan dan jabatannya sekarang, menjabat sebagai Ketua Ranting Legiun Veteran di Salatiga.

Dan kami keempat cucu – cucunya semuanya adalah laki – laki, hanya aku yang perempuan. Sulung Ayah atau kakakku, Mas Bayu sekarang lebih suka tinggal di Jakarta. Sejak kecil dia sangat suka dengan laut hingga akhirnya memilih mengambil jurusan Perkapalan di Undip. Hingga akhirnya kecintaan itulah yang mendamparkannya bekerja pada sebuah perusahaan pelayaran. Tapi tempat bekerja Mas Bayu bukan di Kapalnya melainkan di Kantor sebuah perusahaan pelayaran. Bagiku tak menjadi persoalan, apalagi aku terlalu awam soal laut dan tetek bengeknya. Perkapalan atau pelayaran mungkin sedikit berbeda tapi untuk apalah diperdebatkan.

Yang menjadi masalah lebaran kali ini Mas Bayu datang masih tanpa gandengan alias sendiri. Seperti yang sudah diketahui keluarga besar Kakek, usia Mas Bayu saat ini sudah mencapai kepala empat. Apalagi aku, Nano dan Dewa – keduanya anak Om Tio, juga sudah mempunyai masing – masing dua momongan.

“Pasti Lebaran tahun ini topiknya masih sama.” Bisikku pada Eri, istri Nano yang blasteran Portugis – Manado. Eri mengerutkan dahinya lalu tersenyum berseri.

“Mas Bayu ya Mbak.” Tebaknya yakin. Aku manggut – manggut.

“Lalu kenapa Mas Bayu sampai sekarang belum mau menikah ?” tanyanya kemudian.

Aku termenung mengingat - ingat. Sejak kecil kami memang selalu bersama. Bahkan Mas Bayu selalu menjagaku dengan mengajak serta kemanapun dia pergi bermain – Ibu seorang guru di Bandungan. Masa Remajanya nyaris tak ada yang dapat ditutupinya dariku. Bahkan dengan gadis manapun dia dekat, dia tak pernah bisa menyembunyikannya. Sebaliknya pula denganku, apapun yang kulakukan dan dengan siapapun aku dekat, Mas Bayu selalu tahu. Semuanya serba terbuka. Mungkin karena kami terbiasa tumbuh bersama dan usia kamipun hanya terpaut dua puluh bulan. Bahkan tak jarang kami sering dikira kembar jika bertemu orang.

“Pernah patah hati ya Mbak atau Jatuh cinta tak kesampaian ?” kembali Eri mencecarku dengan pertanyaan.

Aku menggeleng pelan. “Mas Bayu tak pernah patah hati juga tak pernah jatuh cinta tak kesampaian. Coba saja lihat, mana ada gadis di Ambarawa ini yang berani menolaknya. Wajah Mas Bayu kan tampan. Jaman dia masih muda mirip Rico Tampati lo. Malah wajah Mas Bayu lah yang paling tampan diantara laki – laki yang kukenal.” Kataku sambil menata meja untuk berbuka puasa terakhir petang nanti.

Tiba – tiba Alin istri Dewa muncul dari dapur sambil mencibir kearahku. Matanya yang bundar mengingatkanku pada tumpukan donat yang terpapar di atas meja, bulatnya sama.

“Ah yang benar ? Lalu Mas Sigit kalah tampan dong sama Mas Bayu.” Selorohnya. Aku mendelik, wajahku pasti sudah merah padam. Mas Sigit adalah Ayah dari anak – anakku. Gila apa jika aku melihatnya kalah dari Mas Bayu. Nggak mungkin dilihat dari kacamata manapun. Eri dan Alin tertawa lebar.

“Maksudku tampan Mas Bayu tapi gantengan Mas Sigit gitu lo.” Tukasku sambil pergi. aku tak mau lebih lama lagi jadi bulan – bulanan mereka. keduanya mengiringi kepergianku dengan tawa yang riuh.

Dua adik iparku ini memang jago ngerjain orang. Bahkan jauh – jauh hari sebelum mereka datang aku sudah menduga kalau mereka akan berbuat hal itu. Paling tidak sejak lebaran pertama mereka ketika mereka masuk dan menjadi bagian dari keluarga ini – sekitar enam atau tujuh tahun yang lalu, aku sudah langsung tahu kalau sifat mereka selalu ingin tahu dan usil. Jangankan aku, Mas Bayu, suami – suami mereka, Om Tio dan Bulik Endah atau Bapak Ibu bahkan juga Kakekpun sering menjadi bulan – bulanan mereka. Sering terlintas di benakku mungkin karena mereka sama – sama berasal dari luar Jawa sehingga keberanian mereka melebihi kami yang asli Jawa. Apalagi Ayahku selalu saja mengatakan, “Bicara dengan orang tua harus dijaga tata krama.”

“Mas Bayu cuma nggak niat saja Kek. Gaji sudah besar, karier mapan, rumah ada. Mobil juga. Rasa – rasanya nggak ada alasan lagi untuk terus membujang.” Seloroh Dewa yang diiyakan oleh anggukan seluruh keluarga.

Ibu meletakkan sepiring penuh brownies coklat. “Bayu memang seperti itu. Alasannya tahun kemarin karena dia belum siap. Alasan tahun ini apa lagi ?” tanya Ibu membetulkan letak kacamatanya. Melirik ke arah Mas Bayu. Sinis. Sudah sejak lama Ibu ingin dihadiahi cucu perempuan – dariku beliau mendapatkan dua cucu yang dua – duanya laki – laki. Kata Ibu, beliau selalu kepingin tiap kali pergi jalan – jalan dan melihat baju serta assesories anak perempuan. Lucu dan menggemaskan.

Mas Bayu yang seperti biasa duduk terdiam di sudut ruang beranjak mendekat setelah Kakek berkata, “Yu, Kamu ini cucu sulung Kakek. Kakek nggak mau mati sebelum melihat kamu menikah. Mbok mendekat kesini, biar Kakek nggak harus teriak kalau ngomong sama kamu.” Kakekku ini memang hebat. Dalam usianya yang hampir delapan puluh penampilan beliau bahkan seperti kakak Ayah yang berusia duapuluh limaan dibawahnya. Tentu saja alasannya tidak mendengar terlalu dibuat – buat. Sepengetahuan kami pendengaran Kakek masih sangat bagus.

Mas Bayu mendekat dengan ogah – ogahan. Dia lebih senang memilih duduk didekat Bapak. Seperti biasa Bapak pasti akan mendukung semua pendapat dan alasan – alasannya untuk terus melajang. Entah kenapa semua yang dilakukan Mas Bayu pasti mendapatkan dukungannya.

“Piye to Yu, kenapa kamu belum juga bawa calon istrimu kesini. Apa kamu tidak takut Kakekmu ini keburu mati.” Tegur Kakek setelah Mas Bayu duduk.

“Kakek ini. Mati kan urusan Tuhan. Jangankan Kakek yang sudah sepuh, kita semua kan sebenarnya lagi nunggu panggilan.” Tukas Nano tepat ketika Bulik Ndari berada di sampingnya. “Huss..” Bulik Ndari melotot. Nano yang usianya sepantaran denganku buru – buru menutup mulut. Di keluarga kami memang sama, semuanya jadi kekanak – kanakan saat berkumpul dengan keluarga. Selalu takluk pada apa yang dikatakan orang tua.

“Yu, Mbok dijawab dengan jujur to pertanyaan Kakek itu. Lagipula kami disini pengen juga dengerin alasan kamu tetap melajang itu apa ?” tanya Om Tio yang sedari tadi hanya memperhatikan jalannya persidangan kasus melajangnya Mas Bayu tiba – tiba ikut berkomentar.

Sekilas Mas Bayu memandang ke arah Bapak. Bapak yang merasa heran menggidikkan bahu. “Lho jangan tanya Bapakmu.” Mungkin begitu kata Bapak dalam hatinya.

“Sulit aku menerangkanya.” Desis Mas Bayu lirih.

“Ya…….” serentak kami kecewa.

“Sudahlah Mas, Nikah saja. Enak kok.” Sahut Mas Sigit suamiku. Semuanya memandang ke arah kami bergantian. Mas Sigit tersipu malu ketika dia menangkap lirikan tak senang pada wajahku. Nano dan Eri saling menyikut. Nggak lucu. Batinku.

“Ayolah Yu, ibaratnya kereta. Kamu akan semakin ketinggalan jauh, kalau tidak segera menikah. Apalagi umurmu itu sudah berapa ? dan kalau anakmu nanti lahir dan lagi butuh – butuhnya kuliah dan sebagainya, kamu sudah umur berapa ?” tanya Kakek kali ini sambil membetulkan letak kacamatanya yang melorot jatuh. Untung hidung kakek sedikit bangir, coba kalau tidak pasti sudah jatuh dan pecah berkeping – keping.

“Maksud Kakek nanti Mas Bayu keburu karatan seperti kereta api di musium itu.” Jelas Alin tanpa berdosa. Kali ini giliran Dewa yang menyikut istri tercintanya. Alin malah memandang ke semua orang, mencari pembenaran atas ucapannya.

“Gini lho Kek, Buat saya, menikah itu bukan perkara enteng. Butuh keberanian dan juga keputusan yang matang untuk melakukannya. Tidak sekedar karena umur yang sudah matang dan hidup yang mapan.” Tiba – tiba Mas Bayu mengeluarkan suara. Wuih, kami tiba – tiba terpana. Jawaban Mas Bayu seratus persen benar tapi kenapa mencengangkan ?

Biasanya Mas Bayu hanya memilih diam dan diam. Dan seperti biasa pula pembicaraan lalu macet hingga mereka kemudian membubarkan diri menuju aktifitasnya masing – masing. Kami saling berpandangan, heran. Bapak manggut – manggut. Kakek menatap Mas Bayu dengan penuh keingintahuan, “Maksud kamu, kamu masih perlu berfikir lagi ? berapa lama, Jaman kakek dulu setiap orang selalu dituntut untuk cepat dalam berfikir dan bertindak, tak ada orang yang senang mengulur waktu dan pekerjaan seperti anak – anak muda sekarang. Lagipula apa lagi yang harus dipikirkan ?” Kakek mengelus kumisnya yang memutih. Matanya menghujam tajam ke arah Mas Bayu dan Bapak bergantian.

Ini dia, biasanya setelah ini Kakek akan segera menceriterakan kisah perjuangan semasa hidupnya yang hebat, mengisahkan perjuangannya membantu Jenderal Sudirman merebut Palagan Ambarawa sekalipun waktu itu usia kakek belum genap dua puluh tahun atau usahanya ketika meruntuhkan hati Sri Giyanti, seorang perawat perang yang menurut Kakek ayunya sejagad dijamannya.

Tapi tidak, Kakek memilih untuk tidak bercerita, mungkin menurut Kakek, kami telah hafal ceritera itu sampai ke titik komanya atau mungkin pula ceritera itu tiba – tiba telah menghilang hangus dari kepala Kakek yang telah beruban lebat.

“Apa lagi yang kau takutkan Yu ?” Kakek melanjutkan intrograsinya.

“Sebenarnya saya sudah ada calon Kek, cuma ….” Kata – kata Mas Bayu terpotong. Tanda tanya sepontan menghuni kepala seluruh yang hadir. Jadi, calon itu sudah ada ? siapa dia, kenapa Mas Bayu tak pernah berterus terang ?

“Cuma apalagi, apa calon kamu kurang cantik, tidak pandai terus kamu malu mengenalkannya pada kami atau kau khawatir Kakek dan Bapakmu tak mau melamarkannya untukmu ?” kernyit di dahi Kakek semakin memadat.

Mas Bayu menatap kearah kami, ada tujuh orang di ruangan ini dan masing – masing pasti mempunyai pikiran yang berbeda dan rasa penasaran yang sama. Tapi pikiran Mas Bayu sama sekali tak tertebak. Bahkan aku sendiri masih gamang untuk menebak siapa calon yang dikehendaki Mas Bayu menjadi istrinya.

“Mungkinkah Shinta atau Devi, Ma ?” Bisik Mas Sigit mendekatkan bibirnya ke telingaku. Aku menggeleng pelan, “Nggak tau.”

“Atau Tami ?” lanjut Mas Sigit masih dengan berbisik. Aku menggidikkan bahu, “Ya mana aku tahu Mas. Aku juga penasaran kok.” Jawabku sedikit ketus.

Mendengar jawabanku, Mas Sigit mendesah, gagal menjawab rasa penasarannya. Kalau saja bisa jujur, semua yang disini pasti penasaran untuk mengetahui siapa calon Mas Bayu.

“Yu, kau dengar tidak kata – kata Kakek, siapa calon itu ?” kali ini suara Kakek sedikit mengeras. Mas Bayu memandang ke arah pintu menuju dapur. Semua mengikuti pandangannya dan saling bertanya, “Siapa ?” semua berharap disana akan ada surprise kemunculan calon Mas Bayu. Mungkinkah Mas Bayu sudah menyiapkannya, semua yang hadir menahan nafas.

“Dia adalah Siti, Kek.” Jawab Mas Bayu datar tanpa rasa bersalah. Kakek, Bapak, Ibu, Aku dan semua yang ada terhenyak. Siti ? pembantu rumah kami yang usianya separuh usia Mas Bayu. Siti memang lembut tapi kadang – kadang keluguannya malah seperti sebuah ketololan. Tapi kenapa harus dia, sedang kami tahu, penggemar Mas Bayu banyak. Rekan kerja Mas Bayu juga banyak yang lebih cantik, pandai dan lebih segala – galanya dari Siti, kenapa harus dia ? Kami saling bertatapan dengan bermacam pikiran tak yakin. Tapi buru – buru mengalihkan pandang ketika sadar bahwa siapapun calon Mas Bayu kami sudah berjanji tak akan mempermasalahkannya.

Ambarawa, 31 Juli 2006

19.33

Untuk : Thalasemia, sahabatku ;

No comments: