Thursday 27 March 2008

dEaR mR. MoSqUIto

Ya ampun, ini malam ketiga aku tinggal di petak kost ini dan itu artinya selama dua malam pula aku sama sekali tidak bisa tidur. Untunglah, aku sedang libur panjang karena sengaja mengambil cuti untuk pindah rumah. Kalau tidak, entah bagaimana harus ku pertanggung jawabkan rasa kantukku di depan teman – teman dan atasan.
Sekarang, aku harus bisa tidur nyenyak, habiskan sepanjang malam nati dengan episode – episode mimpi indah, bukannya nightmare lagi dan besok, hari senin akan menjadi hari pertama yang menyenangkan, penuh semangat dan tentu saja masuk kerja minus kantuk.
Jam tujuh kurang, selepas ku tunaikan ibadah, aku bergegas ke warung pojok komplek. Kubeli sekaligus tiga sachet anti nyamuk lotion merek ternama, aroma jeruk rasanya boleh juga, wangi dan manis… hm smoga nyamuk menjadi jauh.
Dengan penuh rasa confidence, aku bergegas pulang, shalat isya dan bersiap – siap untuk tidur. Masih terlalu sore memang tapi tinggal di komplek kost yang hanya seorang diri tanpa tape dan televisi mau apa lagi ? terlebih aku baru saja berada disini sementara tetangga kanan kiriku semuanya ibu – ibu. Mana bisa aku bergaul begitu saja, sok tahu, sok kenal, sok akrab.
Kuperhatikan lagi daftar urut trik – trik untuk menghadapi nyamuk itu, menurutku sebenarnya nyamuknya tapi teman – teman dikoloni mereka jumlahnya ribuan bahkan jutaan, entah berapa lipat dari populasi manusia Jakarta.
Aku mulai pasang trik pertama, memakai baju training panjang full neck dan super tebal, lalu segera rebah ditempat tidur, memanjatkan do’a dan bergegas memejamkan mata.
Tapi ugh, sinar bohlam yang terlalu terang menyilaukan mataku. Hmm… padahal nyala bohlan yang terang juga merupakan bagian dari deretan trik – trik yang harus kupakai. Aku bahkan mendapatkan mendapatkan trik ini dari Roni ketika aku keluhkan perilaku buruk nyamuk yang ikut tinggal dirumah kontrakanku.
“Kamu sih tidur pake acara gelap – gelapan. Nyamuk paling suka gelap. Coba deh lampu tetap kamu nyalakan kalau perlu ganti dengan yang terang.. 100 watt kek jangan cuma yang kerlap – kerlip doang.” Bujang lampung itu memberiku petuah panjang, mengingatkanku pada Ompungku di Kampung. Bibirnya yang hitam banyak bicara.
Alhasil saran Roni kuturuti juga dan jadilah saran itu termasuk dalam daftar trik yang harus kupakai untuk melawan nyamuk.
Dasar aku tak terbiasa tidur dengan nyala lampu yang terang benderang, mata ini tak juga mau terpejam, malah kebalikannya nyalang menatap langit – langit. Serba salah kuraih bantal dan kututup wajahku rapat. Aku menggerutu, sia – sia jika gangguan nyamuk hilang tapi aku tetap tak bisa tidur gara – gara nyala lampu. Akhirnya setelah melewati pergulatan hati yang panjang. Aku mematikan lampu. Get n ready to sleep, kataku lega.
Belum seberapa lama impian membawaku terbang, aku kembali terbangun. Ya ampun panas… apa mungkin kipas ngadat ? ah nggak juga…baling – baling kipas bergerak perlahan hingga angin yang dihasilkannyapun hanya sepoi lunglai.. oo..ternyata baju trainning lengan panjang inilah penyebabnya.
Aku menepuk jidatku sendiri, jika harus kubuka baju ini dengan apa harus kubentengi tubuhku dari serbuan nyamuk – nyamuk itu. Bakalan ngiler berat mereka melihat tubuhku yang setengah telanjang, sebab jika kupaksakan juga untuk memakai baju ini pasti aku akan menderita dehidrasi akibat kebanyakan keringat yang membanjir.
Hmm.. aku ingat nasehat Rini, “ Pasang aja kipas anginmu di tombol high speed, di jamin nyamuk bakalan kabur. Ga usah pake lotion juga kagak masalah.”
Benar juga seruku menjentikkan jari. Cepat – cepat kubuka pakaian musim dingin itu, menyisakan underware yang masih melekat dibadanku tanpa pelapis yang lain. Kunyalakan kipas angin dengan tombol high speed. Serbuan angin menyapu wajahku, syukurlah angin kecepatan tinggi itu akan mendinginkan tubuhku sekaligus mengusir nyamuk jauh, harapku dalam hati.
Niatku melanjutkan mimpi yang terpotong terhenti ketika tiba – tiba baling – baling kipas terpental menjebol kerangka besi yang mengurungnya, bergegas ku nyalakan lampu, mesin kipas itu berasap dan segera tercium aroma terbakar. Uff…pantes aja kipas itu itu kan sudah nenek – nenek banget. Maksudku, turun temurun dan udah dipakai selama puluhan tahun. Aku coba mengutak – atik mesinya tapi hasilnya tetap saja nihil.
Lalu bagaimana dengan nyamuk – nyamuk itu, gusar aku keluar kamar. Sebuah sapaan halus terdengar ditelingaku, “kenapa Na ? Insomnia ?” senyum lebar Mbak Yuni menatapku.
Aku menggeleng lemah dan mengadu, “ Bukan Mbak.. Nyamuk.”
“Oh sebentar.” Perempuan tigapuluh tahunan itu masuk kedalam kamarnya dan kembali dengan membawa sebuah semprotan obat nyamuk.
“Nih, coba gih, sekali semprot pasti pasti mati.” Angsur Mbak Yuni seperti iklan nyamuk saja tapi boleh juga sih.
Aku bergegas menutup pintu, jendela dan semua ventilasi lalu menyemprotkan obat pembasmi ke segenap penjuru kamarku penuh semangat empat lima. “Hiih.. mampus loe.” Desisku geram. Setelah yakin dan kurasa cukup aku kembali kekamar Mbak Yuni dan menunggu untuk sementara waktu seperti petunjuk pemakaian yang tertera pada label itu.
Hampir saja aku terlelap ketika sebuah dengungan mengusikku begitu berisik dan baru berhenti tapat diujung hidungku. Sial, kutajamkan penglihatanku. Ini dia, Mr Mosquito – karena tubuhnya yang kukenali paling besar dan kupikir dialah mahluk yang paling pantas menyandang gelar pemimpin di koloninya, berdiri seolah menantangku. Kedua kaki belakangnya terangkat seakan sedang berkacak pinggang. Tubuhnya ditopang oleh dua pasang kaki yang lain. Ekornya terus bergerak – gerak dan bersiap menancapkan belalai penghisap darahnya yang runcing. Kaki yang lain meraba – raba seolah – olah menandai batas wilayah tubuhku yang menjadi kekuasaannya. Reflek kuarahkan tangan kananku dan menerjangnya dengan sekuat tenaga. Plakk… auww… hidungku berdenyut – denyut nyeri, tak ada bangkai Mr. Mosquito dan juga jejaknya. Nyamuk bedebah itu menghilang entah kemana tinggal aku yang menyesali penganiayaan pada diri sendiri.
Oh my GOD. Ternyata mereka telah mempunyai anti bodi terhadap aerosol. Setengah marah kuoleskan tiga sachet sekaligus lotion nyamuk di sekujur tubuhku, tak ketinggalan juga daerah pipi, hidung dan telinga.
Akupun bersiap untuk kembali tidur, tapi astaga barisan nyamuk telah bersiap tempur menghadapiku. Tiga nyamuk paling besar dan kelihatan kejam terlihat bermanuver unjuk kebolehan di barisan yang paling depan, di belakangnya sepuluh, empat puluh bahkan ribuan nyamuk sedang menunggu aba – aba sang pemimpin untuk menyerbu tapi dimana Mr. Mosquito, sang pemimpin itu ?
Mataku liar mencari dan tiba – tiba indra perasaku mengirimkan sinyal sebuah benda asing tengah bernavigasi di bagian tubuhku. Paha !
Benar, mahluk yang kusebut Mr. Mosquito itu tengah meraba – raba urat nadiku dengan belali detektornya. Sedetik kemudian belalai itu telah mengebor pembuluh darahku dan menghisapnya, memindahkan sel – sel hemoglobin ++ ke perutnya dengan rakus.
Aku hampir menjerit histeris kalau saja tidak kulihat gerombolan nyamuk pengacau itu terlihat sedang mengancamku bengis.
Kupikir mungkin mereka akan menyerbu setelah Mr. Mosquito selesai menuntaskan nafsu dahaganya, setelah itu barulah mereka akan menghabisiku hidup – hidup menyedot habis habis darah hingga tak bersisa. Mulai otakku berputar mencoba menghitung berapa banyak darahku yang akan hilang untuk menyuplai kebutuhan pasukan itu. Tapi tetap saja otakku terasa tumpul dan bebal, lagipula dibatinku malah membayang sedotan nyamuk itu membawa dampak ikutan lain, bercak merah di kulit, gatal – gatal, anemia atau bahkan demam berdarah dan malaria.
Kutarik nafas panjang, inilah saatnya aku beraksi, aku tak boleh menyerah begitu saja, pikirku. Sekuat tenaga kuayunkan telapak tanganku, matakupun ngotot menyaksikan detik – detik terakhir ajal raja nyamuk itu.
Plak, Mr. Mosquito terang, mengejek. Kali ini dia hinggap di lenganku yang tak terjaga. Kembali aku beraksi, plak… kembali pula usahaku meleset lagi. Mr. Mosquito terbang terus dan baru berhenti di depan anak buahnya dan Pritt…. Mr Mosquito memberi aba – aba pada pasukannya untuk menyerbuku.
Nanar aku menatap pasukan itu, jujur saja sengat berupa belali kecil itu tampak mengerikan dimataku. Spontan kuangkat busa alas tidurku dan berlindung dibawahnya. Diantara kisi – kisi sprei kulihat ribuan pasukan berbaris setia menunggu kemunculanku. Aku yakin setiap bagian tubuhku keluar dari area persembunyian mereka pasti akan segera melahapnya habis.
Tak rela, sungguh aku tak rela memenuhi kantung – kantung perut mahluk mengerikan itu dengan darah segarku, darah yang masih suci dan belum tercemar uang hasil korupsi – sebab aku hanya seorang staf kecil, kuambil sebuah pencil dan selembar kertas dengan sangat hati – hati dan menghindari kontak mata dengan musuh dihadapanku dan segera menulis ; “Dear Mr. Mosquito, aku tahu seharusnya kalian menghisap darahku seperti yang telah digariskanNya, tetapi ketahuilah darah yang aku punya bukan berasal dari asupan makanan tak halal dan minuman hasil korupsi, untuk itu aku pikir kalian tak boleh menghisapnya setetespun. Aku minta berikanlah waktu sampai besok pagi aku, aku berjanji akan segera pergi dan semoga penghuni setelahku adalah seorang koruptor yang darahnya boleh kalian hisap sesuka hati sampai mati. Terima kasih.
Mr. Mosquito tampak mengangguk – anggukan kepalanya yang mungil. Melambaikan tangan dan bergerak menjauh diikuti oleh barisan nyamuk yang lain. Hah….Aku bernafas lega dan tersenyum lebar, sampai esok pagi.

Jakarta, Juni 07

No comments: