Wednesday 19 March 2008

"Fiuh"


Langit Banyubiru itu masih tetap biru. Awan – awan kapas menggantung berserak. Kubuang jauh pandangan ke kaki bukit. Dari kejauhan Gunung Merbabu dan Kota Solo tampak begitu indah.
Kulirik laki – laki yang mematung disebelahku, aku masih bisa mendengar nafasnya yang mendesah lirih di telingaku. Aku juga masih bisa melihat ekor matanya terpaku menatapku sekian detik sebelum membuangnya jauh, sekalipun aku tidak menatapnya.
Mungkin sebentar lagi dia akan meraih anak rambut yang jatuh di dahiku dan bergerak dipermainkan angin. Tapi tidak, dia memilih tidak berbuat itu melainkan berkata, “Aku yang salah.”
Aku tak menjawab. Jujur saja aku tak tahu apa yang harus kuucapkan sebagai jawaban. Mengiyakan ? rasa – rasanya aku tak pantas, sebab aku tahu semua itu bukan karena keinginan dia semata. Atau membantahnya ? sama juga, sepertinya dia terlalu bersalah untuk dibela. Toh, semua mizan itu keputusan ada ditangannya. Wajarlah jika sebagian perasaanku mengatakan kalau dia pantas menerimanya.
“Tolong berikan pendapatmu, jangan kau diam saja. Apa aku salah jika aku selalu membandingkannya denganmu ? “ Dia meraih tanganku, mengguncangnya, meremasnya pelan lalu menangkupkannya di pahanya. Diam, hening hanya kesiur angin menyisik pinus kering.
“Tidak.” Aku membatin tetap bisu sebagai jawaban. Kau berhak membandingkanku dengan siapapun kamu mau, begitu juga aku, aku akan selalu membandingkanmu dengan siapapun. Setiap lelaki yang datang atau sekedar menatapku dari kejauhan. Aku akan selalu membandingkannya denganmu. Sama merahkah, sama sucikah, sama tuluskah dan semua tak pernah ada yang sama, selalu saja berbeda dengan satu hati yang pernah kumiliki.
“Arini, kelak kalau kuceraikan dia apa kamu masih mau menerimaku ?”
Aku tersentak, Demi Tuhan, aku kembali bukan untuk itu. Sekedar menengok masa lalu bukan berarti aku ingin kembali menapakinya.
Kutatap wajahnya lekat – lekat. Wajah yang sama dengan wajah tercinta yang telah tercetak membatu di jiwaku. Tergantung abadi hingga menggelayuti hingga meragu untuk melangkah. Wajah yang telah menyakitiku dengan penghianatan sekaligus membenamkanku dengan romantisme mendalam.
Aku menggeleng lemah. “Kesempatan buatku sudah lama berlalu Di.”
Adi menyentak genggaman tangannya, “Enggak, ini adalah kesempatan kamu Rin.”
Lagi – lagi aku menggeleng kali ini lebih kuat, “Kesempatan itu tidak pernah datang dua kali Di dan aku telah melewatkannya dulu.”
Adi membuang nafas pelan. dia tidak akan pernah menyangka aku akan mengatakannya. Ditelannya ludah pahit, Aku tahu benar rasanya, bertahun – tahun yang lalu akupun pernah menelan ludah yang sama.
##
Danar tertawa kecil. “Akulah yang salah Rin, seharusnya aku malu terhadapmu.” Katanya kelu.
Aku tahu, tak mudah untuknya berhadapan denganku. Bertahun yang lalu, kami pernah dekat,. Lebih dekat dari kembar identik dimanapun di dunia ini. Tidur bareng, makan bareng bahkan pakaian dan peralatan mandipun kami selalu memakainya bersama.
Aku telah dianggap anak kandung oleh Papa Mamanya di Malang dan Danarpun telah dianggap Ibu dan Ayahku sebagai bagian dari keluarga kecil kami. Akhir pekan kami selalu mempunyai jadwal bersama, pulang ke Malang atau ke Solo tempat tinggalku.
Dan setelah peristiwa itu, aku tahu sulit buatku untuk menerima mereka berdua, begitupun halnya dengan mereka, perlu waktu yang cukup lama untuk bisa kembali mengganggapku sebagai seorang teman.
“Lihat, kamu perlu bicara. Kamu butuh teman Nar. Jangan simpan semuanya seorang diri. Kamu tak akan pernah sanggup.” Kataku setelah berhasil membawanya pergi dari tempat kerjanya, mengajar di sebuah Play group.
Danar mengaduk juice alpukatnya tanpa berkata. Putaran juice itu mengingatkanku pada tahun lalu ketika kami masih sama – sama duduk di bangku kuliah, selalu saja dia memesannya dan seperti biasa aku selalu mengingatkannya untuk tidak menuruti hobby nya. Tubuhnya terlalu rawan untuk bertambah berat badan setiap kali dia menyantap makanan berlemak.
“Nar, apa ini ?” kuraih dagu Danar dan mengangkatnya. Mata Danar terpejam erat, sebuah luka lebam menghitam menghiasi pelupuk matanya, sekilas tidak terlihat tertutup sapuan eye shadow berwarna ungu. Tapi sekarang, dengan posisiku dan cahaya terang yang menimpa wajahnya aku tahu benar itu bukan efek eye shadow melainkan luka yang tak biasa.
Danar mengalihkan wajah, tetap membisu. Aku menyeruput juice jeruk sekali dan kembali melihat ke arahnya. Kami beradu pandang, kali ini Danar tak lagi mengalihkan tatapannya. Wajahnya yang kian ayu dan dewasa tapi tampak kuyu dan layu. Dibandingkan denganku, sekarang Danar tampak lebih matang. Pekerjaannya bagus, mempunyai rumah tangga dengan suami dan dua orang anaknya. Bukan hal yang berlebih jika aku terkadang merasa iri terhadapnya. Bukankah wanita di usiaku yang kepala tiga sebuah fokus rumah tangga telah menjadi impian natural ?
“Adi sudah berubah Rin.” Katanya lirih. Bulir pertama airmata tergulir dipipi ranumnya disusul bulir – bulir yang segera luruh. Aku bangkit dan duduk disampingnya, membelai bahunya yang kekar namun rapuh. Kubiarkan kepala Danar bersandar di pundakku.
“Sudah lama aku menahan ini semua Rin. Tak lama setelah kami menikah dan kamu pergi, aku mencoba bertahan dan selalu berharap kehadiran anak akan membuatnya berubah, tapi tidak Adi sudah berubah menjadi monster yang selalu menakutkan untukku.” Danar tergugu di bahuku. Resah gundah gulana kurasakan menyesak dada.
“Kau tahu kan Rin ? Aku tak bisa selamanya bertahan.” Katanya kemudian.
Aku mengangguk mengiyakan, “Sabar.” Kataku pelan.
Padahal sebenarnya aku ingin berteriak dan tertawa, inilah balasan yang kutunggu – tunggu atas penghianatan kalian. Penghianatan atas cinta dan persahabatan. Seharusnya tak kubiarkan kalian menangis di hadapanku dan melihatku menatap penuh iba. Tak pantas rasanya iba itu tercipta untuk manusia – manusia yang kusayangi dan selalu menjadi asa hidupku.
##
Aku baru saja mulai berbenah. Akhirnya kuliahku usai sudah, setidaknya pikiran Ayah dan Ibuku tak lagi bertumpu padaku. Impian mereka melihatku mengenakan toga dan bergelar sarjana kutuai sudah dengan wisudaku. Inilah puncak kebahagiaanku, persembahanku untuk orang tuaku tercinta.
Semalam setelah prosesi wisuda selesai, Ayah dan Ibu langsung pulang ke Solo. Sedang aku masih mengulur waktu untuk kembali pulang ke kos – kosan. Sesuai rencana yang jauh – jauh hari sudah kami susun, Aku dan Danar masih ingin menghabiskan waktu di Kota ini untuk terakhir kali. Dan benar, sepanjang malam kami langsung bergegas, memuaskan hati menikmati malam terakhir di Semarang, dan pagi tadi Danar pamit pergi entah kemana. Masih terlalu berat mataku untuk menatap kepergiannya dan bertanya hendak kemana.
Kuraih foto – foto kami berdua, selalu ada Danar dimana ada aku begitu sebaliknya. Sebuah foto besar dengan latar belakang air terjun semirang, diambil empat bulan yang lalu. Terdengar sapaan halus dari arah pintu kamar.
“Rin, sudah selesai berkemasnya ?” Danar menyapaku.
“Hampir selesai. Kamu ? kenapa tidak berkemas ?” tanyaku heran, menatapku yang hanya termangu di pintu.
“Rin.” Panggilnya pelan.
“Iya.” Tumben, aku merasa janggal. Akh, mungkin perasaan Danar tengah terusik oleh perpisahan kami.
“Sudahlah, kita kan masih bisa bertemu esok hari. Kamu bisa kapan saja telepon atau datang ke rumah. Orang tuaku nggak akan pernah keberatan.” Kataku menenangkan.
Wajah Danar tampak gundah.
“Ada apa ?” tanyaku kemudian menghentikan pekerjaanku mengepak barang – barang.
“Emm.. ada Adi di depan.” Jawab Danar resah.
Aku tersenyum, “Oh, kenapa nggak langsung masuk ?”
Semalam Adi memang berjanji untuk datang tapi kupikir tak akan secepat ini. Dan seperti biasanya Adi selalu langsung mencariku ke kamar. Empat tahun sudah kami lalui bersama sebagai sepasang kekasih. Nyaris tak ada yang kami sembunyikan satu sama lain. Bahkan orang tua kamipun sama – sama sudah setuju.
Aku bergegas keluar kamar diikuti oleh Danar. Kulihat Adi sedang duduk termangu di pinggir kolam teras samping.
“Di.”
Adi menengok ke arahku. Tak ada senyum seperti biasa, bahkan kulihat kecanggungan tergambar jelas di wajahnya. Adi bangkit tak bergairah, kulihat Danarpun seperti halnya. Dia terlihat kaku dan mereka menatapku seolah aku bukan siapa – siapa bagi mereka melainkan orang asing yang mengganggu keberadaan mereka.
Kutatap mereka bergantian. “Ada apa ?” tanyaku penuh kebingungan.
Langkah Adi berhenti tepat di depanku. Danar menjajari langkahnya. Mereka saling berpegangan tangan. Aku tersentak, seribu satu pertanyaan lengkap dengan kemungkinan jawaban berpendar di otakku. Apakah, mungkinkah, benarkah…
Kalau saja aku bisa aku ingin otakku meledak dan jiwaku lepas dari raga ketika kudengar Adi lirih berkata, “Maafkan kami Rin, tapi kami tak bisa menghindari perasaan itu. Ternyata kami saling mencintai.”
Mencintai ? lalu bagaimana dengan aku ? Apakah perjalanan cintaku bukan cinta ? tiba – tiba aku dihempaskan pada sebuah ketololan yang teramat sangat, apalagi ketika Danar ikut berbicara, “Sebulan lagi kita akan menikah, kami harap kamu bersedia datang dan memberi restu Rin.”
Datang ? Restu ? tidakkah kalian rasakan kepedihan dan kepahitan ini. Bahkan tulang belikat ini pun sepertinya tak lagi mampu menopang tubuhku.
Aku hanya bisa menggeleng, merutuk dan kemudian berlari kedalam kamar, menumpahkan kegalauan serta ketidak mampuanku menerima kenyataan.
##
“Terima kasih Rin, dia memang pantas menerimanya.” Kata Danar seusai kami melaporkan seluruh kekerasan yang menimpanya. Kulihat kelegaan sekaligus kegalauan baru melingkupi hatinya. Kuraih tangannya dan berkata, “Sudahlah, paling tidak ini akan menjadi pelajaran untuknya agar tidak mudah mempermainkan perasaan perempuan.”
Danar menatapku, “Rin, kamu ternyata sahabat sejatiku. Maukah kamu selamanya menjadi sahabat sejatiku ?”
Aku tak menjawab hanya tersenyum sekilas. Aku tidak tahu, hanya berusaha untuk menepis keinginanku untuk tersenyum dalam hati.
Sumowono, 7 Nopember 2007
Untuk : Ad & Danar
Met bahagia ajai

No comments: