Wednesday 19 March 2008

LAPAS 37

Beduk maghrib kembali bergema. Sekian hari dari sebulan puasa. Aku kembali mencoret dinding hijau berlumut dengan satu goresan kuku ibu jariku yang sengaja tak kupotong. Fungsional, apalagi dengan keterbatasan kondisiku sekarang, kuku panjang itu terkadang sangat membantu.
Treng…treng…sipir penjara memukul tongkatnya ke sela – sela jeruji besi. Mengusir kami – narapidana yang masih bermalas – malasan untuk bergegas mengambil jatah untuk berbuka, takjil sederhana, kolak talas, singkong atau kadang – kadang bubur ketan hitam. Tapi menu kali ini rupanya lain, lebih istimewa, es dawet cincau hitam bersantan dengan menu utama sepiring nasi, sepotong ayam dan semangkuk sayur bening.
Napi yang lain bersorak, makanan menjadi salah satu kebahagiaan tak terukur untuk mereka di balik tingginya tembok pembatas kebebasan. Walaupun semua sudah dibagi – bagi ternyata mereka tetap saja berjejal berebut untuk berada di urutan terdepan, sekedar antri atau lapar perut sudah tak tertahankan ?
Aku melangkah gontai, membawa mangkuk takjil dan piring berisi makananku ke meja panjang di pojok ruangan. Sudut yang gepal juga dingin, rembesan air hujan dari atap yang bocor membuat sudut ini paling dihindari oleh setiap penghuni LP.
“Kenapa ? sakit perut lagi ?” tanya Markamah menjajari langkahku, ikut melangkan ke arah bangku yang kutuju.
Aku menggeleng, “Nggak, males aja.” Jawabku pendek.
“Kenapa kamu disini ?” Tanyanya mengerling sekejap.
Aku mendesah lirih, “317, bukankah sudah berkali – kali aku mengatakannya.”
Markamah mengangkat bahu, “Sorri.. aku lupa.”
Perempuan itu selalu lupa, mungkin sebagai basa – basinya untuk mulai menceriterakan dirinya. Dia selalu senang dan bersemangat setiap kali berceritera tentang pribadinya, yang buatku tak terlalu istimewa. Ada banyak cerita sedih yang menguar disini dan semuanya sepertinya tak perlu untuk diungkap satu persatu. Terlalu menyakitkan dan pilu.
Markamah meletakkan piringnya dan duduk didepanku, “Lebaran ini seharusnya aku dapat remisi tapi Bu Siti bilang, kalau Agustus sudah dapat, sekarang tak bisa diusulkan lagi. Kalau saja aku dapat, satu setengah tahun lagi aku akan bebas.” Katanya mengeluh dengan mulut berjejal penuh makanan.
Aku menatapnya takjub, perempuan muda itu seperti tidak pernah bertemu makanan sebelumnya. Merasa diperhatikan Markamah menghentikan manannya dan memandang kearahku serta piring didepanku bergantian, mengusap mulut, menelan makanannya dengan susah payah dan berucap, “Ayo.” Tawarnya. “Aku lapar, apa kamu tidak. Enak banget kok. Cobain.” Mmarkamah mengangsurkan sejumput nasi dan lauknya ke arahku, aku menyetopnya dengan tanganku lalu menggeleng, “Aku belum lapar.”
Dia menatapku dengan masih tetap mengunyah, “Oh ya, sampai mana tadi ?”
“Ya. Aku bebas lebaran nanti.” Kataku pelan.
Mata Markamah berbinar – binar, “ Wah. Selamat.” Markamah mengulurkan tangannya tapi urung ketika dilihatnya jemari itu penuh dengan remah – remah makanan berbukanya.
“Sorry, sorry tapi..hei..” Markamah mengusap telapak tangan ke bajunya dan bangkit berdiri hendak memanggil napi - napi yang lain. Aku ikut berdiri untuk menahannya.
“Ssstt… jangan.”
Markamah urung memanggil yang lain. “Sudah – sudah, nggak ada apa – apa kok.” Katanya kemudian ketika sebagian napi sudah menengok kearah kami. Baginya mungkin pemberitahuanku adalah sesuatu yang menggembirakan, layak untuk diumumkan dan dirayakan oleh semua penghuni blok panjang ini, sekalipun menurutku tidak.
“Kenapa ? bukankah itu kabar gembira ?” tanyanya ketika kami kembali bersama saat shalat tarawih.
“Kenapa ? bukankah itu kabar gembira ? sebentar kamu akan bebas, kamu bisa tidur di tempat tidurmu yang bebas dari apek dan anyir darah kepinding, kamu bisa makan semua makanan yang bisa masuk ke dalam perutmu, kamu bisa tertawa lepas……….”
“Aku tak ingin mereka mengerjaiku.” Jawabku lirih. Sengaja kutunjuk deretan Napi yang berada di shaf terdepan. Ya, waktu yang sedikit seringkali membuat mereka untuk melakukan kekacauan dan keisengan sebagai tanda perpisahan dan Markamah cukup yakin pada kata – kataku.

Bapak melemparkan uang itu hingga berhamburan di lantai. Wajahnya mengelam penuh amarah. Andri menatap angkara Bapak tanpa berdaya, tubuhnya yang ringkih menggelosoh begitu saja dilantai, kakakku itu sedang sakaw karena heroin telat dihisapnya.
“Argh….” Bapak berteriak histeris. Kedua tangannya menjambak – jambak rapuk pendeknya. Tubuhnya terguncang – guncang menahan angkara dan baru berhenti di sudut meja. Bapak menatapku, “Bapak sekolahkan kamu bukan untuk jadi wanita sundal, pelacur atau bajingan perempuan Rin.” Kata Bapak geram, sorot matanya berubah mengerikan dalam tatapanku.
“Aku tak pernah melacur Pak. Aku menikah dengannya !” Jawabku tak kalah gusar. Ya, aku menikahi seseorang tanpa restu hanya karena dia berbeda agama dan telah berumah tangga selain dengannku. Aku bisa menerima ketidak restuan Bapak, tapi menolak uang yang kuberikan dengan maksud agar Bapak mampu keluar dari seribu masalahnya adalah tidak bisa kuterima.
“Uang ini uang haram Rin.”
“Ya, menurut Bapak, tapi aku tak pernah mencurinya. Uang itu nafkahnya untukku.”
“Sama saja !” bentak Bapak semakin keras.
“Apanya yang sama ?”
“Kau pikir kau berbeda dengan mereka, pelacur itu ? Tidak ! kau sama bahkan kamu lebih biadab.”
“Bapak !”
“Aku Bapakmu, kamu jangan sekali – kali membantahku. Kau jual tubuhmu pada laki – laki itu. Menggadaikannya, mengambil harta dan uangnya. Apa itu bukan melacur ?”
Aku menggeleng, tapi sebagian hatiku mengiyakan kata – kata Bapak. Bapak mengamati perubahan wajahku dan melunak.
“Apa hah……….. apa yang tidak ? Rupanya Bapak kembali mengartikan gelenganku dengan kata tidak.
“Aku sudah menikah dengannya Pak.”
Bapak mengusap wajahnya yang kembali menggelam. Menghela nafas lalu berkata lirih.
“Pernikahanmu tak pernah ada, yang kau lakukan adalah zina. Sekali lagi zina !” Bapak menerakkan kata terakhir tepat di liang telingaku. “Bawa kembali uangmu.” Lanjutnya lirih.
“Tapi Pak, Bapak perlu uang itu untuk menebus kembali rumah kita, membawa Ibu ke rumah sakit juga membawa Andri untuk terapi.”
Kalimatku seperti menyulut ranting kering, wajah Bapak kembali mengeras, “Ya Bapak memang butuh uang untuk itu semua tapi bukan uang haram dari kamu.”
Lemparan uang mengantarku keluar rumah dengan pilu.

-- ## --

Kutinggalkan rumah pemberian suamiku dengan gontai. Tak ada barang yang kubawa serta, hanya beberapa potong pakaian seperti saat aku datang. Tak ada kata pamit atau ciuman perpisahan. Aku hanya menitipkan secarik kertas pada Bi Onah, penjaga rumah yang beisi permintaan maaf dan permohonan untuk tidak pernah mencariku lagi.
Suamiku orang yang baik hati dan pengertian, sekalipun cinta dan sayangnya kadang kuragukan. Kenapa ? tentu saja karena dia selalu menuruti kemauanku, menghujaniku dengan materi tapi dengan kekayaannya dia bisa membeli semua perempuan yang dia kehendaki, tanpa harus perlu merasa cinta dan sayang.
Terngiang ditelingaku kata – kata Bapak, “Aku menyekolahkanmu bukan untuk jadi pelacur.” Berganti dengan igauan sakaw Andri dan rintihan nyeri Ibu melawan kanker serviksnya yang mengganas.
Aku terseok menyusuri jalanan berdebu. Aku tak mungkin memaksa Bapak untuk menerima pernikahanku, uang itu atau keberadaan suamiku. Atau mungkin melarikan Andri dan Ibu diam – diam ke dokter spesialis tanpa sepengetahuan Bapak. Aku terlalu takut dengan kenyataan aku adalah anak pembangkang yang tidak patuh terhadap kata – kata seorang Bapak.
Sekian puluh Kantor dan Pabrik kudatangi hasilnya tetap saja nihil. Lulusan sarjana tapi nol pengalaman… mereka tak berminat sama sekali.
Pencarian kerjaku akhirnya berhenti pada sebuah kafe, tak ada lowongan apapun disana kecuali lowongan untuk waiters shift malam. Aku tak perlu berpikir ulang, seribu anggukanku mengiyakanku menerima tawaran itu.

##

Kuakui laki – laki itu menarik, sopan dan berwibawa. Tutur katanya yang lembut dan tak memandang sebelah mata, siapa aku. Semenjak aku mulai bekerja laki – laki itu telah menjadi pelanggan kafe itu. Berdiam disudut, menunggu vodka atau martini pesanannyadatang, mengetik sesuatu di ponselnya, menghisap dalam – dalam rokok filternya, nemikmati ruap asap yang keluar dari mulutnya, mengembarakan angan.
Hari itu dia memintaku menemaninya, dia langsung meminta ijin pada manager café yang tak akan pernah bisa menolak permintaannya sebab laki – laki itu pelanggang lama dan tetap café kami. Dan aku, tentu saja merasa senang, setidaknya tubuhku akan beristirahat sejenak dan sedikit terbebas.
Kami mengobrol sangat panjang, tentang pekerjaannya tentang kehidupan pribadinya, terkadang dia tertawa terkekeh – kekeh ketika dia menceriterakan kenakalan anak – anaknya yang menginjak remaja dan menyamakannya dengan tingkah lakunya yang buruk dimasa lalu. Terkadang dia sedikit melamun ketika pembicaraan berubah haluan pada diri istrinya yang menurutnya ill fill dan sedikit menderita gangguan jiwa.
“Aku mencintainya, tapi ketakutannya membuatku merasa taku,” katany, lalu hening. Dipukulkannya batang rokok ke asbak, segera abu rokok berguguran, dia menghelanya sekali lalu melanjutkan, “Dia selalu takut kehilangan aku.”
Aku tak menjawab, aku hanyalah manekin yang diperlukan untuk mendengar dan bukannya memberi komentar sekalipun aku mencoba berulang kali memahami pikiran laki – laki itu ataupun pikiran istrinya dan aku hanya bisa menebak – nebak tanpa bisa memastikan jawabannya.
Laki – laki itu memaksaku untuk mengantarkan pulang, berulang kali dia menawarkan dan berulang kali pula aku menolaknya hingga dia putus asa dan meminta managerku untuk memintaku agar bersedia
Aku baru hendak melangkahkan kakiku dan laki – laki itu sedang memutup pintu mobilnya ketika kudengar teriakan histeris seorang wanita.
“Perempuan sundal, pelacur, perebut suami orang… Jahanam.” Seorang perempuan gemuk telah berdiri di belakangku, aku menoleh tapi secepat kilat tamparan perempuan itu telah mendarat di wajahku.
Aku meradang, teringat olehku kata – kata Bapak, penolakannya terhadapku, bukankah sejak kuputuskan untuk pergi dari rumah suamiku tak akan ada lagi sebutan itu padaku.
Sontak, kuraih kepala wanita itu dan membenturkannya ke bodi mobil. Cukup sekali dan kepala wanita itupun terkulai berdarah tapi aku puas, sekalipun kemudian kudengar laki – laki itu menelpon 119 dan disusul oleh raungan sirene ambulance.

Ambarawa, 2007
Untuk : Hajar Wahyudi and partner.

No comments: