Wednesday 19 March 2008

"Selingkuh"


Venice melangkah ragu. Langkah kakinya berjingkat mungil. Satu – satu, surut sebentar terdiam seolah terantuk sesuatu kemudian melangkah kembali.. Dia hela nafas panjang, membiarkan paru - parunya menyeret oksigen yang seakan berberat ratusan ton. Dipejamkannya matanya erat dan dibukanya cepat – cepat. Haruskah dia bertemu dengan Laki – laki itu ? laki – laki yang setiap kali dia memikirkannya selalu sesak nafas yang diperolehnya. Sehingga penyakit asma yang tak pernah dideritanya muncul begitu saja. Laki – laki itu juga yang membuatnya imsomnia akhir – akhir ini.
Ruangan itu masih kosong, hanya satu dua orang yang sibuk memandang ke arah permukaan meja, melamun menatap layar komputer yang hampa atau sekedar mengedipkan mata mengusir rasa bosan yang meruap. Seorang perempuan dan dua orang laki – laki. Selebihnya ? seorang office boy yang sibuk mondar – mandir mengepel lantai.
Hari ini hari Senin dan dihari Senin semua akan begitu bertanggung jawab, hukuman akan dilaksanakan hari ini atas kesalahan yang terjadi minggu lalu begitupun penghargaan akan disematkan untuk mereka yang dianggap pantas menerimanya. Sehingga semua orang pantas untuk berdebar jantungnya. Masing – masing tak ada yang boleh memilih. Semuanya sudah ada bagiannya. Dan jika semua sudah mendapatkan bagiannya, mereka boleh tertunduk lesu atau membusungkan dada dengan pujian tersemat didada mereka. Ugh, itu satu hal yang selalu membuat Senin sebagai hari yang paling ditunggu. Venice menggidikkan bahu.
Dan Venice datang terlalu pagi tapi bukan karena hari Senin. Venice sudah terlalu lama merindu. Hingga rindu – rindu itu menggumpal dan nyaris membuntukan otaknya. Lihat saja, dua hari yang lalu ketika dia bermaksud mentranslate perjanjian kontrak, tak satupun kalimat berhasil diterjemahkannya semuanya kembali ke titik beku yang dingin. Kecuali sosok laki – laki itu. Laki – laki yang mirip dengan Ayah yang pernah dipunyainya beberapa tahun yang lalu.
Venice menghempaskan pantatnya diatas kursi kerja. Keras, entah berapa lama busa kursi ini telah bertahan. Menyangga beban tubuhnya yang makin lama makin tambun. Walaupun dia sudah berusaha keras untuk menjaganya agar tetap langsing. Tapi energi yang diperlukannya menuntutnya untuk terus makan, makan dan makan. Hingga masakan Bunda nyaris tak ada yang tersisa. Tentu saja Venice tak pernah puas hanya dengan memelototi makanan – makanan itu. Mulutnya selalu menuntut lebih dan lebih. Terakhir, dia hampir menjerit ketika angka melonjak melewati batas berat idealnya. Fuh..
Satu persatu orang berdatangan, hingga nanti akan mengisi penuh ruangan itu dengan hiruk pikuk masing – masing. Berserabut kertas ditingkahi jerit suara printer yang bergerak tersendat – sendat. Tidak cuma satu melainkan sembilan buah, hingga suaranya melebihi keributan yang dibuat oleh serangga hutan saat penghujan tiba.
Dan dada Venice kembali bergetar, berdebar – debar hebat, mungkinkah hari ini Laki – laki itu tak datang ? Menyapanya, memberinya pujian atas penampilannya yang sengaja dirubahnya khusus untuk bertemu dengannya. Bukankah tadi dia telah berusaha bangun lebih pagi, agar bisa melebihkan jam mandinya dengan berendam dalam larutan minyak almond untuk melembutkan jari jemari dan kulitnya. Membubuhkan bedak sedikit lebih tebal dari biasanya dan sengaja menyapu kulit wajahnya dengan warna – warni hingga kelihatan berseri – seri. Wajah Venice memang sedikit lebih cantik, paling tidak itu pujiannya untuk diri sendiri saat berdiri di depan cermin pagi tadi.
Laki – laki itu bukan siapa – siapa. Seseorang yang telah ia kenal sepertinya – enam bulan yang lalu baru pindah dari kantor cabang perusahaan di Kota lain. Perawakannya bagus, tinggi seperti pemain basket idolanya – mungkin beberapa dekade lalu. Tampan – untuk ukuran kota kecil ini. Dan tangan itu, selalu mengingatkannya pada tangan kekar Ayah yang siap melindunginya dalam dekapan. Tapi usia ? bukan, itu tidak menjadi masalah. Laki – laki itu memang pantas menjadi Ayah atau Om nya tapi bukankah Venice selalu merasa tertarik dengan mereka ? lihat saja tatapan Ayah selalu membuatnya berlutut. Pelukannya selalu membuatnya terlindung. Dan Laki – laki seusia Ayah itu ? apa salahnya jika dijadikan seorang kekasih. Bukankah tatapan mereka sama ? Toh tak seorangpun yang akan mempermasalahkan jika mereka keluar bersamaan. Mungkin saja mereka akan menyangka itu adalah Ayah atau Om nya. Dan Venice tak akan pernah keberatan jika ternyata dugaan mereka keliru besar. Ia adalah kekasihnya.
@@
Semalaman benar mata Venice tak bisa terpejam. Putaran roda mengelilinginya semakin keras, menimbulkan dengung yang tak mengenakkan jantung. Ia merasa tubuhnya gelisah. Deraian keringat dingin mengalir silih berganti dengan debaran halus dan meledak – ledak. Venice bersorak, takjub. Bibir itu kembali membayang, dengan garis kerasnya, selintang kumis diatas berselang – seling panjang pendek namun rapi, mengembangkan senyumnya yang menawan.
Siang itu, bibir itulah yang memagutnya lembut. Bibir itulah yang selama ini dikejarnya. Bukan dimana – mana, melainkan di lorong yang menghubungkan satu ruang dengan ruang yang lain. Lorong yang sempit dan gelap, yang seharusnya sangat jauh dari layak untuk memulai sebuah adegan kisah romantis. Lorong itu bahkan sangat menyeramkan – kalau saja Venice sendirian berada disana. Di lorong itu ada setan yang bersemayam. Tapi perlakuan itu bukan Setan yang menghendaki melainkan dia. Venice, bunga dahlia yang merindukan hujan.
Laki – laki itu keluar dari ruangan, karena sesuatu yang diperlukannya. Dan saat itu Venice tahu kapan dia harus keluar untuk sekedar mencari penjepit kertas, sebelum kertas – kertas kerjanya berhamburan tak karuan. Tapi bukankah menunggunya di sudut lorong ini lebih baik ? dan bukankah sangat jarang orang keluar ruangan pada jam – jam sibuk seperti ini ? Venice berpikir konyol.
Laki – laki itu datang dengan suara sepatu yang sudah teramat sangat dia hapal. Bunyi ketukannya saat menghantam lantai. Bahkan suara – suara itupun sudah membuatnya sangat haus dan .. rindu. Pertama, Venice menyapanya tapi laki – laki itu tak lagi memberinya waktu untuk mengarang kalimat. Dia merenggutnya begitu saja, menariknya begitu keras hingga Venice merasa ajalnya sudah demikian dekat. Laki – laki itu melepaskannya setelah nyawanya hampir melesat lepas. Venice berusaha menata pernapasannya yang porak poranda. Berderet – deret kembali menjadi untaian sonata.
Lalu setelah itu ? semua sudah terjawab. Dia selalu datang, sempurna dengan senyum dan kumis yang melintang. Laki – laki itu tak lagi asing, dia sudah menjadi bagian dari jiwa Venice. Selalu, memenuhi kerinduannya yang mengembara. Mengajarinya lebih dan lebih. Sama seperti Ayah, Laki – laki itu bagaikan telaga yang tak pernah kering, memberi apapun yang dia butuhkan. Ketukan sepatunya, dekapan kekarnya dan perlindungan seperti yang Ayah berikan. Sedang Venice, perempuan yang baru saja dewasa itu selalu meminta lebih dan lebih. Dan Telaga itu menjadi segalanya untuk sekuntum Dahlia.
Venice masih terus menatap pintu keluar. Beberapa orang datang dan kemudian pergi lagi. Orang – orang yang juga dikenalnya. Menganggukkan kepala jika kebetulan mereka sudah begitu akrab, selebihnya tak ada yang mengacuhkan kegelisahannya.
Venice terus berharap. Dia akan datang sebelum jam briefing dimulai. Menyapanya dan memujinya atau mungkin menawarkan kebaikan untuk mengantarnya keluar kota – minggu ini dia harus bertemu dengan beberapa costumer di Kota lain.
Venice berusaha mengalihkan kecemasannya dengan mengoreksi beberapa pekerjaan yang telah diselesaikannya semalam. Tapi tak ada lagi kesalahan. Venice mengeluarkan kikir kukunya, namun segera disingkirkannya jauh – jauh. Bukankah selama holidays kemarin, dia telah menghabiskan waktu untuk menicure ? kenapa pula dia harus merusaknya sendiri.
Atau dia harus mengacak kembali tatanan rambutnya sebelum merapikannya hingga membentuk untaian – untaian sempurna seperti yang dikatakan Bunda ? Ah tidak, bukankah dia lebih baik melihat Venice dalam keadaan seperti ini, penampilan terbaik yang telah disiapkannya ?
Venice bahkan sudah menyiapkan deretan kalimat yang akan diucapkannya nanti, ketika Laki – laki itu menemuinya. Meminta maaf ? mungkin – karena merasa bersalah karena hanya memberi Laki – laki itu separo dari jumlah yang diperlukannya. Venice merasa keterlaluan – dia pernah merasakan menjadi seorang mahasiswi yang kadangkala kiriman uang berkurang atau telat.
Tak seharusnya Venice merelakan kekasihnya akan kebingungan mencari uang demi anaknya yang sedang berjuang melalui ujian. Tapi tidak, dia tak usah meminta maaf, toh itu bukan urusannya. Dan bukankah separo dari uang yang dipintanya itupun hasil dari jerih payahnya menabung selama ini. Untuk itu, sudah seharusnya Laki – laki itu berterima kasih.
Tapi bukan, bukan itu persoalannya. Kembali perasaan Venice berdentam cemas. Mungkinkah Laki – laki itu sakit lagi ? setelah beberapa hari yang lalu dia mengeluh, tubuhnya terasa tidak sehat. Ah semoga saja tidak. Atau mungkinkah mobil tuanya ngadat lagi seperti ketika mereka memutuskan mengendarainya ke luar Kota waktu itu ? semoga juga tidak, bukankah ada banyak bengkel berdiri di jalan raya. Dan bukankah Laki – laki itu membuatnya terpesona karena kegigihannya yang tak pernah mau menyerah ? atau juga Istri Laki – laki itu – yang kelihatan galak memandangnya ketika mereka bertemu suatu waktu dulu. Ingin suaminya mengantar ke salonnya untuk berias dan memake up wajahnya yang hampir keriput. Atau jangan – jangan, semalam mereka telah bercinta hingga tenaga Laki – laki itu tak lagi tersisa untuk pergi ke Kantor.
Venice tersedak. Terkejut dengan keadaannya sendiri yang disadarinya teramat mengenaskan. Beginikah seharusnya ? mengerikan sentaknya kemudian. Venice menyisir rambutnya yang semula dijaganya. Menarik pangkalnya hingga terasa sakit dan pusing. Setelah itu dikibaskannya kuat – kuat. Ia ingin segera terbangun dari koma yang melandanya. Menghempaskan jauh – jauh bayangan itu dan berharap dugaan itu selama ini benar yang entah akan membuatnya lebih baik atau sakit.
@@
Matahari bersinar terik. Menancapkan punggung tajamnya di permukaan bumi. Sebuah mobil yang meskipun bukan keluaran terbaru akan tetapi masih tampak sangat terawat, membelah jalanan lengang menuju keluar Kota. Seorang Laki – laki separuh baya mengangguk – anggukkan kepala mengikuti irama blues dan berkata “ Aku perlu uang untuk membayar kuliah anakku. Kasihan dia, sudah hampir terlambat membayar.”
Seorang perempuan menjelang dewasa disampingnya mengernyitkan dahi, “Uang yang kemarin ?”
Laki – laki itu mengembangkan senyum terbaiknya, “Sudah kupakai untuk menukarkan mobil tua itu.”
Perempuan muda mencubit paha Laki – laki itu sambil merengek manja, “ Tak masalah, tapi kumohon setialah padaku.”
“ Tentu sayangku, tak mungkin aku meninggalkanmu. Percayalah.”
Pelan – pelan perempuan muda itu mengeluarkan beberapa helaian ratusan ribu dan jantung Venice berdetak semakin kencang. Laki – laki itu tak pernah datang.

Ambarawa, 2006-07-25

No comments: