Monday 30 April 2007

Teganya kamu lakukan itu

Aku nggak akan pernah percaya, kamu akan tega memanfaatkan aku...
Satu hal yang perlu kamu tahu, aku sangat menaruh kepercayaan padamu...
Sayang semua harus punah...
I don't believe any human....

Thursday 26 April 2007

Kamar di ujung Asrama

Seluruh Asrama terbangun dengan penuh keheranan. Kamar paling sudut di ujung Asrama itu kini sudah terang benderang. Sebuah lagu melankolic terdengar lapat – lapat menerobos tembok dan daun pintu. Seketika benak seluruh penhuni asrama penuh dengan pertanyaan yang sama. Siapa dia ? darimana ? kapan datang ? cantikkah ? dan yang terakhir inilah yang sering bikin sungkan. Jika dia cantik, maka mulai hari ini dia adalah saingan. tapi jika dia tidak terlalu cantik atau bahkan jelek, seluruh penghuni asrama tak akan merasa was – was lagi.

Oh ya, masih ada lagi pertanyaan yang bergulat di benak kami, kuliah dimana dia ? semester berapa ? atau sudah kerja ? dimana pula ? dan apakah dia kaya ? naik apa dia kemari ? tentu saja pertanyaan – pertanyaan itu penting. Setidaknya jika dia kaya, maka Ibu asrama akan senang – bayar bulanannya tidak akan pernah telat. dan jika dia naik motor, mungkin suatu saat kami bisa mendompleng, sekedar nunut untuk pergi ke kampus atau cari makan dan kalau bisa ada beberapa cemilan yang akan diberikannya untuk menghalau malam yang membosankan.

“Orang mana ?” tanya Ratri, mahasiswi cantik fakultas ekonomi yang aslinya Banyumas. Aku menggidikkan bahu. Ratri kebingungan, dia beranjak mendekati Elly, mojang sunda yang katanya senang gudeg Jogya – karena warung makan terdekat hanya itu saja menunya.

“Orang mana ?” pertanyaan yang sama kembali terlontar dari mulut Ratri. Aku dan Elly saling berpandangan. Aneh, apa apa sih ? Elly mengangkat bahu. Tiba – tiba Ayu menyeletuk dari belakang, “Kata Ibu sih orang sini aja. Banguntapan.” Tanpa ditanya Ayu langsung nimbrung diantara kami. Heran, gadis lampung ini memang pintar mencari informasi. Tak heran, dia memang ngebet banget selepas wisuda nanti pengin kerja di televisi katanya biar bisa nyari berita tanpa perlu lagi di katain sebagai bigos – biang gosip.

“Banguntapan ?” Tanya kami serentak. Rupanya keheranan yang sama juga tengah bergumul di pikiran kami masing – masing. Bukankah tempat itu hanya beberapa kilometer dari Asrama ini ? untuk apa dia kos ? semakin banyak pertanyaan berputar dibenak kami.

Ayu manggut – manggut. Dia sengaja menghentikan informasi yang dipunyainya untuk mempermainkan pikiran kami. Padahal, kami yakin tak cuma asal penghuni baru itu saja yang dia punya melainkan lebih. Benar – benar sebuah curiculum vitae yang utuh dan tidak ada kata no qualification di dalam tabel jawaban pertanyaannya.

“Trus, kenapa dia kos disini ?” Tanya Diva cewek semampai asli Jakarta yang semula hanya terdiam membisu. Ekpresi Ayu yang terdiam beberapa saat membuat kami bertambah penasaran.

“Dia buron.” jawabnya pendek.

“Buron ?” Serentak terlontar kalimat reply yang sama. Dia buron ? kenapa Ibu Asrama begitu berani menerimanya untuk kos di tempat ini ? Dan dia, kenapa melarikan diri ke tempat ini. Bukankah tak akan sulit buat polisi untuk melacaknya ? Jejaknya pasti akan tercium tak berapa lama lagi.

“Buron apa ? murderer ato korupsi ?” Tanya Vega yang asli Irian jaya tak ketinggalan. Gadis keriting ini kadang tampak cantik dan sensual dengan rambutnya yang keriting lucu itu.

Ganti Ayu yang menggidikkan bahu. Tentu saja kami tak mudah percaya kalau dia menjawab tak tahu. Bukankah seluruh curiculum vitae penghuni asrama dan tak jarang juga penghuni asrama lain bisa dibukanya tanpa paksa ? seolah – olah gembok dan kunci tak berarti lagi buatnya. Nothing secret baginya.

“Imposible jika kamu nggak tahu.” kata Vega dengan suara barithonnya. Sama, aku juga berfikir seperti itu. Aku tak percaya, sama sekali.

Ayu mengangkat dua jari tengah dan telunjuk. “Swear. Aku nggak tahu.” jawab Ayu sungguh – sungguh. Yah, seluruh penghuni asrama serentak merasa kecewa. Tak ada lagi yang bisa dikorek dari sumber segala sumber gosip tentang si penghuni kamar paling sudut itu.

“Kita tanya aja Ibu, gimana ?” Usul Ratri kemudian. Sama sekali bukan ide yang smart. Tanya ke Ibu asrama sama halnya dengan meyerahkan diri untuk disemprot habis – habisan. Selain priyayi, Ibu asrama sama sekali tidak menyukai pergunjingan. “Buang – buang waktu dan usia.” katanya bijaksana.

Dentang jarum jam berbunyi tujuh kali. Serentak semuanya kembali ke alam pikirannya yang normal, seakan baru tersadar dari imsomnia. Mbak Lala, yang duduk terpaku di kursi dekat telepon buru – buru mengenakan sepatunya. Mbak Joy, bergegas mengeluarkan motor dari ruangan dan memanaskannya. Ratri segera meraih handuk dan gayung sabun menuju kamar mandi, Vitra dan Diva berebut masuk kemar saling mendahului.

Vega dan Elly bergegas ke dapur teringat pada mie rebusnya yang terlupa. Dan aku, masih duduk terdiam di depan televisi. Buatku informasi tentang penghuni baru tidaklah terlalu penting walaupun menarik. Kuliahku hari ini siang. Aku tinggal menyelesaikan skripsi dan dua sks mata kuliah susulan. Dan berita pagi ini sangat menarik untuk disimak, BBM naik lagi ? Lantas bagaimana dengan kuliahku ? ehmm.. maksudku saat ini ketika BBM masih di harga semula, Ayahku selalu mengeluh tak akan bisa nutup setoran dan mengirimkan uang bulanan tepat waktu untukku, sebulan menjadi sebulan lebih dua hari kemudian sebulan lebih empat hari lantas sebulan lebih seminggu. Tak masalah bagiku berpuasa untuk seminggu atau lebih, tapi Ibu Asrama tak akan mau menunggu uang setoran asramanya datang terlambat.

Dan ongkos ke kampus ? atau rumah dosen ? sekali jalan dua ribu perak saja, saat ini sudah terasa berat untukku apalagi nanti. Atau mungkin sepeda tuaku dirumah harus kuminta untuk dikirimkan bersama uang bulanan ? Bisa jadi. tapi rute kota ini sangat membingungkan buatku bahkan setelah hampir empat tahun tinggal.

Kuraih remote control dan mulai mengacak chanel station tv. Indosiar, Tv7, TPI, Metro.. tiba – tiba tangan Ayu menahan tanganku.

“Sebenarnya aku tahu siapa dia. tapi aku sudah berjanji tak akan menceriterakannya pada siapapun.” Bisiknya lirih. Kuurungkan niatku mengekplorer chanel, hingga tertahan di satu titik. Kupandang wajah Ayu lekat, gadis itu memberikan wajah misterius penuh teka – teki.

“Kamu sudah berjanji ?” tanyaku heran. tak bisanya Ayu mencari informasi denan janji tak akan pernah mempublikasikannya. Biasanya dia lebih senang mencuri dengar ketimbang harus berjanji seperti itu.

Ayu mengangguk, “he em... tapi tak apalah, aku percaya kamu nggak akan menyebarkan cerita ini. Kamu mau kan Nin ?”

“Ah, kamu jangan asal percaya gitu dong Yu, lagipula kamu kan sudah berjanji.” Kataku tak habis mengerti.

“Aku tau, kamu bukan tipe bios seperti itu, makanya aku mau ceriterakan sama kamu. Kalau orang lain mana bisa dipercaya. “

Ya, jujur saja aku tak bisa menolaknya. Apalagi, ini adalah topik terhangat di Asrama ini. Majalah Entertainment seri Asrama edisi terbaru minggu ketiga baru aku yang tahu ? langsung dari Ayu sebagai Pemrednya. Wah..

“Namanya Laras, Asli Yogya, katanya sih sudah kerja tapi kenapa sampai sesiang ini dia belum berangkat, itu akan kuselidiki nanti. Yang jelas dia single parent. Anaknya dua. Nggak percaya sih tapi itu kenyataannya. Katanya dia korban PD, pernikahan dini, menurutku nonsent, mungkin malah korban PB. yang jelas usianya diatas kita sedikit. Cantik. sangat cantik malah. Sayang dia buron.”

Informasi yang semakin membuatku interesting. Bagaimana tidak seorang perempuan asli Yogya yang tinggal di dekat sini memilih untuk kost ? cantik, single parent, korban PD – atau PB ( pergaulan bebas ) belum jelas. Dan aku tahu sumber yang paling menarik adalah karena ketidak jelasan yang melingkup pada penghuni baru.

“Kamu tahu dari mana Yu ?” tanyaku didera penasaran yang sangat.

“Ada deh. Pokoknya sumber yang dapat dipercaya.” Jawabnya yakin.

“Kamu sudah pernah ketemu dia ?” tanyaku kembali.

“Not yet, actually kalo berpapasan langsung belum sih tapi kalo dari belakang hihi.... sudah.”

“Maksudmu ?”

“Aku melihatnya dari lubang di jendela kamarku saat dia ke kamar mandi.”

Ups...”Kamu mengintip ?”

“Mengintip sih enggak, tapi nggak sengaja aja aku begitu.”

Ugh. aku baru tersadar kalau aku sedang berhadapan dengan calon reporter dan paparazi handal.

Percakapanku dengan Ayu hanya berhenti sampai di titik itu. Kalau saja tidak terburu – buru harus segera mandi dan berangkat kuliah, mungkin percakapan kami akan lebih panjang.

**

Empat hari lewat, tapi seperti apa sosok misterius penghuni kamar paling sudut di Asrama itu belum pernah kutemui. Begitu juga dengan penghuni – penghuni kamar yang lain. Merekapun saling bertanya – tanya, pada diri sendiri dan juga pada penghuni lain. Tapi tak ada yang bisa menjawab rasa penasaran itu. Semuanya seperti blank spot yang penuh misteri. Sedangkan informasi yang kudapat dari Ayu – kupikir hanya padaku dia menceriterakan itu, ternyata telah menjadi rahasia umum, tak berarti banyak. Ayupun hanya bisa tersenyum kecut ketika Diva berulah dengan menanyakan, Apa ada yang mengantar makanan dan minuman untuk penghuni baru, hingga selama empat hari dia merasa tak perlu keluar untuk sekedar makan, minum atau buang air kecil.

“Mungkin saja, dia sudah membawa makanan dan minuman banyak, hingga tak perlu lagi cari makanan dan minuman.” Jawabku lirih. Entah kenapa, aku merasa bosan dengan tema pembicaraan yang itu – itu juga setiap kami berinteraksi.

“Apa dia nggak perlu pipis ?” Tanya Vitra kemudian tak habis mengerti.

“Apa kamu tahu dia keluar kamar untuk pipis atau tidak ?” tanyaku ikut gusar.

Semua yang hadir mengarahkan pandang ke Ayu. Tentu saja, hanya dia yang bisa menjawab pertanyaan itu. Ayu menggeleng lemah. “Dia nggak pernah pipis, mandi atau buang air besar.” Katanya lirih.

Ugh.. Kepalaku dihantam godam seribu kilo. Tentu saja, Ayu pasti sudah mengintipnya atau menongkrongi depan pintu penghuni Asrama itu seharian penuh.

“Tiga hari.” kata Ayu pendek. Ha ? tiga hari ? jadi selama itu Ayu tak pernah melepaskan pandang dari pintu kamar itu dan dari sana dia tahu, penghuni itu tidak pernah memerlukan kamar mandi dan peralatan mandinya.

Dentang jam berbunyi, pukul sembilan malam. Hampir saja semua yang hadir membubarkan diri dari depan televisi, bersiap – siap untuk kembali tidur dan merajut benang mimpi, kalau saja Ratri tidak datang dengan tergopoh – gopoh.

“Apa kalian tidak mencium bau wangi ini ?”

Bau wangi ? spontan semua yang ada mulai mengendus – endus bau itu. Dan memang benar, bau itu benar – benar wangi. Bukan wangi eternity, rose, bulgary atau semacamnya. Tapi benar – benar wangi yang sepertinya belum pernah kutemui. Wangi yang mungkin berasal dari surga atau tempat selain dunia.

“Apa iya, Mbak Riri menumpahkan parfumnya lagi ?” tanya Vitra kebingungan.

“Bukan, asalnya bukan dari kamar Mbak Vitra tapi ... ah sudahlah.”

Ya, semuanya lantas beranjak dari tempat duduknya dan berlalu kekamar masing – masing. Aku termangu, mungkinkah...

**

Aku baru saja keluar dari kamar mandi ketika Vega menarik lenganku. Dia mengajakku mengintip kamar itu. Telunjuk tangan kanannya diletakkannya tepat diujung mulutnya. Aku merasa segan tapi Vega menarikku lebih keras, gadis jagoan karateka ini telah memaksaku tanpa aku terasa.

Kamar terang benderang, tapi lubang sebesar ibu jari itu tak bisa memberikan jawaban, seperti apa sosok didalam. Tak ada apa – apa dalam kamar itu, hanya sebuah kipas angin yang berputar kencang, sebuah mangkuk berisi bunga - ?, segelas air putih dan peralatan make up yang tampak komplit diatas meja. Terdengar suara bercakap – cakap, tapi tak seorangpun yang tampak. Sprai di tempat tidurpun terlihat kusut bekas di gunakan dan belum dirapikan. Aku buru – buru berlalu dari tempat itu. Mungkin saja, penghuni baru itu sedang keluar kamar dan sewaktu – waktu bisa memergoki ulah kami mengintipnya. Bukankah hal yang sangat memalukan mengingat dilakukan oleh dua orang mahasiswa yang berpendidikan ?

“Aneh ya.” desis Vega.

“Mungkin saja dia sedang keluar hingga kita tidak melihatnya.”

“Tidak mungkin. Kau tahu, sekarang baru pukul setengah enam dan aku mengintipnya mulai dari pukul empat. Nggak ada yang terlihat tapi kau dengar, suara percakapan itu ada kan ?”

“Mungkin saja mereka bersembunyi.”

“Dimana ? Dikolong tempat tidur ? Atau Almari ?”

“Sudahlah, tak perlu dibahas, tak ada gunanya.”


**

Kami kembali berinteraksi di ruang televisi. Tak ada pembicaraan serius, masing – masing lebih tertarik pada sinetron yang menuntun imajinasi kami. Tiba – tiba Mbak Lili menerobos masuk kedalam dan berdiri dengan wajah ketakutan.

“Hei.. apa kalian tidak mendengar suara bayi dari kamar paling sudut ?” tanyanya dengan wajah kebingungan.

Bayi ? Ach, aku tak mendengarnya, tak mungkin batang cotton bud tertinggal di telingaku sore tadi ketika aku membersihkannya. Semuanya memasang telinga baik – baik, Vitra mengangguk, dia mendengar suara tangis bayi, lalu Vega disusul Elly, Diva, Ayu dan terakhir Aku. Ya, suara tangis bayi itu makin keras.

“Bagaimana mungkin dia bertahan selama tiga hari di dalam kamar tanpa ke kamar mandi sedangkan dia bersama seorang bayi ?” tanya Aku tak habis mengerti. Tak ada yang dapat menjawabnya. Semuanya hanya merasa bertambah aneh.

“Kita harus mengatakannya pada Ibu Asrama, siapa tahu, penghuni itu sedang dalam kesulitan. Mungkin juga dia sedang....” Usul Elly yang tiba – tiba menjadi cerdas.

“Melahirkan.” potong Ayu cepat. Dasar bigos.

Kamipun bersama – sama mendatangi rumah Ibu Asrama yang berada tepat disamping Asrama. Ibu kos menemui kami dengan hanya mengenakan baby doll tipis, maklum sudah larut dan saatnya untuk tidur.

“Alhamdullilah.” ucapnya penuh syukur ketika Mbak Lily menerangkan perihal tangis bayi itu. Kami saling berpandangan tak mengerti.

“Jadi dia sudah melahirkan ? Kalau begitu Ibu sangat bahagia. Malam ini juga dia akan pulang dan kalian boleh tidur sekarang. Ibu akan ceritakan nanti.” Ibu Asrama bergegas masuk ke dalam. Tak ada yang beranjak dari tempat itu sekalipun Ibu mengatakan kami boleh tidur, rasa penasaran telah membuat kami tetap bertahan.

Ibu Asrama keluar dengan mengenakan sanggul dan kebaya lengkap. Bahkan Bapak Asrama – yang 20 tahun lebih muda, juga mengenakan beskap lengkap dengan blangkon dan kerisnya. Tanpa memandang kami, mereka bergegas keluar dan menuju ke kamar paling sudut.

Kami mengikuti langkah mereka diam – diam, tak terlalu dekat – khawatir Ibu akan marah tetapi juga tidak terlalu jauh – kami ingin tahu apa yang terjadi.

Pintu kamar paling sudut terbuka dari dalam seketika saat mereka telah berada di sana. Tak ada sosok yang keluar. Ibu dan Bapak melakukan sembah, lalu dua berkas cahaya – kecil dan besar menerobos keluar dari dalam kamar dan melesat ke udara. Cahaya terang itu kemudian menghilang di telan malam.

Malam yang misterius, konon penghuni itu datang untuk melahirkan bayinya di kamar kos itu. Dia membayar mahal harga kamar itu, dan Ibu merasa suatu berkah telah datang padanya dari wanita yang konon putri penguasa laut selatan itu.

Setelah malam itu tak terdengar lagi suara tangis bayi atau wangi menghampar udara. Sunyi dan senyap, hanya terdengar lembut suara melow Ari Lasso lamat – lamat dari balik tembok dan pintu yang selalu tertutup rapat. Saat senja menjelang, dari bawah pintu dan ventilasi udara menyemburat cahaya lampu yang terang, menandakan bahwa di kamar itu ada penghuninya.

Ambarawa, 26 April 2007

Untuk cinta terakhir

Monday 23 April 2007

Share with Heart

“Selamat siang pendengar radio J4U gelombang tujuh point dua ef em semua, siang ini masih bersama saya Aiqi. Kita akan coba bersama – sama saling berbagi, bercerita dan bertukar pikiran. Tetap dalam acara yang sama Share with Heart. Okey untuk yang ingin ikutan sharing silahkan kirim sms kalian ke nomor 08123456789 atau telepon ke 021098243 pastikan Share with heart just said your heart.” Sebuah kalimat awalan dari program siaran yang dipandu Aiqi.

Aiqi memandang ke arah Mas Tyo yang sibuk mengotak atik perangkat pendukung siaran. Mas Tyo mengacungkan jari, memberi aba – aba pada Aiqi. Aiqi mengangguk tanda mengerti.

“Oke, sebagai lagu pembuka kebersamaan kita siang ini, berikut sebuah lagu dari Puff Daddy ; I’ll missing you. Selamat menikmati.”

Puhh….payah, batin Aiqi. Dilepasnya headphone yang sedari tadi menekan telinganya. Denyar – denyar itu perlahan sirna.

“Ada apa ?” tanya Mas Tyo setelah Aiqi berada di luar. Aiqi mencoba tersenyum dipaksakan. Masam.

“Nggak ada apa – apa kok Mas. Nggak bisa konsen aja.” Geleng Aiqi. Tumben hari ini perasaannya berbeda. Sepertinya ada sesuatu yang salah dalam dirinya. Hanya saja Aiqi tidak bisa menunjukkan dimana letak kesalahan itu.

“Kamu bisa minta tolong Nita untuk gantiin siaran. Atau Tomi dan Andre. Tuh mereka masih pada makan di Lobi.” Kata Mas Tyo memberikan jalan keluar.

Aiqi menggeleng. “Nggak enak dong Mas. Lagipula nanti malem, aku harus pergi ke Bogor. Mama ngadain sukuran. Jadi nggak bisa tukeran jadwal ma Nita. Tomi dan Andre juga. Mereka kan jadwal ngasuh midnight. Nggak mungkinlah aku gantiin.”

Mas Tyo tersenyum. Ya jelas nggak mungkin. Aiqi yang gadis simple, lugu dan manis tiba – tiba harus ngasuh acara midnight yang isinya tujuh belas keatas ? Oo Nggak kebayang bagaimana roman muka dan malunya dia. Ketika harus menjawab pertanyaan – pertanyaan yang kadang – kadang bernada vulgar bahkan porno dari para pendengar.

“Ya udah, kita buat aja senyaman mungkin, kalau kamu males. Kasih kode. Kita putar lagu lagi.” alih Mas Tyo baik hati.

Aiqi memandang tak percaya. “Bener Mas ? kalau Mbak Citra marah gimana ? kan batasan lagu buat kita nggak lebih dari tujuh. Lalu iklan ?” Aiqi kebingungan.

Mas Tyo ngejegugin kepala Aiqi. “Aduh Non geulis, Iklan tetep aja haknya, cuma kita tambahin aja lagu satu atau dua buah.”

Aiqi tersipu malu. Mas Tyo mengacungkan ibu jarinya kembali. Lagu hampir habis. Dan dia harus kembali on.

“Oke sahabat muda. Satu sms dari Heri di Srinindito dia bilang cinta itu ibaratnya kertas tisu. Saling menghisap satu sama lain. Loh kok bisa ya ? Iya juga sih nggak bisa dipungkiri memang, cinta telah membikin hidup kita menjadi lebih berwarna. Mungkin Heri punya pendapat kalau kita jatuh cinta kita nggak bisa lepas dari orang yang kita cintai. Begitu sebaliknya.” Cerocos Aiqi. Tak ada yang menyangka Aiqi yang semula pendiam, sederhana dan lugu akan tiba – tiba berubah ceria dan cerewet bila berada di depan corong mikropon.

Tut…tut… sebuah telepon masuk.

“Hallo, share with heart. Paswordnya ?”

“Hallo, Share with heart just said your heart.” Sebuah suara cewek.

“Iya, dengan siapa ?” tanya Aiqi.

“Kelly di Putra jaya.” Kata seorang cewek yang mengenalkan diri sebagai Kelly.

“Okey Kelly, gimana nih mau kasih komentar, kirim lagu atau pengen sharing ?”

“Aku Cuma pengen kasih komentar aja nih. Menurut aku, cinta itu seperti sebuah kisah anak kecil.”

“Qi, pikir lagi deh. Nggak salah nih, apa iya kamu pengen jadi penyiar ?” tanya Mama ketika Aiqi pamit ingin mengikuti audisi penyiar di radio J4U setahun yang lalu.

“Udah deh Ma, Aiqi cuma ingin nambah wawasan aja kok. Siapa tahu ketrima kan lumayan buat nambah uang jajan. Kalaupun enggak, enggak masalah kok Ma.” Jawab Aiqi sambil mengikat tali sepatunya.

“Penyiar itu sulit lho. Harus pinter ngomong. Apalagi kalau harus siaran malem gimana ? siapa yang mau jemput ?” Tanya Mama tetap tak percaya pada pilihan Aiqi. Wajar aja Mama khawatir, Aiqi kan nggak pernah pinter basa – basi. Lagipula nggak ada yang bisa diandelin buat jemput Aiqi kalau pas jatah siaran malam. Sejak Aiqi berusia empat tahun, Mama dah jadi single parent. Tapi bukan berarti Aiqi nggak pernah ngerasain cinta seorang Papa. saat – saat tertentu Papa akan menjemputnya dan mengajaknya menginap di Semarang. Dan Aiqi sangat menikmati kebersamaan mereka.

Ditatapnya Mama dengan pandangan memelas. Please dong Ma…..

Mama menghela nafas. Aiqi terkadang keras kepala. Apalagi kalau sudah punya kemauan. Gadis manis yang baru duduk di semester tiga ini memang kokoh pendirian.

“Mama Cuma khawatir sayang. Okelah kalau itu kemauanmu. Mama minta kamu bertanggung jawab pada pilihanmu.” Mama mengangkat bahu, give up.

Lamunan Aiqi buyar, Mas Tyo kembali memberi aba – aba.

“Oke sahabat muda, kayaknya hidup kita juga nggak akan berwarna tanpa musik. Satu lagu paling dijagokan di Tophits Indonesia minggu ini. Doi cowok fotomodel dan juga bintang iklan yang baru – baru ini merilis album barunya. Yang mengherankan album cowok ini nggak melulu berisi tentang cinta. Tujuh dari sepuluh lagu yang terdapat dalam albumnya bertema tentang perdamaian dunia. Dan kayaknya nih, semua dari kita bakal menyukainya. Siapa lagi kalau bukan Gege Syahrezi. Baiklah sahabat muda, kita simak aja bersama : Dengarkan mereka. dari Gege Syahrezi.”

Aiqi menyedot endapan jus alpukatnya yang terakhir. Ughs…. Benar – benar hari yang berat. Matanya terasa pedih dan sepat. Seluruh tulang belulangnya ngilu. Mungkin karena kehujanan kemarin sore, sepulang dari siaran hujan turun dengan sangat lebat. Dan Aiqi lupa membawa serta mantel hujannya. Untuk berteduh jelas nggak mungkin. Tak ada sebuah bangunanpun yang bisa digunakan untuk berteduh sepanjang jalan menuju rumah dari Radio ini.

Dan hari ini dia kebagian on air dua kali. Siang pukul sepuluh hingga pukul duabelas yang baru saja selesai dia kerjakan. Dan satu lagi nanti jam setengah empat hingga jam lima.

“Qi. Kamu bisa pulang sendiri kan ?” tanya Mas Tyo ketika Aiqi melintas di hadapannya. Begitulah Mas Tyo selalu baik dan penuh perhatian. Ayah dua anak ini memang tipe careolous sama siapapun.

“Kenapa sih Mas Tyo nggak yakin ? aku bisa pulang sendiri kok. Biasanya kan gitu.” Jawab Aiqi. Begitulah Aiqi. Selalu ingin mandiri dan tak merepotkan.

“Kamu pucat banget. Capek atau sakit ?” lagi – lagi dengan penuh perhatian Mas Tyo menanyai Aiqi. Aiqi tersenyum lesu.

“Udah deh Mas. Nggak perlu berlebihan gitu. Aku cuma butuh istirahat satu jam. Tidur dan makan sup hangat buatan Mama itu udah obat mujarab buatku.” Jelas Aiqi.

Mas Tyo menatapnya prihatin. “Where’s your Mom, Aiqi ?”

Oh my God. Desis Aiqi pelan. Kali ini dia lupa. Mama pergi ke Bogor. Dan itu artinya nggak ada semangkuk sup hangat buatan Mama yang akan membuatnya sehat kembali.

“Baiklah Qi, sekarang tinggal bilang, Mas tolong carikan ganti buat siaran acaraku nanti. Jangan sungkan anak manis.”

Aiqi tetap menggeleng. Tidak, ini sudah tanggung jawabnya. Nggak mungkin kalau harus ditinggalkan begitu saja. Toh dari awal dia sudah sepakat apapun resiko pekerjaan ini dia yang tanggung. Puff…… kalau saja. Desisnya.

“Da Mas Tyo… sampai nanti ya.” Lambainya sembari berlalu. Mas Tyo membalasnya dengan gumaman pendek.

Aiqi baru saja hendak melangkahkan kaki keluar studio ketika Mbak Citra menegurnya. “Qi, dah mau pulang ?”

Jantung Aiqi berdebar.

“Sudah Mbak.”

“Bisa bicara sebentar ?” Debar jantung Aiqi bertambah parah. Jangan – jangan soal lagu yang lebih banyak itu ?

“Bisa Mbak.” Aiqi mengikuti langkah Mbak Citra ke dalam Kantor. Diseretnya kursi dan duduk menunggu kata – kata Mbak Citra.

Mbak Citra manager Radio J4U. Walaupun sudah punya dua orang anak, Mbak Citra masih kelihatan seperti gadis. Apalagi bagi yang baru bertemu pasti nyangkanya Mbak Citra masih single. Hidung Mbak Citra bagus. Tapi menurut Aiqi hal yang paling membuat Mbak Citra menarik adalah dagunya yang lancip. Emm selain itu rambutnya yang hitam lurus. Berkilat – kilat saat ditempa cahaya lampu. Entah sampo apa yang dipakai Mbak Citra. Sampai sekarang Aiqi tak pernah tahu. Yang pasti sampo itu pasti mahal. Keharuman rambut Mbak Citra juga tercium hingga kemana – mana.

“Qi, kok malah melamun ?” Tegur Mbak Citra.

Aiqi tergeragap. Keasyikan ngelamunin rambut Mbak nih. Batin Aiqi.

“Gini lho Qi, soal acara yang kamu bawain.”

Jantung Aiqi kembali berdebar. Acara yang dia bawain ? mungkinkah Mbak Citra tahu, beberapa hari ini dia badmood jadi nggak bisa bawain acara itu semaksimal mungkin. Mungkin Mbak Citra bermaksud menggantinya dengan acara lain ?

“Acara Share With Heart, Mbak rasa cukup bagus responnya. Apalagi sejak dipandu kamu. Setidaknya setahun ini rating acara itu meningkat terus. Dan gimana kalau ……….” Mbak Citra sengaja memotong kalimatnya.

Aiqi bersorak. Bukan complain Mbak Citra yang diterimanya melainkan pujian. Tapi ada apa ya ? hati Aiqi dipenuhi tanda tanya.

Mbak Citra menyeruput tehnya. Dipandangnya wajah Aiqi yang halus seperti porselin cina. Aiqi mengerutkan alis. Terus…..

“Gimana kalau kita buat suatu surprise buat penikmat acara kamu.” Wajah Mbak Citra berseri – seri. Surprise semacam kuis atau …….. otak Aiqi dipenuhi tanda tanya besar.

“Maksud Mbak ?”

“Yach, kita buat acara live gitu. Menurut kamu apa nih cocoknya. Asal temanya nggak jauh – jauh dengan tema Radio kita lho ya.”

Mendengar hal itu, benak Aiqi tiba – tiba dipenuhi oleh ribuan ide. Aiqi menggigit bibir bawahnya kuat – kuat. Dia menjentikkan jari. Yup. I get a good idea.

“Gimana Qi. Ide kamu apaan ?” tanya Mbak Citra.

Mata Aiqi berbinar – binar. “Gimana kalau kita buat jumpa fans Mbak ? Aiqi denger Gege Syahrezi sedang ngadain promo album. Kali aja dia mau diundang ke Radio kita. Hitung – hitung promo album. Tapi apa biayanya nggak mahal Mbak ?” cetus Aiqi.

Mbak Citra yang denger idenya manggut – manggut. “Mbak setuju Qi. Emm soal biaya, kamu nggak usah pikirin. Biar Mbak dan Mas Yos yang susun rencana anggaran biayanya sekalian cari jalan keluarnya. Tapi apa kamu yakin Gege yang paling dimauin sama pendengar setia acara kamu ? dan bukannya artis atau bintang yang lain ?” tanya Mbak Citra hati – hati.

Kehati – hatian Mbak Citra memang ada benarnya. Apalagi event yang mau diadakan termasuk event besar setidaknya untuk ukuran kota dimana mereka tinggal.

Aiqi mengetuk – ngetuk meja dengan telunjuknya pelan. “Emm…Gini aja deh Mbak, saya minta waktu sebulan. Kita adakan polling. Nah dari polling itu kita bisa dapet bintang atau artis mana aja yang paling ingin dijumpai oleh pendengar.” Jawab Aiqi tak kekurangan ide. Semangat yang siang tadi sempat kebat – kebit tiba – tiba muncul saat Mbak Citra minta idenya.

“Oke deh Qi. Mbak minta kamu siapkan draft rencana dari awal. Soal yang lain – lain Mbak dan Mas Yos yang handle. Kamu bisa kan Qi ?” Tanya Mbak Citra.

Aiqi mengangguk kuat – kuat. Tentu saja bisa dong Mbak. Batinnya.

“Aiqi coba deh Mbak. Tapi Aiqi tetap minta petunjuk Mbak.”

Mbak Citra mengulurkan tangan, Aiqi meraihnya. Mereka berjabat tangan erat.

“Sekarang kamu mau pulang ?” tanya Mbak Citra seraya bangkit. Aiqi menengok kearah jam tangannya.

“Nggak kok Mbak, sejam lagi harus on.” Jawabnya.

Mbak Citra tersenyum diapitnya lengan Aiqi keluar ruangan. “Ya udah. Mbak harus temui klien siang ini. Sampai besok ya Qi.” Pamit Mbak Citra sembari pergi dari studio.

“Ya Mbak, hati – hati.” Pesan Aiqi lirih.

Yess… teriak Aiqi mengayunkan tangan membentuk kepalan diudara. Mas Tyo yang melihatnya kebingungan. Gimana nggak bingung beberapa saat yang lalu, Aiqi mendadak sakit. siaran nggak konsen. Muka pucat pasi seputih kertas. Pembawaan kacau tapi sekarang setelah keluar dari Kantor Mbak Citra, teriak – teriak nggak karuan. Habis disuntik vitamin apa ? tanya Mas Tyo dalam hati.

“Aiqi ?”

Aiqi mengerutkan dahi melihat ke arah Mas Tyo yang semakin kebingungan.

“Kok wajah Mas Tyo aneh ?” tanya Aiqi heran. Didekatkannya wajahnya tepat didepan wajah Mas Tyo. Mas Tyo menarik wajahnya ke belakang.

“Aiqi ? nggak salah kan ?” tanya Mas Tyo keheranan.

“Maksud Mas Tyo, apanya yang salah ?”

“Kamu nggak jadi pulang ?”

Aiqi menggeleng. Kemudian kembali berputar – putar sambil berhaha – hihi.

“Qi, kamu sehat kan ?”

Aiqi kembali mengangguk. “Sehat kok. Gipula siapa yang sakit ? Mas Tyo sakit.”

Mas Tyo semakin gusar. Kalau saja gadis itu bukan Aiqi tentu saja sudah ditimpuknya sedari tadi.

“Kok kamu teriak Yes yes segala ? ada apa sih ?”

“Ooo itu ?” mulut Aiqi membulat. Mas Tyo semakin penasaran.

“Memangnya honor kita mau naik ?” Bisik Mas Tyo. Honor ? Naik ? giliran Aiqi yang kebingungan.

“Bukan. Bukan itu.”

“Lantas ?”

Tiba – tiba sebuah kepala menyembul dari balik pintu. Nita muncul dengan senyum manis dan goyangan kepalanya yang tak pernah ketinggalan.

“Halow, ada yang bisa anter gue bentar nggak ya ?” tanyanya.

Aiqi dan Mas Tyo saling memandang. Kemudian saling menggidikkan bahu.

“Kemana ?” tanya mereka nyaris berbarengan.

“Gue pengen benerin rambut gue. Bentar aja kok. Paling juga lima menit.” Ujar Nita santai. Tangannya bersidekap di dada. Dengan kepala mendongak seperti itu, Nita tiba – tiba menjelma menjadi seorang ibu suri yang angkuh.

Nita benerin rambut ? Lima menit ? mana mungkin ?

Aiqi dan Mas Tyo kembali saling pandang. Kali ini ditambah saling tunjuk.

“Mas Tyo aja deh.” Tunjuk Aiqi pertama kali.

Mas Tyo melotot nggak senang. Mulutnya dimencengkan.

“Aduh, kamu aja deh Qi. Masak ke salon sama cowok. Nggak asyik lagi.” dalih Mas Tyo mengelak.

Nita mengetuk – ketukan ujung sepatunya. Semakin lama bunyi ketukan sepatu Nita semakin keras.

Tiba – tiba bohlam seratus watt dibenak Aiqi berpijar.

“Aduh Mas, bentaran lagi giliran aku on. Tuh kan dah tiga empat lima. Lima menit lagi nih. Mas Tyo aja deh yang anter Nita. Ya, ya…Makasih.” Cerocos Aiqi sambil berlalu ke arah kamar kecil. Mas Tyo ngikutin langkahnya dengan pandangan keki.

Mas Tyo manyun. Mengikuti langkah Nita yang anggun dari belakang. Persis seperti kerbau dicocok hidung. Sebenarnya kasihan juga sih Mas Tyo tapi apa boleh buat. Nganter Nita ke salon ? ah itu sama aja dengan bunuh diri oh tidak tidak, belum separah itu. Tapi kalau menyiksa diri sih iya. Bayangin aja, Nita kalau udah di salon sulit diingetin soal waktu. Ngomongnya sih cuman benerin rambut. Padahal setelah itu masih ada acara pedicure, manicure, creambath, facial and so on. Bukannya konservatif banget, tapi Aiqi mana maulah seperti itu. Dah ketauan dipersembahkan untuk siapa entar tubuhnya. Mr. Worm pastilah.

**

Ambarawa, i will back... some day...

Hari yang Melelahkan


“Oke Ge, kita take lagi. Usahain kali ini lebih serius jadi nggak perlu ngulang sampe berkali – kali.” Arah Salom dengan suara sekencang - kencangnya. Sutradara iklan yang satu ini memang kadang – kadang ngeselin juga apalagi kalau sedang dikejar deadline seperti hari ini. Produser yang mengontrak mereka nggak sabar lagi untuk segera merilisnya ke stasiun teve.

Seluruh kru yang mendengar teriakan Salom mengarahkan pandang pada seorang Pemuda yang sedang duduk melamun didepan background syuting.

Cowok dua puluhan yang dipanggil Gege melengos. “Bentaran kenapa Mas, masih capek nih.” Serunya menyahut. Salom melirik kearahnya sekilas. Nggak senang.

“Ayo dong Ge, lelet banget sih kamu. Jangan bikin aku punya pikiran buat ngegantiin peran kamu ke orang lain sekarang.” Mata Salom menyipit. Disekanya peluh yang hampir jatuh dari dahinya.

Gege ogah – ogahan bangkit. Kalau saja dia boleh memilih, antara bekerja dengan Salom atau orang lain. tentu dia akan memilih bekerja dengan orang lain. Salom tipe orang yang perfecsionis, udah gitu nggak pernah pake nurani saat kerja.

“Baca ulang script – nya terutama adegan 5. kalau belum ngerti tanya sama Mbak Fenti.” Teriak Salom kembali. Kali ini sedikit lebih pelan. Disodorkannya buku script tepat didepan hidung Gege.

Gege meraih buku itu malas. Kalau saja bukan Salom yang memberikannya tentu dia lebih senang untuk merobek dan membuatnya sebagai alas tidur.

“Memangnya kita kerja rodi. Diperes – peres ?” bisik Ron, photographer saat Gege melintas di dekatnya. Gege menggidikan bahu.

“Heeh. Gue kira gue sendiri yang nggak suka.” Tukas Gege kesal.

“Nggak cuman kamu kok Ge. Ph aja kayaknya nggak terlalu suka sama tingkahnya yang arogan banget. Tapi emang sih, iklan dia patut diacungin jempol. Lihat aja kemarin di festival iklan. Empat kategori terbaik, dia yang raih. Sutradara lain lewat. ” Yakin Ron.

“Tapi itu nggak cuman kerja dia doang. Kita – kita ikut andil juga kan Ron.” Celetuk Rena yang tiba – tiba ada diantara mereka.

Ron mengangguk yang diikuti oleh Gege. Bersamaan mereka memandang ke arah Salom. Pria setengah baya dengan kumis tipis melintang itu tempak sedang mengamati komputer yang menayangkan gambar yang sempat mereka ambil beberapa waktu tadi. Tangannya sibuk menunjuk – nunjuk mengarahkan di iringi anggukan kepala Wendi tukang edit.

Tiba – tiba Salom bangkit dan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. “Ayo, istirahatnya selesai. Kita mulai kerja lagi.” Seru si Sutradara galak, dengan pandangan berkilat.

Plok…..plok….plok….. tepuk tangan Sutradara membangkitkan seluruh kru. Mereka serentak kembali pada pekerjaannya masing – masing.

“Dah Ge tinggal satu adegan lagi. kita selesein hari ini juga. Seperti maunya dia.” Kata Rena yang kali ini dapat peran lawan mainnya Gege. Gadis cantik dan bertubuh sempurna ini segera bangkit. Meneguk soft drinknya sekali lagi dan mulai berbenah untuk pengambilan adegan selanjutnya.

Gaun sutra warna biru langit cocok banget di kulit putih Rena. Apalagi Mbak Keti, sang juru make up seakan tahu make up yang paling sesuai dengan wajah Rena. Seluruh keindahan seolah terefleksikan pada diri Rena.

Gege menarik nafas. Rena begitu sempurna. Kulitnya yang putih dan halus, wajahnya yang merona memerah dengan bibir indah memikat. Puff……….

Tahu sedang menjadi perhatian, Rena jadi salah tingkah. Wajahnya lebih memerah. Diliriknya Gege dengan hati berdebar. Dipandang sedemikian rupa Gege kumat ganjennya. Mengedipkan mata. Rena tersipu malu lalu buru – buru mengalihkan perhatian.

“Ge, kali ini kamu coba lupain deh segala bullshit yang ada dipikiran kamu. Kamu tahu nggak sih, kalau kamu nggak konsen sama adegan itu, aku juga kebawa – bawa.” Ujar Rena.

Rena manyun. “Tuh kan, kamu nggak pernah serius. Come on hunny.” Desak Rena.

“Oke deh. Aku coba tapi aku nggak janji. Hanya demi kau, permaisuriku aku akan mencoba.” Ucap Gege sok romantis. Disedekapkan tangan kanan di depan dadanya dan tangan kiri dibelakang punggung. Lalu membungkuk dan memberi hormat pada Rena. Dasar artis !

Wajah Rena memerah. “Gombal.” Desis Rena. Pura – pura marah. Dalam hati Rena selalu ingin Gege berbuat itu. Konyol, kolokan dan kekanak – kanakan.

Gege meraih sebotol soft drink milik Rena. “Minuman kamu ? Minta ya Ren.”

Rena mendelik melihat minumannya diserobot paksa. “Ye, minta pa maksa ? minum aja semua, gue nggak haus lagi kok.” Katanya sambil ngeloyor pergi.

“Lu jijik ma bekas gue ya Ren.” Teriak Gege kearah Rena. Langkah Rena terhenti dan menatap tajam ke arah Gege.

Gege tersenyum cengengesan. Dimoncongkannya bibirnya seolah – olah hendak mencium Rena. Rena mengangkat bahu dan berlalu.

Ron yang sedari tadi memperhatikan mereka ikut tersenyum. “Ge, marah tuh dia, lu sih klo ngomong nggak pake dipikir. Kejar gih.” Usir Ron melambaikan tangan.

Gege tersenyum acuh. “Biarin aja Ron, paling bentaran dia baikin gue lagi. ngapain juga mesti ngejar. Nggak dikejar juga datang sendiri.”

Ron terbahak. Harus diakui Gege memang penakluk cewek sejati. Semua kriteria cowok idaman semua ada di diri Gege. Dan Ron juga berani bertaruh lima menit lagi Rena bakal datang dan mereka berdamai.

Script kembali beredar. Masing – masing kemudian disibukkan oleh bagian kerjanya. Rena yang harus mengulang kembali adegan karena ketidak seriusan Gege tambah marah. Sebab sejak adegan mulai diulang, Gege tak pernah dapat sekalipun berkonsentrasi. Akhirnya syuting dihentikan. Salom memberi waktu satu jam untuk istirahat. Jika setelah istirahat Gege tak juga dapat konsentrasi, Salom mengancam akan mencari pengganti Gege untuk peran utama dalam iklan itu.

Persoalan akan runyam, sebab sesuai dengan kesepakatan yang telah tertanda tangani. Gege tak hanya tidak berhak atas honornya tapi juga harus membayar denda karena kegagalan syuting dianggap berasal dari diri Gege.

“Aduh Ge. Gue bilang Lu harus konsentrasi. Lu nggak bisa juga. Rileks boy. What’s wrong with you ?” tanya Salom berapi – api. Salom membanting topi kelantai. Dihentakannya kaki kuat – kuat.

Gege menarik nafas. “Maafin Gue lom. Pikiran gue kacau. Nggak tau kenapa ?”

“Itulah boy, gue udah bilang dari semula. Problem Lu di rumah, selesaiin juga dirumah. Jangan Lu bawa – bawa ke sini.” Nasihat Salom gusar.

“Kita break aja dulu Lom. One hour more. Setelah itu Gue janji, nggak bakal bikin Lu kecewa. I’ll give you the best.” Pinta Gege lunglai.

“Allright boy, I give you one more change. Don’t make me disapointed.” Putus Salom sambil melangkah pergi.

“Oke everybody, we break one hour again. Gunakan kesempatan ini sebaik – baiknya. Setengah empat kita kerja lagi.” kali ini teriakan cempreng Ika, ass Sutradara terdengar membahana ke seluruh lokasi syuting.

Terdengan suit – suit panjang dari seluruh lokasi. Juga gumaman tak jelas. Entah senang atau protes dengan istirahat yang baru diputuskan.

Buru – buru Gege melangkah pergi. Namun baru beberapa langkah dia berlalu, sebuah tepukan kecil mendarat di bahunya.

“Ge, Lu kenapa sih. Album nyanyi Lu bentar lagi rilis. Nah iklan Lu ini kan cuma kerjaan sambil lalu. So take easy guys. Nggak usah dipikirin.” Kata Vido tepat di telinga kanan Gege. Gege tersenyum kecut.

“Gue nggak ngerti nih Ge. Yang Lu pikir tu apa ?” tanya Vido kembali. Manager Gege yang kebetulan masih saudara sepupu itu kadang – kadang memang ngeselin. Nggak tahu kenapa, culunnya itu nggak ketulungan, walaupun sekarang dia dah jadi managernya Gege, yang fotomodel, bintang iklan sekaligus penyanyi itu. Mungkin karena usia Vido yang masih muda. Usia Gege dan Vido memang sepantaran. Mungkin hanya terpaut satu atau dua tahun. Tapi soal kedewasaan sepertinya Vido belum punya.

“Gue pengen sendiri Do. Ada banyak yang gue rasain.” Kata Gege lirih. Perasaannya bercampur aduk tak karuan. Gege merasa ada sesuatu yang tak beres dengan dirinya. Hanya saja dia tidak bisa menunjukkan dimana letak ketidak beresan itu.

“Ada apa sih Ge. Lu tiba – tiba jadi misterius amir ?” desak Vido sambil menggaruk – garuk kepalanya yang tak terasa gatal.

“Soal Rena ?”

“Nggak.”

“Gue pikir Lu jadian ma dia.”

“Kepala Lu aja yang ngeres, Lu pikir gue tertarik ma cewek kayak dia. Rena bukan tipe Gue. Lu tahu kan Do ?”

Vido mengernyitkan dahi. “Maksud Lu ?”

“Ya, Lu tahu kan tipe cewek yang gue suka.” Bentak Gege berang. Vido cekikikan.

“Ya iyalah, masa gue lupa. Tipe cewek yang Lu suka.”

Tumben nyambung. Pikir Gege. Disambitnya kepala Gege dengan sepotong ranting yang sejak tadi dipermainkannya. Vido mengelak.

“Lalu apa yang jadi pikiran kamu. Cewek lain ?”

Gege menggeleng sedih. “Itulah Do, gue nggak tahu dimana letak kesalahan itu. Yang pasti bukan soal cewek.”

Vido semakin tak mengerti. Tapi dia paham, kalau kebiasaan Gege yang aneh itu sudah muncul, apa yang harus dia lakukan.

“Ok man. Gue tinggal lu sendirian dulu. Moga – moga aja lu bisa nemuin apa yang jadi masalah lu.” Ditepuknya bahu Gege. Vido meninggalkan Gege seorang diri. Gege memandang kepergian Vido sayu. Seandainya saja ada yang tahu, pandangan mata Gege persis seperti pandangan kucing Tom saat kelaparan. Meongg….

Gege baru saja hendak meletakkan pantatnya di pinggiran kolam ikan ketika tiba – tiba sepasang tangan halus mendekapnya dari belakang.

Gege berpaling. Rena memandang Gege lembut. Gege menarik tangan gadis semampai yang kemudian menjajari duduknya di pinggir kolam.

“Ge, ada apa sih. Kok kamu jadi nggak konsen gini ?” tanya Rena pelan. Emosi Gege terkadang meledak – ledak. Apalagi sejak pagi, Gege selalu sensitif.

“Nggak taulah Ren. Gue ada problem di rumah.”

“Problem ? cowok seperti kamu punya masalah ? ah yang bener Ge ?” tanya Rena mengerutkan dahi.

Nggak ada yang kurang dari diri Gege, setidaknya yang selama ini dia kenal. Gege yang bintang tengah naik daun, tajir, cakep perilakunyapun menyenangkan. Dengan ribuan penggemar, Gege nyaris mendapatkan seluruh impian cowok manapun dibelahan dunia ini. Dan ini yang bikin Rena salut, sepanjang dia mengenal Gege, Rena belum pernah sekalipun dengar atau tahu gosip miring tentang Gege. Tidak seperti bintang dan artis lain. Berita negatif tak pernah sekalipun berani menyentuh sosok cowok itu.

“Bokap gue sakit – sakitan Ren.” Kata Gege pilu. Kesedihan tak bisa disembunyikan dari wajahnya.

Rena trenyuh. Diusap – usapnya punggung Gege perlahan.

“Maaf ya Ge. Tapi Gue ikut sedih. Gue nggak tahu Bokapmu sakit – sakitan. Mungkin Bokap kamu butuh istirahat. Dia terlalu capek.” Nasihat Rena pelan.

“Memangnya Bokap sakit apa ?”

Gege menggeleng. “Sakit gula Ren. Setahun yang lalu Bokap gue udah pensiun kok. Tapi taulah beberapa hari ini kadar gulanya naik terus. Padahal disuruh diet, sulitnya minta ampun.” Keluh Gege.

Rena menghela nafas prihatin. Dia tahu, orang tua seusia Ayah Gege memang kadang – kadang susah diatur.

“Ya, minimal kamu bisa buat hatinya gembira dong Ge. Mungkin dengan begitu dia punya semangat untuk sembuh.”

“Iya juga sih. Beberapa hari yang lalu Bokap gue cerita. Dia bilang pengen liat aku yang anak laki – laki satu – satunya cepet pake toga.” Kata Gege sambil memainkan kakinya didalam air. Karuan saja ikan – ikan berenang kian kemari. Mungkin karena bau kaki Gege yang mirip terasi. Uff….

Rena melempar kerikil ke kolam. Seekor ikan berenang mendekatinya, menyangka yang jatuh adalah makanan dari langit.

“Yah, keinginan bokap kamu nggak salah Ge. Siapa sih yang nggak kepengen anaknya jadi sarjana. Apalagi kamu anak laki – laki satu – satunya.” Ujar Rena setuju.

“Masalahnya sekarang, waktu aku nggak cukup banyak buat kuliah Ren. Lu taukan, gimana repotnya membagi waktu.” Tatap Gege nanar. Ren mengangguk.

“Iya. Kamu juga nggak salah kok. Tapi aku denger universitas empat lima buka program ektensi. Itu tuh yang kuliah malem hari. Kamu coba aja cari informasi gih.” Anjur Rena.

“Iya, gue juga udah denger dari Mita. Dia juga bilang, tahun ini dia mau masuk. Gue sempet mikir juga. Masuk barengan dia atau tahun depan aja.”

“Menurut aku sih. Sebaiknya kamu masuk aja barengan dia jadi Lu bisa nitip – nitip apa gitu, seandainya kamu harus absent.” Himbau Rena.

Mata Gege berbinar. “Makasih ya Ren buat atensi Lu ke gue.” Pandangan mereka bersirobok. Jantung Rena berdegup keras.

Sepanjang hari mereka menjadi lawan main. Memerankan dua orang sahabat tapi baru kali ini pandangan Gege menggetarkan hatinya.

Rena buru – buru mengalihkan pandangan. “Trus album kamu. Kapan rilis ?”

“Mungkin akhir bulan ini. Acara launchingnya di Hard Rock. Lu mau dateng kan Ren ?” tanya Gege. Mata Rena menyipit kemudian tersenyum manis.dan mengangguk kuat – kuat. Untuk Gege apapun akan dia lakukan. “Asal undangannya aja jangan lupa.”

“Buat kamu sepuluh deh.” Gege mengucel rambut Rena pelan. Spontan Rena menampik halus. “Kusyutlah Ge.”

“Maaf.”

Mereka saling pandang dan kemudian tertawa berbarengan. Puff…. Hari yang melelahkan.

**

Ambarawa,

When i was loss everything. i still love u

Saturday 14 April 2007

Semua tentang Rindu

Aku tertatih menyusuri jalanan gelap. Membawa tubuhku yang menggigil menahan rindu. Rindu pada kekasihku yang telah lama tak kujumpai dan menemuiku. Kau memang tak pernah menyadari aku telah melibatkan emosi dan perasaanku saat bersamamui, kalaupun kau sadari mungkin kau akan mengacuhkannya. Menganggapnya rindu yang biasa tak istimewa dan tak perlu kau perhatikan.

Rindu itu hampir membuatku mati – beberapa saat lagi. Atau mungkin juga tidak jika saja aku segera dapat bertemu denganmu dan memenuhi segala hasrat untuk memilikimu. Memuaskan dahagaku pada cintamu. Tubuhku menggigil menahan rindu. Rindu pada kekasihku yang semakin dalam dan menyeret tubuhku pelan menghampiri kepunahan, yang mungkin akan terabaikan.

Aku terus berjalan. Menyusuri jalanan gelap, nyalang menatap nomor demi nomor berderet memastikan bahwa itu bukan nomor rumahmu, atau mungkinkah nomormu telah terlewat oleh mataku yang tak berguna ini. Jika ya, mungkin aku harus segera menggantinya dengan mata yang baru agar bayanganmupun tak bisa terlewatkan.

Aku takut, kau kekasihku tengah bergumul dengan wanita lain di dalam sana. Dalam keremangan cahaya lampu yang hangat, pelukan seharum kesturi dan kecupan lembut bidadari. Ah, andai saja kesempatan itu datang aku akan jadikan diriku bidadari untukmu, dengan sepinggan cinta dan setandan kesetiaan, tidak cukupkah ? Dan desah memburu itu, pasti akan membuatku cemburu sangat cemburu. Kau akan meregutnya, mencumbunya, menyusuri lembah dan bukit – bukit yang bukan milikku. Aku meratap penuh cemburu.

Angin mulai menderu dasyat. Hampir – hampir menerbangkan sehelai kain yang membalut tubuhku. Tak ada kain yang lain, setelah semuanya kau lempar keluar malam itu. Aku berusaha memcarimu, kekasihku. Untuk mencairkan kebekuan rinduku setelah malam itu kau dinginkan aku dalam rindu, hingga tak ada lagi yang tersisa dalam benakku kecuali rinduku padamu.

Ranting – ranting mulai berjatuhan. Menimpa kepalaku yang mulai pening, penuh dengan rindu. Menimpa tubuhku yang mulai letih, menopang kerinduan yang putih.

Gesekan angin dan ranting bahkan membuatku berharap, itulah kita. Dengan sepenuh kerinduan yang dapat kita tumpahkan. Tidak hanya berupa azl, tapi cinta, sebenar – benarnya rindu.

Rembulan dengan sinarnya yang magis bahkan mungkin akan menertawakanku yang menggelandang berbalutkan rindu padamu. Atau mungkin juga rembulan akan setia menemaniku, mengantarkan kerinduan ini utuh untukmu seperti juga kerinduannya pada malam yang akan terus menjemputnya menuntaskan rindu. Tapi tidak, bahkan mungkin dia tak akan sekuat itu. Sekuat aku yang tertatih menyusuri jalanan gelap demi rinduku.

Argh… mengapa aku harus jatuh cinta padamu ? yang akhirnya akan membebaniku dengan rinduku. Dan mengapakah kau harus berhenti malam itu, memintaku untuk bercinta dua jam denganmu. Ada apa dengan ban mobilmu yang tiba – tiba harus kempes saat tiba tepat di hadapanku.

Aku tertatih menyusuri jalanan gelap. Membawa tubuhku yang menggigil menahan rindu. Rindu pada kau kekasihku. Yang mungkin tak pernah kau sadari, kalaupun kau sadari mungkin kau akan mengacuhkannya. Menganggapnya rindu yang biasa yang tak perlu kau perhatikan.

Kepak kelelawar hampir saja pudarkan lamunanku. Tapi tidak kekasihku, rindu ini terlalu berat. Amat sangat teramat berat. Membuatku menggigil dengan gigi gemelutuk harusnya kusebut namamu tiga kali, hingga luntur rinduku. Seperti lunturnya kegundahan akan penolakanmu. Tapi tidak bahkan namamu saja aku tak pernah tahu, sepanjang yang ku tahu, Kekasihku itulah namamu.

Aku memang bodoh tapi tentu saja aku tak sebodoh itu, paling tidak dua putaran waktu telah kuhabiskan untuk belajar dan aku pernah melaluinya dengan baik. Ingatanku pun lancar, selancar aku ingat bagaimana raut wajahmu saat memelukku. Merasuki badanku dengan penuh pesona. Menarik nafas panjang sebelum akhirnya tergolek dalam pelukanku. Menebarkan kelembutan yang telah lama kurindu.

Ach.. kekasih andai saja tak kau sebutkan sebuah kata dalam mimpimu bersamaku yang hanya sesaat tak mungkin aku akan merasa serindu ini padamu. Bahkan mungkin aku akan mengacuhkanmu, setelah kau angsurkan beberapa lembar ratusan ribu.

Tidak, tidak. Harusnya tak kusinggung hal itu, paling tidak sampai aku sadari aku telah memendam rindu. Ada banyak yang ingin kukatakan. Sampai rasanya berjuta kata yang kuingat tak mampu lagi mengungkapkan. Betapa aku rindu padamu.

Mataku masih saja nyalang. Hingga nomor rumah ini kukenali benar. Ya ya inilah rumahmu itu. Seperti tertera pada identity card-mu. Kupastikan cahaya rembulan yang terpantul tak berdusta, karena aku tahu bahkan rembulanpun takkan pernah mendukungku persembahkan rinduku.

Sebuah lorong gazebo panjang. Sunyi, aku tahu tak ada satupun yang memihakku. Tidak juga angin ataupun derik serangga malam.

@@

Aku ingin menuruti kata hatiku untuk mengulurkan tangan dan tergesa – gesa mengetukkannya di pintu rumahmu. Tapi dadaku berdebar kencang, siapakah yang akan menyambut ketukanku ?

Mungkinkah seringai lembut wajahmu yang bernafsu atau nyinyir wanita yang telah menjadi peliharaanmu. Menunjukku tepat di dahiku dan menumpahkan sumpah serapah menyebutku sebagai penganggu suami orang ?

Aku bergidik nyeri. Haruskah kuakui kenyataan itu, seorang perempuan malam telah jatuh cinta pada pelanggannya ? Oh, seandainya saja semua paham tentang bahasa rindu yang tengah aku pendam.

Kutuang Vodka hingga tetes terakhir menitik berakhir di ujung mulut gelasku. Menyulut sebatang rokok putih dan mencoba mengusir penatku. Malam yang gagal. Ada banyak tawaran tapi kenapa semuanya tampak hambar ?

“Apa lagi yang kau cari ? kamu disini bukan untuk menghabiskan minumanku kan ?” Parau suara Tante Feni mengusik telingaku yang setengah terbuka. Penguasa tunggal komplek ini mulai tak suka dengan tingkahku yang mulai tak wajar, mungkin sebentar lagi aku akan dibentaknya, diusirnya atau dilemparkannya kembali ke jalanan sama seperti ketika pertama kali dia menemukanku. Wanita keji yang membuat seseorang yang pernah ditolongnya mendendam.

Aku menggeleng tak berniat menjawabnya. Dia menajamkan pandangannya. “Aneh, tak seperti biasanya kamu berlaku seperti ini. Ingat Yas, tak banyak perempuan di lokalisasi ini yang punya kelebihan seperti kamu. Pelanggan kamu banyak, tapi akhir – akhir ini kamu seringkali mengecewakan mereka. Kamu tolak mereka. Kamu seharusnya sadar, didunia kita ini semuanya adalah bisnis. Atau kamu sudah merasa kaya hingga tak perlu lagi uang mereka heh ?” Nyinyir suara Tante Gendut itu mengusikku juga akhirnya.

“Aku belum kaya Tante tapi kalau hanya untuk membayar minumanmu dan juga sewa tempatmu aku masih mampu. Berapa sih jumlah semuanya ?” tanyaku sambil beranjak pergi. Perempuan tambun itu makin memuakkan. Kalau saja, aku mau sejak dari kemarin – kemarin aku hengkang dari tempat terkutuk ini dan menerima tawaran Diah, teman seprofesiku, melengkapi koleksinya di Aquarium showroom salonnya. Tapi aku masih segan, pertama kali dulu setidaknya Tante bengkak itulah penolongku – dia mencarikan pelanggan pertama untukku.

Aku meninggalkan tempat Tante Feni diiringi pandangan sinis lewat matanya yang menyipit. Makin lama dia makin mirip babi gendut saja runtukku mencoba menawarkan perasaanku.

Aku mungkin mendendam pada diri dan juga penciptaku – andai saja aku bisa. Seandainya aku bisa menggugat, akan kugugat kenapa Dia ciptakan aku untuk hidup dan terpuruk dalam lembah ini. mungkin semuanya masih bisa kuterima seandainya perasaan dan emosiku tak bisa kulibatkan dalam takdirku. Dan sekarang, karena itulah aku menanggung rindu. Rindu yang teramat sangat dan harus kutuntaskan.

Malam merambat cepat – aku berharap semuanya segera usai hingga rasa rinduku terkubur demi melihat matahari. Tapi tidak, malam malah merangkak pelan setelah melewati tengah malam. Andai saja aku bisa, tentunya telah kuterima ajakan beberapa pelangganku untuk menemaninya bercinta. Menghabiskan beberapa waktu dan menunggu matahari menjemput rinduku. Tapi sayang aku tidak bisa, perasaanku berkata lain ; mungkin sebentar lagi dia akan datang, memintaku untuk menemaninya, satu jam, dua jam, tiga atau hingga ujung usia menjemputku. Aku rela dan berjanji tak akan memintanya meninggalkan lembaran ratusan ribu untuk menebus tubuhku. Aku ikhlaskan seluruh rinduku untuknya.

“Yas, lari ada razia Trantib.” Teriak Tante Feni tergopoh – gopoh melintasiku yang gontai menyusuri rel kereta api. Aku bergeming, mungkinkah selarut ini ? bukankah setahuku tempat ini sudah dibekingi oleh beberapa petinggi yang juga pelanggan kami.

“Yas… cepat…” teriak Leni mencoba mendahuluiku disusul oleh beberapa teman yang lain. Dengus nafasnya bahkan terdengar keras hinggap di telinga kananku. Mereka tak lagi peduli pada keadaan dirinya. Mereka berlari seolah – olah dikejar setan, aku tetap berjalan tenang seakan tak terjadi apapun. Petugas – petugas itu tak biasanya bersikap keras dan liar seperti ini. Tapi aku mencoba memaklumi, merekapun butuh uang seperti kami. Kami dan mereka sama – sama hanya bertahan hidup, layaknya Tuhan yang telah menciptakan kucing diantara tikus.

Seseorang menepuk pundakku dan meraih tanganku. Dadaku berdesir tak percaya. Bukankah ini sang kekasih itu ? seseorang yang hampir pasti telah menguasai seluruh jiwaku ? aku berkedip tak percaya. Aku tak mungkin salah, rahangnya yang kokoh, genggaman tangannya yang kuat tapi lembut, bau mulutnya yang sejak pertama kali telah terpatri diotakku. Itulah dia, sang kekasih bagiku.

“Hai Kamu, ayo ikut.” Dia menarikku. Tentu saja aku mau, bukankah selama ini aku telah mencarinya kemana – mana. Mencoba menyusuri aroma tubuhnya yang terbawa olah angin malam. Mencoba mendengarkan bisikannya melalui desahan rembulan.

Dia membawaku kedalam sebuah mobil patroli terbuka, melemparkan tubuhku kedalamnya dan menyerahkannya berdesak – desakan dengan tubuh – tubuh kotor lainnya.

“Mas, apa kamu tidak mengingatku ? malam itu ….” Aku menatapnya, berusaha membangkitkan memori malam saat rinduku mulai terbentuk.

Dia menatapku sinis, “Kamu jangan coba – coba. Saya tidak kenal kamu ! dasar pelacur.” Dia menghardikku keras hingga cukup untuk memadamkan rasa rinduku yang menggelora, menyurutkannya dan mencoba mengartikan bahasanya yang tak kunjung kumengerti namun akhirnya berhasil juga kuterjemahkan bisikan angin malam itu, “ Pria hidung belang ….”

@@

Cungkup Asri, 25 Oktober 2006 22.23

Untuk : Teman2 di Bandungan

Pengalaman kalian adalah pengalamanku