Wednesday 11 April 2007

Bunga Sakura Ungu

Rembulan redup. Tak ada malam semuram ini. Wajah indah didepanku menunduk lurus menekur lantai. Tetesan lembut airmata menggenangi wajahnya yang ayu. Hatiku berdesir, seolah berjuta kesalahan telah aku lakukan. Ku hela nafas dalam – dalam. Ah, Seandainya saja aku bisa memilih.

Arf, Anatano shigoto o sumashite kudasai.” Katanya lirih. Nyaris tak terdengar ditingkah gemuruh kereta bawah tanah.

“Maafkan aku jika aku telah menyakitimu.”

Murasaki tersenyum. Satu senyum yang dipaksakan. Aku tahu kepedihan yang tengah ditanggungnya, mungkin juga seperti kepedihan yang tengah kutanggung. Setelah kuputuskan untuk pergi meninggalkan Tokyo.

“Tak apa. Why you must be sad. Just easy. I’m ok.” Derai tawa renyah Murasaki kembali terdengar. Derai yang bagiku kedengaran lebih merdu dari derai ombak pantai pasir putih. Dan derai renyah itu justru terasa mengiris dadaku. Ya, mungkin karena sebentar lagi aku tak akan mendengar tawa itu. Setidak – tidaknya untuk waktu yang tak dapat kutentukan. Mungkin juga aku masih akan mendengarnya melalui telepon tapi semuanya akan menjadi lain.

“ Ake, jika kau ingin….” Murasaki tersenyum. Disentuhkannya telunjuknya melintang di depan mulutku. Dia menggeleng. Memegang tanganku dan berkata, “Arf, I love you.”

Murasaki mencium bibirku lembut. Menatapku dan berlalu. Langkah Murasaki tampak lunglai. Bukan Murasaki yang memutuskanku melainkan aku yang telah memutuskannya. Akan tetapi mengapa aku yang merasa sangat kehilangan. Kuhentakkan kakiku kuat – kuat. Aku berharap kegalauan ini akan segera hilang.

“Arf, kau melamun ?” tanya Fan. Gadis itu menggeleng – gelengkan kepalanya didepanku. Matanya mengerjap indah. Fan yang cantik, secantik gadis – gadis metropolis. Tapi entah mengapa aku tak bisa tertarik padanya. Ada sesuatu yang menghuni relung hatiku.

“Arf, hei – hei.” Teriak Fan. Mengibas – kibaskan telapak tangannya tepat didepan mukaku. Aku tergeragap. Fan tersenyum, melihatku terbangun tanpa pernah tertidur.

“Kenapa melamun ? gadis jepang itu kan ?” Serunya sembari melintangkan kedua belah tangan didepan mata, dengan ibu jari dan jari telunjuk membentuk suatu kerucut. Gadis jepang yang sipit.

“Dari mana kamu tahu ?”

“Mata kamu tidak akan bisa berbohong sayang. Katakan kamu masih mencintainya.” Rengeknya lucu. Sebuah senyum riang yang dipaksakan. Jauh dalam relung hatinya gadis ini menyimpan sejuta kepedihan.

“Tidak Fan, aku tetap menyayangi kamu. Seperti janjiku kemarin didepan orang tuamu.” Kataku mantap. Aku tak ingin melukai hati gadis kecilku. Kepulanganku sengaja untuknya, untuk orang tua yang telah memberikan banyak kebahagian dalam hidupku. Membesarkanku dalam cinta dan membiayaiku hingga dewasa. Telah sepantasnyalah aku mengabulkan permintaan mereka. Menikahi Fan, gadis pilihan mereka.

Mendengar kata – kataku, Fan tersenyum, memberikan sebuah kecupan lembut dipipiku. Hatiku tergetar, andai gadis ini bukan Fan melainkan Ake mungkin hatiku tak akan seresah ini.

Terbaring dalam sepi, nyaris tanpa terlewat tanpa kegalauan. Andai saja aku boleh mengulang, semua tentu akan kurencanakan secara sempurna tanpa seorangpun kan terluka.

Aku tergagap dalam mafioso sesaat, sekelebat bayangan menindihku kembali pada masa lalu. Ketika Ni Luh Putu Seruni datang dan mengenalkan seorang gadis jepang yang harus kutemani. Tidak kemana – mana hanya mengantarkannya mengelilingi Bali. Kata Ni Luh Putu Seruni jugalah gadis itu adalah putri pengusaha jepang, Tuan Soichi Noma. Pengusaha yang hendak bekerja sama dengan perusahaan kami.

Ake, gadis yang tidak banyak tingkah. Sepuluh hari bersamanya begitu berarti. Ake yang banyak senyum, tertawa dan seluruh tingkahnya yang membuat aku bertanya – tanya beginikah orang jepang itu ? mengapa dalam benakku selalu timbul angan dan anggapan bahwa orang jepang adalah kaum penindas. Bahkan dengan dalih saudara tua telah mencoba menorehkan sejarah pahit yang terbukti banyak telah melukai hati bangsa.

Aku mengeluh. Bayangan Ake seolah – olah menari – nari di puncak kepalaku. Membuatku enggan beranjak ke tempat tidur. Tak lagi memperhatikan huruf – huruf di layar komputerku. Mengkaburkan pandanganku bahkan terhadap Fan, Ibu dan Bapak. Semuanya seolah terganti dengan sosok Ake yang terus terbahak – bahak menertawakan komuniksi dua arah kami yang terkadang benar – benar blank.

Fan kembali menggerumutiku. Mengecup bagian – bagian sensitif pada tubuhku. Seolah dahaga yang terlalu tengah ditahannya. Aku termangu. Bahkan permainan Fanpun tak dapat mengenyahkan bayang Ake yang terus menerus menari dalam otakku. Aku tak dapat membandingkan mereka. Dengan Fan aku bebas mencium, memagut, mendekapnya erat dan kemudian menghempaskannya. Tapi Ake, aku bahkan belum dan tak pernah tahu seperti apa bau rambutnya, gelinjang tubuhnya. Tapi entahlah kenapa dalam setiap tarikan nafas Fan aku selalu berharap itu adalah tubuh Ake.

Aku tak bisa mengelak ketika Fan akhirnya tersadar dari mimpinya sedangkan aku belum juga bangkit dari mabukku. Fan menghujaniku dengan kata – kata kotor seolah aku telah merenggut kesuciannya dengan paksa dan tanpa kendali. Seolah persetubuhan itu aku jugalah yang menghendaki.

Aku mahfum, jika akhirnya aku barus bangkit dari tempat tidurku tanpa berhak lagi mendapatkan sentuhan cintanya. Bahkan aku tak dapat lagi menggunakan sprai halus yang dijahitnya untuk cinta kami. Ugh, bukan cinta kami. Itu hanyalah cintanya. Tanpa cintaku sebab cintaku agh entahlah kembali senyum lebar Ake membayang menghentak – hentak hatiku.

**

Aku terbangun dari mimpiku. Ketika pesawat yang aku tumpangi tiba di Airport Haneda. Bergegas aku turun, menjalani pemeriksaan paspor, isi koper dan lain – lain aku keluar dari ruang tunggu.

Sebuah taxi yang kebetulan melintas tak kusia – siakan. Kuangsurkan catatan kecil tempat dimana akan kutuju. Asia center of Japan hotel 10-32 Okasaka 8 Chome Minatoku – Tokyo.

Seorang resepsionist menyembutku. Dengan kepala mungil dan topi genit yang bertengger di kepalanya. Dia mengangsurkan sebuah anak kunci untukku.

Aku mencoba tersenyum, “ Domo arigato gosaimasu.”

Malam kulewati Tokyo dengan sejuta kegalauan dan pengharapan. Mungkinkah aku akan bertemu Ake dan mempersatukan cinta kami. Penuh harap aku berdo’a. Selebihnya aku mencoba bermimpi.

“Maaf Arf, aku mengundangmu kemari agar kau tahu aku telah bahagia. This’s my husband now. Ryozu This’s Arf. The Indonesianess that I tell you before.” Ake menatapku tegar. Tak ada kegalauan dalam matanya seperti halnya kegalauan yang pasti terbayang dimataku. Untuk pertama kali aku menyesali diri. Betapa piciknya aku.

Laki – laki bermata sipit itu tersenyum lebar, mengangguk sebelum membungkukkan badannya dalam – dalam. Sebelum akhirnya Ake menepuk punggungnya pelan.

“Arf, kau boleh tinggal di hotel ini semaumu, kebetulan Ryozu punya saham disini. Semoga engkau menikmati hari – harimu.” Pamit Ake datar. Tak ada tanda – tanda perpisahan seperti yang terjadi kemarin di pasir putih.

“Oh ya, anggap rumah sendiri. Kalau butuh apa – apa hubungi recepsionis ya.” pesannya sebelum pergi. Senyum itu, senyum Ake yang selalu hadir dalam mimpiku. Senyum dari bibir yang sama yang selalu kuimpikan kecupan lembutnya. Darahku menggelegak. Berjuta penyesalan bercampur aduk. Tapi Ake kelihatan lebih bahagia bersama nippon itu.

Kepalaku berdenyar – denyar. Mungkin sebentar lagi akan meledak atau hancur seperti gedung wtc yang dihantam bom tragedi sebelas september. Atau lebih parah. Aku tak rela dan takkan pernah rela.

Undangan Ake tempo lalu hanya untuk mengenalkanku pada pria bisu yang bernama Ryozu. Aku meruntuk panjang pendek. Mengapa aku terlalu gegabah, datang ke tempat ini hanya untuk mendapatkan pembalasan. Argh……..

Tak pernah kubayangkan sebelumnya, dalam sehari aku telah kehilangan banyak cinta sekaligus. Cinta Ayah, Ibu, Fan dan Ake. Terbayang wajah ayah dan ibu yang murka. Menuduhku sebagai anak yang durhaka dan tak dapat membalas budi baik mereka. Menari dalam pelupuk mataku, isak tangis Fan di malam pertama kami yang gagal. Sebab aku merasa menghianati hatiku yang seluruhnya telah terbang bersama Bunga Sakura Ungu. Sedangkan bunga itu memilih gugur sebelum tersentuh oleh tanganku.

Ambarawa, 23 Sept 2006



No comments: