Sunday 20 May 2007

Stoples Milik Eyang

Lebaran masih beberapa hari lagi tapi Eyang sepertinya sudah kehabisan waktu untuk mempersiapkannya. Seharian yang lalu Eyang sibuk menyuruh Yu Pah dan Yu Poni untuk menumbuk kopi, bakal seduhan minuman kesukaan Pakde Slamet dan Om Yan. Eyang bahkan mengawasi langsung ketika Yu Pah menggorengnya. Disisi pawon Eyang sibuk memberi intruksi kapan kopi harus dibalik, diberikan sedikit kelapa dan berapa banyak kayu bakar yang harus dimasukkan ke lelengan pawon hingga api yang diinginkan pas dengan ukuran. Biasanya Eyang menggoreng kopi dan menumbuknya sendiri. Walaupun memakan waktu yang lebih lama tapi Eyang selalu puas dengan hasilnya. Kopi Eyang selalu jadi bahan obrolan sepanjang lebaran. Tidak ada duanya, khas rasanya, sip lah, ok lah dan sejuta pujian yang lain.

Selain kopi ada banyak hidangan yang Eyang persiapkan untuk menyambut kedatangan anak, menantu dan cucu – cucu tersayangnya. Maklum, keluarga Eyang keluarga besar. Mereka tersebar ke seluruh Indonesia, bahkan hingga bermukim di Australia. Dan seperti diketahui mudik selalu jadi rutinitas liburan lebaran yang tidak boleh terlewatkan. Hukumnya wajib dan tak terbantahkan.

Seperti Lebaran tahun – tahun sebelumnya, Eyang sudah mempersiapkan banyak kue dan bakal hidangan tahan lama khasnya. Kue Cucur untuk Pakde Jupri yang datang dari Jepara, Kue Banjar khusus untuk Pakde Ponco yang bertugas di Sampit, Kembang Goyang kesukaan Om Hadi yang setiap lebaran pasti akan terbang langsung dari Australia, Serabi Notosuman buat Om Yan yang cuti bertugas dari Papua sedangkan untuk Bapak, sebuah stoples paling besar berisi kue ting – ting kacang. “Buat Werkudaraku harus yang paling besar,” Kata Eyang yang suka sekali mengatakan anak – anaknya adalah para Pandawa Lima dan sekarang kue – kue itu sudah tertata apik di stoples – stoples kaca besar dan bening yang sejak minggu pertama puasa sudah dicuci bersih dan di lap keringkan. Mirip aquarium hanya isinya makanan.

Eyang memandangi stoples – stoples cantik itu dengan masgul. Aku mendekatinya, sekilas Eyang tampak resah. Dia menghela nafas panjang hingga dadanya yang menipis kelihatan tertarik kebelakang, “An, kenapa Pakde – pakdemu, Bapakmu dan juga Om mu pada belum datang ya ?”

Aku berkernyit heran, “Datang ? lebaran masih lama Yang. Masih dua hari lagi. Lagipula biasanya mereka baru datang saat takbir sudah berkumandang.” Sambil berkata kuraih stoples yang berisi kue kembang goyang dan menaruhnya di sisi terluar. Jujur saja diantara isi stoples – stoples itu, kembang goyanglah yang tampak menarik warna – warninya menggoda. Hijau muda, kuning dan merah jambu. Yang lain melulu coklat dan kusam.

Eyang menatapku tak senang, “Sembrono,”

Aku terjingkat, nada bicara Eyang mendadak berubah. “Napane Eyang yang sembrono ?” aku berusaha menetralisir suasana dengan menggunakan bahasa jawa. Biasanya suasana hati Eyang akan luntur kalau aku gunakan jurus itu.

Eyang menarik stoples kembang goyang dari pelukanku dan kembali meletakkannya ketempatnya semula. Urutan keempat dari sisi terluar. Persis seperti urutan semula.

“Ini sudah Eyang letakkan sebagaimana harusnya ! jangan diowahi lagi !” tukas Eyang sembari pergi. Kuikuti wajah kondenya hingga hilang di balik horden ruang belakang.

Aku kembali mengamati deretan stoples – stoples itu. Stoples yang tiba – tiba saja membuat Eyang tak betah berlama – lama di dekat ku, yang membuat Eyang membentakku tak senang. Kue Cucur, Kue Banjar, Kembang Goyang, ting – ting kacang dan Serabi Notosuman semuanya berderet – deret memenuhi meja. Bahkan bale – bale mungil untuk jumeneng Eyang sehabis salat Ied dan menerima sungkeman dari seluruh anggota keluarga.

Lebaran pertama rumah sepi ini harus selalu berubah menjadi ramai. Lima anak Eyang semuanya laki – laki dan semuanya berada jauh di luar kota. Hanya Eyang dan aku cucu dari anaknya yang ketiga yang berada di rumah ini, menemaninya melewati hari tuanya. Eyang dahulu bekas kepala sekolah perawat jaman belanda. Tak heran kalau beliau sangat disiplin dan selalu menjaga kebersihan. Rumah yang kami huni sebenarnya bukan rumah modern melainkan rumah kuno dengan gaya dan arsitektur jaman belanda. Pintunya dua kali lipat tinggi badanku. Temboknya tebal dan daun pintunya berat, tapi karena Eyang tak pernah lalai merawatnya, rumah ini kelihatan jauh lebih klasik dan nyaman. Bunga – bunga di taman depan, samping dan belakang tak pernah berhenti bermekaran. Dan yang menjadi favoritku adalah Patung dewa aquarius yang terletak disudut taman dia tak pernah berhenti mengalirkan air dari kendinya. Kata Papa, patung itu sudah ada sejak dia kecil dan konon sengaja dibawa dari Muntilan atas pesanan Eyang Kakung.

Eyang memanggilku, memintaku untuk memeriksa apakah kue – kue dalam stoples itu masih utuh ataukah sudah berkurang. Jujur saja aku ingin tertawa mendengar permintaan Eyang, andai saja aku punya sedikit keberanian pasti aku akan mengatakan kalau saja stoples – stoples itu berisi gula – gula bisa dipastikan kalau semut sudah menyerbunya habis dan tanpa harus memeriksanya stoples – stoples itu pasti sudah berkurang isinya.

Aku hanya mengiyakan, kuhampiri stoples – stoples itu dan berlagak memeriksanya, padahal yang sebenarnya aku cuma membungkukkan badan dan mematut – matut bayangan wajahku yang tergambar jelas di kaca stoples walaupun sekarang wajahku dipenuhi oleh gambaran minyak. Aku tersenyum, dan mulai berhitung, lebaran masih dua hari lagi dan stoples – stoples ini sudah dipenuhi oleh makanan, masing – masing sudah punya tangan favorit yang akan memegang dan mulut tersendiri yang akan mencicipinya dan dideretan ini tak ada makanan atau stoples favorit yang Eyang sediakan untukku. Tapi pikiran itu hanya sekilas mengusikku, toh aku malah bisa dengan mudah mencicipi isi stoples manapun, walaupun semuanya hingga kini tak mengusik rasa inginku.

Aku kembali mendapati Eyang yang masih membenarkan letak sanggulnya – hal yang paling aku sukai adalah berada di dekat Eyang, Eyang perempuan klasik yang menurutku sangat unik dan eksentrik, Dia tak pernah lupa menanamkan bunga kantil pada untaian rambutnya yang dikonde, merapikan sirih dan membumbuinya sebelum mengunyahnya, memasukkan dupa ratus wangi ke dalam kamar mandi bersamanya saat mandi, bertapih dan berkebaya terawang tapi herannya tak pernah sekalipun Eyang masuk angin atau diare, padahal usia Eyang sudah hampir menginjak tujuh puluh tahunan.

“Yang, stoplesnya masih utuh, tapi isinya ...” Kataku hati – hati.

Eyang menghentikan penyisirannya dan meletakkan cemoro di atas meja rias dan menatapku menunggu.

“Tapi isinya masih utuh kok Yang,” Kataku meneruskan dan tertawa lebar. Aku takut Eyang marah kalau aku tak segera menjelaskan.

“Bocah, bercanda saja.” Eyang mengumpat. “Coba sekarang kamu telpon Pakde, Bapakmu dan Om – Om semua. tapi jangan, sebaiknya Eyang sendiri yang akan telepon menanyakan kapan mereka mau pulang. An, kamu pencetkan nomor mereka, biar Eyang sendiri yang bicara.”

Telepon ? Eyang ingin telepon ? Ah gawat, Eyang pasti akan lupa waktu dan berlama – lama bicara, dengan telaten akan ditanyakannya kabar dari semua keluarga yang dia telepon. Padahal, tempat tinggal Pakde dan Om semua harus pakai SLI atau SLJJ. Dan bisa ditebak, bulan depan Eyang pasti menanyakan, kenapa rekening telepon melonjak banyak. Eyang menatapku, aku menurut, kuangkat telepon flexi dan membawanya lebih dekat ke tempat Eyang berada.

“Eyang sudah kangen sekali ya ?”

Eyang memandangku, “Eman dengan stoples itu.” bisik Eyang dan kembali mendengarkan nada sambung di telinga kanannya.

Aku terperanjat, Eyang telepon hanya kerena stoples itu ?

@@

Aku baru saja selesai cuci muka dan berniat untuk wudhu ketika Eyang berteriak – teriak memanggilku dari dalam kamarnya. Hari ini akan menjadi hari yang sangat melelahkan, Lebaran besok pagi, itu artinya aku harus segera berbenah. Pakde, Bapak dan semua keluarga besar akan tiba hari ini. Padahal Yo Pah dan Yu Poni sudah pulang kampung sejak kemarin sore. Eyang kembali memanggilku, kali ini mungkin dengan mengerahkan sebagian besar tenaganya. Secepat kilat aku melangkahkan kaki ke kesana. Tidak seperti biasanya, Eyanglah yang terlebih dahulu bangun, terkadang dialah yang membangunkanku untuk sholat atau mengajakku menemaninya duduk dan minum kopi di teras samping, tapi ini lain, atau mungkin tadi Eyang telah bangun dan tidur kembali. Ataukah kondisi Eyang kurang fit tapi tak mungkin, Eyang tak gampang sakit.

Kubuka pintu kamar Eyang yang ternyata tak terkunci. Gelap gulita, mungkinkah bohlam lampunya mati atau kucoba menekan – nekan steker lampu ternyata hasilnya nihil, lampu tak juga menyala. kubuka pintu lebar – lebar, sial lampu ruang tengah terlalu temaram untuk bisa melihat kedalam kamar Eyang. Kucoba membiasakan mataku untuk beberapa saat dan kulihat Eyang sedang merintih kesakitan.

“Yang, Eyang kenapa ?” Tanyaku cemas, tak biasanya Eyang seperti ini.

“Eyang menutup wajahnya dengan lengan kanannya, sedangkan tangan kirinya berpegangan kuat pada sisi tempat tidur. Eyang tak menjawab hanya merintih kesakitan.

“Yang, kita ke dokter ya ? biar An panggilin taksi.” Eyang tak menjawab. Aku panik, apalagi setelah itu terdengar erangan Eyang yang menyayat hati. Kuurungkan niatku untuk memanggil taksi. Kuraih selimut yang merosot kebawah dan membetulkannya kembali menutupi tubuh Eyang tapi Eyang menendangnya seketika hingga selimut itu kembali luruh ke bawah. Mungkin Eyang kegerahan. Kuraih tangan kiri Eyang yang ternyata sangat kuat berpegangan pada sisi tempat tidur, saat itulah aku baru sadar kalau Eyang sedang dilanda kesakitan yang teramat sangat. Aku mulai membisikkan kalimat pemandu pada Eyang yang segera mengikutinya.

Perasaanku bercampur aduk, saling bergulat dan membelit dalam hati. Genggaman tangan Eyang akhirnya mengendur, saat itulah aku merasa jiwaku sudah keluar meninggalkan ragaku, sebetik airmata bergulir di pipiku. Eyang sudah tiada.

Kupanggil Pak Jo, pesuruh kami, setelah segenap kekuatanku terkumpul dan perasaanku kembali tertata. Pak Jo segera mengganti bohlam lampu itu dengan cekatan. Pria tua yang tak banyak bicara, seperti itulah yang dikehendaki almarhumah Eyang.

“Sudah Mbak,” Kata Pak Jo.

“Tolong nyalakan Pak.” Kataku lirih, walaupun aku berusaha menahan, airmata itu tetap tak berhenti mengalir, ada banyak kenangan dan keinginan yang terlepas dengan kepergian Eyang. Sesuatu yang ingin kuratapi dan kusesali sekaligus ingin kuikhlaskan saat itu juga sekalipun berat.

Pak Jo menekan steker dan seketika ruangan dipenuhi cahaya. Pak Jo terkejut mendapati keadaanku dan juga keadaan Eyang yang telah sempurna. dan aku lebih terkejut karena disamping Eyang berderet – deret stoples cintanya untuk anak – anaknya.

@@

April 07 : Untuk stoplesku

sampai kapan akan mengurungku ?

No comments: