Thursday 26 April 2007

Kamar di ujung Asrama

Seluruh Asrama terbangun dengan penuh keheranan. Kamar paling sudut di ujung Asrama itu kini sudah terang benderang. Sebuah lagu melankolic terdengar lapat – lapat menerobos tembok dan daun pintu. Seketika benak seluruh penhuni asrama penuh dengan pertanyaan yang sama. Siapa dia ? darimana ? kapan datang ? cantikkah ? dan yang terakhir inilah yang sering bikin sungkan. Jika dia cantik, maka mulai hari ini dia adalah saingan. tapi jika dia tidak terlalu cantik atau bahkan jelek, seluruh penghuni asrama tak akan merasa was – was lagi.

Oh ya, masih ada lagi pertanyaan yang bergulat di benak kami, kuliah dimana dia ? semester berapa ? atau sudah kerja ? dimana pula ? dan apakah dia kaya ? naik apa dia kemari ? tentu saja pertanyaan – pertanyaan itu penting. Setidaknya jika dia kaya, maka Ibu asrama akan senang – bayar bulanannya tidak akan pernah telat. dan jika dia naik motor, mungkin suatu saat kami bisa mendompleng, sekedar nunut untuk pergi ke kampus atau cari makan dan kalau bisa ada beberapa cemilan yang akan diberikannya untuk menghalau malam yang membosankan.

“Orang mana ?” tanya Ratri, mahasiswi cantik fakultas ekonomi yang aslinya Banyumas. Aku menggidikkan bahu. Ratri kebingungan, dia beranjak mendekati Elly, mojang sunda yang katanya senang gudeg Jogya – karena warung makan terdekat hanya itu saja menunya.

“Orang mana ?” pertanyaan yang sama kembali terlontar dari mulut Ratri. Aku dan Elly saling berpandangan. Aneh, apa apa sih ? Elly mengangkat bahu. Tiba – tiba Ayu menyeletuk dari belakang, “Kata Ibu sih orang sini aja. Banguntapan.” Tanpa ditanya Ayu langsung nimbrung diantara kami. Heran, gadis lampung ini memang pintar mencari informasi. Tak heran, dia memang ngebet banget selepas wisuda nanti pengin kerja di televisi katanya biar bisa nyari berita tanpa perlu lagi di katain sebagai bigos – biang gosip.

“Banguntapan ?” Tanya kami serentak. Rupanya keheranan yang sama juga tengah bergumul di pikiran kami masing – masing. Bukankah tempat itu hanya beberapa kilometer dari Asrama ini ? untuk apa dia kos ? semakin banyak pertanyaan berputar dibenak kami.

Ayu manggut – manggut. Dia sengaja menghentikan informasi yang dipunyainya untuk mempermainkan pikiran kami. Padahal, kami yakin tak cuma asal penghuni baru itu saja yang dia punya melainkan lebih. Benar – benar sebuah curiculum vitae yang utuh dan tidak ada kata no qualification di dalam tabel jawaban pertanyaannya.

“Trus, kenapa dia kos disini ?” Tanya Diva cewek semampai asli Jakarta yang semula hanya terdiam membisu. Ekpresi Ayu yang terdiam beberapa saat membuat kami bertambah penasaran.

“Dia buron.” jawabnya pendek.

“Buron ?” Serentak terlontar kalimat reply yang sama. Dia buron ? kenapa Ibu Asrama begitu berani menerimanya untuk kos di tempat ini ? Dan dia, kenapa melarikan diri ke tempat ini. Bukankah tak akan sulit buat polisi untuk melacaknya ? Jejaknya pasti akan tercium tak berapa lama lagi.

“Buron apa ? murderer ato korupsi ?” Tanya Vega yang asli Irian jaya tak ketinggalan. Gadis keriting ini kadang tampak cantik dan sensual dengan rambutnya yang keriting lucu itu.

Ganti Ayu yang menggidikkan bahu. Tentu saja kami tak mudah percaya kalau dia menjawab tak tahu. Bukankah seluruh curiculum vitae penghuni asrama dan tak jarang juga penghuni asrama lain bisa dibukanya tanpa paksa ? seolah – olah gembok dan kunci tak berarti lagi buatnya. Nothing secret baginya.

“Imposible jika kamu nggak tahu.” kata Vega dengan suara barithonnya. Sama, aku juga berfikir seperti itu. Aku tak percaya, sama sekali.

Ayu mengangkat dua jari tengah dan telunjuk. “Swear. Aku nggak tahu.” jawab Ayu sungguh – sungguh. Yah, seluruh penghuni asrama serentak merasa kecewa. Tak ada lagi yang bisa dikorek dari sumber segala sumber gosip tentang si penghuni kamar paling sudut itu.

“Kita tanya aja Ibu, gimana ?” Usul Ratri kemudian. Sama sekali bukan ide yang smart. Tanya ke Ibu asrama sama halnya dengan meyerahkan diri untuk disemprot habis – habisan. Selain priyayi, Ibu asrama sama sekali tidak menyukai pergunjingan. “Buang – buang waktu dan usia.” katanya bijaksana.

Dentang jarum jam berbunyi tujuh kali. Serentak semuanya kembali ke alam pikirannya yang normal, seakan baru tersadar dari imsomnia. Mbak Lala, yang duduk terpaku di kursi dekat telepon buru – buru mengenakan sepatunya. Mbak Joy, bergegas mengeluarkan motor dari ruangan dan memanaskannya. Ratri segera meraih handuk dan gayung sabun menuju kamar mandi, Vitra dan Diva berebut masuk kemar saling mendahului.

Vega dan Elly bergegas ke dapur teringat pada mie rebusnya yang terlupa. Dan aku, masih duduk terdiam di depan televisi. Buatku informasi tentang penghuni baru tidaklah terlalu penting walaupun menarik. Kuliahku hari ini siang. Aku tinggal menyelesaikan skripsi dan dua sks mata kuliah susulan. Dan berita pagi ini sangat menarik untuk disimak, BBM naik lagi ? Lantas bagaimana dengan kuliahku ? ehmm.. maksudku saat ini ketika BBM masih di harga semula, Ayahku selalu mengeluh tak akan bisa nutup setoran dan mengirimkan uang bulanan tepat waktu untukku, sebulan menjadi sebulan lebih dua hari kemudian sebulan lebih empat hari lantas sebulan lebih seminggu. Tak masalah bagiku berpuasa untuk seminggu atau lebih, tapi Ibu Asrama tak akan mau menunggu uang setoran asramanya datang terlambat.

Dan ongkos ke kampus ? atau rumah dosen ? sekali jalan dua ribu perak saja, saat ini sudah terasa berat untukku apalagi nanti. Atau mungkin sepeda tuaku dirumah harus kuminta untuk dikirimkan bersama uang bulanan ? Bisa jadi. tapi rute kota ini sangat membingungkan buatku bahkan setelah hampir empat tahun tinggal.

Kuraih remote control dan mulai mengacak chanel station tv. Indosiar, Tv7, TPI, Metro.. tiba – tiba tangan Ayu menahan tanganku.

“Sebenarnya aku tahu siapa dia. tapi aku sudah berjanji tak akan menceriterakannya pada siapapun.” Bisiknya lirih. Kuurungkan niatku mengekplorer chanel, hingga tertahan di satu titik. Kupandang wajah Ayu lekat, gadis itu memberikan wajah misterius penuh teka – teki.

“Kamu sudah berjanji ?” tanyaku heran. tak bisanya Ayu mencari informasi denan janji tak akan pernah mempublikasikannya. Biasanya dia lebih senang mencuri dengar ketimbang harus berjanji seperti itu.

Ayu mengangguk, “he em... tapi tak apalah, aku percaya kamu nggak akan menyebarkan cerita ini. Kamu mau kan Nin ?”

“Ah, kamu jangan asal percaya gitu dong Yu, lagipula kamu kan sudah berjanji.” Kataku tak habis mengerti.

“Aku tau, kamu bukan tipe bios seperti itu, makanya aku mau ceriterakan sama kamu. Kalau orang lain mana bisa dipercaya. “

Ya, jujur saja aku tak bisa menolaknya. Apalagi, ini adalah topik terhangat di Asrama ini. Majalah Entertainment seri Asrama edisi terbaru minggu ketiga baru aku yang tahu ? langsung dari Ayu sebagai Pemrednya. Wah..

“Namanya Laras, Asli Yogya, katanya sih sudah kerja tapi kenapa sampai sesiang ini dia belum berangkat, itu akan kuselidiki nanti. Yang jelas dia single parent. Anaknya dua. Nggak percaya sih tapi itu kenyataannya. Katanya dia korban PD, pernikahan dini, menurutku nonsent, mungkin malah korban PB. yang jelas usianya diatas kita sedikit. Cantik. sangat cantik malah. Sayang dia buron.”

Informasi yang semakin membuatku interesting. Bagaimana tidak seorang perempuan asli Yogya yang tinggal di dekat sini memilih untuk kost ? cantik, single parent, korban PD – atau PB ( pergaulan bebas ) belum jelas. Dan aku tahu sumber yang paling menarik adalah karena ketidak jelasan yang melingkup pada penghuni baru.

“Kamu tahu dari mana Yu ?” tanyaku didera penasaran yang sangat.

“Ada deh. Pokoknya sumber yang dapat dipercaya.” Jawabnya yakin.

“Kamu sudah pernah ketemu dia ?” tanyaku kembali.

“Not yet, actually kalo berpapasan langsung belum sih tapi kalo dari belakang hihi.... sudah.”

“Maksudmu ?”

“Aku melihatnya dari lubang di jendela kamarku saat dia ke kamar mandi.”

Ups...”Kamu mengintip ?”

“Mengintip sih enggak, tapi nggak sengaja aja aku begitu.”

Ugh. aku baru tersadar kalau aku sedang berhadapan dengan calon reporter dan paparazi handal.

Percakapanku dengan Ayu hanya berhenti sampai di titik itu. Kalau saja tidak terburu – buru harus segera mandi dan berangkat kuliah, mungkin percakapan kami akan lebih panjang.

**

Empat hari lewat, tapi seperti apa sosok misterius penghuni kamar paling sudut di Asrama itu belum pernah kutemui. Begitu juga dengan penghuni – penghuni kamar yang lain. Merekapun saling bertanya – tanya, pada diri sendiri dan juga pada penghuni lain. Tapi tak ada yang bisa menjawab rasa penasaran itu. Semuanya seperti blank spot yang penuh misteri. Sedangkan informasi yang kudapat dari Ayu – kupikir hanya padaku dia menceriterakan itu, ternyata telah menjadi rahasia umum, tak berarti banyak. Ayupun hanya bisa tersenyum kecut ketika Diva berulah dengan menanyakan, Apa ada yang mengantar makanan dan minuman untuk penghuni baru, hingga selama empat hari dia merasa tak perlu keluar untuk sekedar makan, minum atau buang air kecil.

“Mungkin saja, dia sudah membawa makanan dan minuman banyak, hingga tak perlu lagi cari makanan dan minuman.” Jawabku lirih. Entah kenapa, aku merasa bosan dengan tema pembicaraan yang itu – itu juga setiap kami berinteraksi.

“Apa dia nggak perlu pipis ?” Tanya Vitra kemudian tak habis mengerti.

“Apa kamu tahu dia keluar kamar untuk pipis atau tidak ?” tanyaku ikut gusar.

Semua yang hadir mengarahkan pandang ke Ayu. Tentu saja, hanya dia yang bisa menjawab pertanyaan itu. Ayu menggeleng lemah. “Dia nggak pernah pipis, mandi atau buang air besar.” Katanya lirih.

Ugh.. Kepalaku dihantam godam seribu kilo. Tentu saja, Ayu pasti sudah mengintipnya atau menongkrongi depan pintu penghuni Asrama itu seharian penuh.

“Tiga hari.” kata Ayu pendek. Ha ? tiga hari ? jadi selama itu Ayu tak pernah melepaskan pandang dari pintu kamar itu dan dari sana dia tahu, penghuni itu tidak pernah memerlukan kamar mandi dan peralatan mandinya.

Dentang jam berbunyi, pukul sembilan malam. Hampir saja semua yang hadir membubarkan diri dari depan televisi, bersiap – siap untuk kembali tidur dan merajut benang mimpi, kalau saja Ratri tidak datang dengan tergopoh – gopoh.

“Apa kalian tidak mencium bau wangi ini ?”

Bau wangi ? spontan semua yang ada mulai mengendus – endus bau itu. Dan memang benar, bau itu benar – benar wangi. Bukan wangi eternity, rose, bulgary atau semacamnya. Tapi benar – benar wangi yang sepertinya belum pernah kutemui. Wangi yang mungkin berasal dari surga atau tempat selain dunia.

“Apa iya, Mbak Riri menumpahkan parfumnya lagi ?” tanya Vitra kebingungan.

“Bukan, asalnya bukan dari kamar Mbak Vitra tapi ... ah sudahlah.”

Ya, semuanya lantas beranjak dari tempat duduknya dan berlalu kekamar masing – masing. Aku termangu, mungkinkah...

**

Aku baru saja keluar dari kamar mandi ketika Vega menarik lenganku. Dia mengajakku mengintip kamar itu. Telunjuk tangan kanannya diletakkannya tepat diujung mulutnya. Aku merasa segan tapi Vega menarikku lebih keras, gadis jagoan karateka ini telah memaksaku tanpa aku terasa.

Kamar terang benderang, tapi lubang sebesar ibu jari itu tak bisa memberikan jawaban, seperti apa sosok didalam. Tak ada apa – apa dalam kamar itu, hanya sebuah kipas angin yang berputar kencang, sebuah mangkuk berisi bunga - ?, segelas air putih dan peralatan make up yang tampak komplit diatas meja. Terdengar suara bercakap – cakap, tapi tak seorangpun yang tampak. Sprai di tempat tidurpun terlihat kusut bekas di gunakan dan belum dirapikan. Aku buru – buru berlalu dari tempat itu. Mungkin saja, penghuni baru itu sedang keluar kamar dan sewaktu – waktu bisa memergoki ulah kami mengintipnya. Bukankah hal yang sangat memalukan mengingat dilakukan oleh dua orang mahasiswa yang berpendidikan ?

“Aneh ya.” desis Vega.

“Mungkin saja dia sedang keluar hingga kita tidak melihatnya.”

“Tidak mungkin. Kau tahu, sekarang baru pukul setengah enam dan aku mengintipnya mulai dari pukul empat. Nggak ada yang terlihat tapi kau dengar, suara percakapan itu ada kan ?”

“Mungkin saja mereka bersembunyi.”

“Dimana ? Dikolong tempat tidur ? Atau Almari ?”

“Sudahlah, tak perlu dibahas, tak ada gunanya.”


**

Kami kembali berinteraksi di ruang televisi. Tak ada pembicaraan serius, masing – masing lebih tertarik pada sinetron yang menuntun imajinasi kami. Tiba – tiba Mbak Lili menerobos masuk kedalam dan berdiri dengan wajah ketakutan.

“Hei.. apa kalian tidak mendengar suara bayi dari kamar paling sudut ?” tanyanya dengan wajah kebingungan.

Bayi ? Ach, aku tak mendengarnya, tak mungkin batang cotton bud tertinggal di telingaku sore tadi ketika aku membersihkannya. Semuanya memasang telinga baik – baik, Vitra mengangguk, dia mendengar suara tangis bayi, lalu Vega disusul Elly, Diva, Ayu dan terakhir Aku. Ya, suara tangis bayi itu makin keras.

“Bagaimana mungkin dia bertahan selama tiga hari di dalam kamar tanpa ke kamar mandi sedangkan dia bersama seorang bayi ?” tanya Aku tak habis mengerti. Tak ada yang dapat menjawabnya. Semuanya hanya merasa bertambah aneh.

“Kita harus mengatakannya pada Ibu Asrama, siapa tahu, penghuni itu sedang dalam kesulitan. Mungkin juga dia sedang....” Usul Elly yang tiba – tiba menjadi cerdas.

“Melahirkan.” potong Ayu cepat. Dasar bigos.

Kamipun bersama – sama mendatangi rumah Ibu Asrama yang berada tepat disamping Asrama. Ibu kos menemui kami dengan hanya mengenakan baby doll tipis, maklum sudah larut dan saatnya untuk tidur.

“Alhamdullilah.” ucapnya penuh syukur ketika Mbak Lily menerangkan perihal tangis bayi itu. Kami saling berpandangan tak mengerti.

“Jadi dia sudah melahirkan ? Kalau begitu Ibu sangat bahagia. Malam ini juga dia akan pulang dan kalian boleh tidur sekarang. Ibu akan ceritakan nanti.” Ibu Asrama bergegas masuk ke dalam. Tak ada yang beranjak dari tempat itu sekalipun Ibu mengatakan kami boleh tidur, rasa penasaran telah membuat kami tetap bertahan.

Ibu Asrama keluar dengan mengenakan sanggul dan kebaya lengkap. Bahkan Bapak Asrama – yang 20 tahun lebih muda, juga mengenakan beskap lengkap dengan blangkon dan kerisnya. Tanpa memandang kami, mereka bergegas keluar dan menuju ke kamar paling sudut.

Kami mengikuti langkah mereka diam – diam, tak terlalu dekat – khawatir Ibu akan marah tetapi juga tidak terlalu jauh – kami ingin tahu apa yang terjadi.

Pintu kamar paling sudut terbuka dari dalam seketika saat mereka telah berada di sana. Tak ada sosok yang keluar. Ibu dan Bapak melakukan sembah, lalu dua berkas cahaya – kecil dan besar menerobos keluar dari dalam kamar dan melesat ke udara. Cahaya terang itu kemudian menghilang di telan malam.

Malam yang misterius, konon penghuni itu datang untuk melahirkan bayinya di kamar kos itu. Dia membayar mahal harga kamar itu, dan Ibu merasa suatu berkah telah datang padanya dari wanita yang konon putri penguasa laut selatan itu.

Setelah malam itu tak terdengar lagi suara tangis bayi atau wangi menghampar udara. Sunyi dan senyap, hanya terdengar lembut suara melow Ari Lasso lamat – lamat dari balik tembok dan pintu yang selalu tertutup rapat. Saat senja menjelang, dari bawah pintu dan ventilasi udara menyemburat cahaya lampu yang terang, menandakan bahwa di kamar itu ada penghuninya.

Ambarawa, 26 April 2007

Untuk cinta terakhir

1 comment:

lo que mas buscas said...

hola!
nose lo que dice tu blog porq ta en otro idioma
pero es lindo
pasate