Monday 25 June 2007

Kota Kecil, 28 Pebuari 1986 : 14.00 WIB

Laki – laki separuh baya itu memondong seorang gadis kecil dengan tergesa – gesa menapaki koridor rumah sakit. Kepanikan menyelimuti wajahnya kelam. Berat tubuh gadis kecil itu tak lagi terasa membebani pundaknya, menggayuti langkahnya. Semuanya terasa ringan dan rekas. Yang paling berharga baginya di dunia ini sedang bertarung melawan maut. Gadis kecil itu sejak semalam demam tak surut – surut, wajahnya memucat kuning kehijau – hijauan. Nafasnya sesak dan tersengal – sengal. Beberapa tetangga bahkan sudah meramalkan nyawa gadis itu sudah berada di ubun – ubunnya yang tak beraturan – Dia lahir karena dibetot paksa, Bidan menarik paksa kepalanya hingga kepalanya tak lagi bulat kepala sempurna.

Harapannya tak sia – sia, gadis itu sungguh lahir dengan sempurna persis seperti yang dinginkannya, jam lahir gadis kecilnya tepat seperti kemauannya, hari lahir yang diinginkannya adalah hari terbaik untuk calon putri kecilnya dan ternyata Tuhan mengabulkannya. Dengan penuh semangat laki – laki itu bahkan sudah merencanakan akan mengajak gadis kecil dan keluarga kecilnya pesiar ke suatu tempat yang selama ini hanya berupa angan – angan.

“Mungkinkah anak ini selalu sakit karena mengingatkannya untuk segera memenuhi nadzarnya ?” Pikirannya sibuk bertanya dan menebak – nebak.

Laki – laki itu tak menjawab ketika seorang Perawat menghampirinya menawarkan bantuan untuk memakai kursi roda atau bed jalan. Semua tak lagi menarik perhatiannya, tujuannya hanya satu, ruang ICU di ujung koridor yang sudah dikenalnya. Dia terus memacu langkahnya sudah sejak gadis ini masih berupa tanda, laki – laki itu sudah mempunyai seribu rencana yang disusunnya. Kelak dia akan menyekolahkannya hingga dia tak mampu lagi bekerja dan membiayainya, Dia akan merawatnya dan tak akan dilewatkannya detik dengan kelalaian yang berakibat fatal jika dia tidak menjaganya. Gadis itu batu pualamnya, berharga sangat – sangat berharga melebihi nilai batang lehernya sendiri ataupun nyawanya.

Jantungnya berdetak cepat berlomba dengan detak jantung gadis kecil yang dipondongnya. Bahkan detak jantungnya dua kali lebih cepat dari jantung kecil itu. Sepanjang langkahnya, Laki – laki itu selalu meruntuk panjang pendek, seandainya saja sepeda motornya tidak menabrak tukang becak yang kemudian terpaksa disewanya dan jika saja tukang becak itu lebih mengerti peta Rumah Sakit itu. Laki – laki itu kembali mengeluh, Tukang becak itu benar – benar bodoh dan tolol. Dia menurunkan mereka tepat di depan pintu belakang Rumah Sakit, sedangkan Ruang ICU seharusnya terletak tepat di muka Rumah Sakit. Tapi bukan salah tukang becak itu, seandainya saja dia memperhatikan jalan atau perhatiannya tak sepenuhnya tersita untuk tubuh ringkih dipangkuannya. Laki – laki separuh baya itu mendengus kesal.

“Pak Budi ? Ada apa lagi ?” Seorang Perawat ICU segera mengenali sosoknya. Laki – laki yang dipanggil Pak Budi itu tak menjawab. Dia langsung menuju ke arah bed pasien dan meletakkan gadis kecilnya tergesa.

“Tolong Pak, selamatkan dia, mana Dokter Hardjo ?” Tanya Pak Budi panik. Nada bicaranya yang keras membuat beberapa perawat yang ada di Ruang ICU mendekatinya.

“Sebentar Dokter Hardjo sedang visite. Tolong tunggu sebentar.”

“Saya tak mungkin menunggu, begitu juga anak saya. Tolong Pak panggilkan Dokter Hardjo sekarang juga. Saya tidak mau terjadi sesuatu hal pun pada putri saya.”

“Tenang pak, tenang Dokter Hardjo pasti kemari. Hanya saja..”

Laki – laki itu menggerung menahan amarah tapi akhirnya, “Saya akan menuntut rumah sakit ini jika sampai terjadi sesuatu dengan putri saya. Paham ?” Laki – laki itu tak cuma menggertak, dia mengulurkan lengan tangannya yang hitam kekar dan mengangkat leher Laki – laki perawat itu. Laki – laki perawat yang lain segera menghampirinya.

“Sabar Pak, sabar, Dokter Hardjo sedang menuju kemari. tak ada gunanya menyelesaikan masalah dengan persoalan baru.”

Semua memandang ke arah gadis kecil yang hanya berbalut kulit. Perut buncitnya mengatakan jelas, gadis kecil itu tak sehat. Wajahnya tak lagi merah tapi hijau pucat kekuningan. Nafasnya tersengal – sengal, satu lalu undur kembali dan mulai satu. Seseorang menyeruak dari balik kerumunan. Pak Budi tersenyum lega, juru selamat itu sudah ada didepannya. Sebentar lagi, putri kecilnya akan tersenyum lebar dan kembali bermain sedia kala. Memintanya untuk mendongeng cerita kesukaan dan merengek dibelikan buku petualangan kesayangannya.

Dokter yang usianya tak lebih muda dari Pak Budi itu secepatnya meraih stateskop. Menempelkan ekornya yang bercabang di kedua belah telinganya dengan kepala berada didada gadis kecil itu. Dokter Hardjo merasakan sejenak detak jantung gadis kecil itu dengan jam di tangan kirinya. Dengan aba – aba dia minta seorang perawat mendekatinya.

“Tolong cek hb gadis ini segera.”

Perawat yang disuruh segera pergi dan kembali dengan spuit dan potongan kaca bening. Dengan cekatan diraihnya jari manis gadis itu dan segera aliran darah keluar menetes. Perawat itu meneteskannya di ujung sebuah potongan kaca dan segera membawanya pergi.

Tak ada reaksi dari gadis kecil itu, ketika spuit jarum menusuk jari manisnya pun ketika Dokter Hardjo mulai membuka baju bagian bawahnya. Perutnya yang membuncit seolah mendandakan dia adalah seorang penderita busung lapar parah. Perut itu sangat besar untuk ukuran gadis kecil itu, hingga setiap orang yang melihatnya pertama kalipun pasti dengan mudah akan mengatakan kalau gadis itu menderita cacingan atau penyakit perut yang lain..

“Dia panas ?” Tanya Dokter Hardjo pada Pak Budi.

“Tidak, kemarin katanya dia masih bermain – main. Bahkan tadi pagi dia masih sekolah, tapi dia pingsan saat bermain Dok.”

“Pingsan ?”

“Ya.”

“Dia makan sesuatu ?”

“Tidak, seperti biasanya dia makan empat hingga lima kali sehari. Makannya juga menyenangkan, malah boleh dikatakan lebih banyak dari teman seusianya.”

to be continued ...........

No comments: