Sunday 20 May 2007

"SKENARIO"

Aku berteriak marah, tak ada seorangpun yang berhak menulis skenario hidupku, tak ada tidak juga mereka Polisi, Wartawan dan juga Atasan – atasanku. tapi teriakkanku luruh ditelan gemuruh air terjun yang mengalir deras. Aku memilih berlari, daripada menghadapi arogansi mereka. Aku tak ingin kemarahanku hanya berujung kemarahan yang mendendam, walaupun aku bukan siapa – siapa.

Aku adalah Khabil, anak manusia yang harus terbunuh karena keserakahan Habil saudaranya sendiri. Hanya saja, kenapa mereka memilihku untuk membunuhku pelan – pelan dan bukannya memuntahkan peluru tepat diatas kepalaku ? atau mungkin lebih baik mereka menghujamkan mata belati itu tepat di ulu hatiku, dengan begitu dalam hitungan detik rohku akan melesat meninggalkan ragaku, tanpa kesakitan yang berarti. Seketika aku telah menjelma menjadi tambang emas yang menggiurkan tanpa harus berpanas – panas mendulang satu – dua gelas air limbah dan memutarnya seharian.

“Itu bukan skenario kami, melainkan skenario Tuhan.” teriak salah seorang diantara mereka. Aku menjerit histeris, bahkan mereka telah membawa – bawa nama Tuhan. Demi Tuhan, mereka sungguh jahanam ! Aku menangis, menggulung tubuhku dalam lumpur penyesalan. Kalian semua biadab, kalian putuskan benang harapan seorang manusia, kalian terbangkan layang – layang pengharapan anak – anak yang menantikan kasih Ibunda.

Terbayang olehku wajah polos kedua anakku, bagaimana harus kuhadapi tatapan bening mereka saat menagih kasih. Aku tak kuasa, kemarahan membelengguku. Mengikatku dengan jeratan kegusaran yang dalam.

“Kamu terlalu emosional Nduk, bukankah sudah kukatakan kamu jangan lakukan itu, itu hanya akan menyengsarakanmu, seharusnya....” Laki – laki sepantaran Almarhum Ayah yang botak itu tiba – tiba datang bagaikan angin beliung yang menyebalkan sekaligus memuakkan. Wajahnya berkilat dipenuhi oleh minyak dari makanan yang tak halal, mengingatkanku pada patung cina yang pendek, gemuk dan berisi.

“Diam !” Potongku, kejadian ini sudah cukup untuk mengajariku. “Tak ada lagi yang berhak untuk mengguruiku !” Aku menolak sekuat tenaga, tapi sia – sia, wajah misionaris yang sengaja dikirimkannya untukku itu kembali tersenyum lebar. Kalian benar, kalian adalah pemburu yang dipersiapkan untuk berburu manusia sepertiku, yang bahkan dalam keadaan terikat dan tak berdayapun masih kalian todongkan senjata untuk di rampok dan diperas.

“Biarpun kamu terima atau kamu menolaknya, aku tak akan pernah merugi Nduk.” Bisiknya lirih, seolah angin sepoi tapi terdengar jelas di telingaku.

Aku tersenyum sinis, “Tentu saja karena kalian memang bangsat licin dan terkutuk.” Kataku tak kalah lirih. “Apa yang kau bawa ?”

“Aku membawa pesan dari luar penjara, katakan kau mau mendengarnya. Jangan sampai aku bicara sia – sia.” Sekali lagi batinku mengutuk, bangsat licik, jahat dan terkutuk.

“Katakan aku akan mendengarnya.” Kataku memalingkan wajah. Kuangkat daguku tinggi – tinggi, kuletakkan kakiku ke atas kursi tunggu tamu sel jahanam. Tak ada ruginya aku berbuat tidak sopan, walaupun sudah terlalu sering kudengar keberatan mereka dengan orang – orang yang meremehkan.

“Beri mereka uang, dan semuanya akan selesai persis seperti yang engkau kehendaki. dan jangan sampai kamu berteriak meminta pertolongan, pasal yang akan dikenakan untukmu akan diperberat.” Bisiknya tepat di dahiku hingga seketika kata – kata itu menempel dan tak akan pernah lagi terlepas untuk selamanya. Kutatap wajahnya yang licin dan senyumnya yang ringan seolah dia sedang menikmati sebuah permainan yang menyenangkan. Ujung – ujung jarinya membentuk isyarat tertentu menunjukkan sejumlah bilangan.

Aku tertawa, berusaha untuk tampak lebih licik dan angkara. “Kau pikir aku akan sebodoh itu ?” Bisikku dalam hati. Aku bagian dari mereka, aromaku sama seperti aroma mereka, wajahku mungkin juga seperti wajah mereka – hanya mungkin tak terlalu licin dan berminyak, hingga ayunan langkah merekapun sudah tertebak dan terangkai dalam otakku. Sebuah trap dan jebakan yang dikhususkan untukku. Bidak demi bidak, seperti rangkaian rel kereta api yang saling bertaut. Sederhana tapi rumit. Mereka pasti berharap agar aku melewatinya dan hup aku terjerumus hingga tak akan pernah bisa bangkit.

Tapi aku tak pernah takut, sekalipun pada ancaman – ancaman yang telah mereka buat dan perberat. Aku merasa tubuhku seringan kapas ketika kulminasi penyesalan menimpaku. “Sebaiknya kamu pulang, kamu salah alamat, datang padaku. aku tak punya cukup harta berharga untuk ditukar dengan semua omong kosong itu, pun seandainya aku punya lebih baik kubeli pendulum keadilan daripada kuberikan pada kucing – kucing garong itu.”

Kata – kata yang ngawur dan jelas membabi buta. Bagaimana jika manusia – manusia busuk yang kusebut kucing garong itu mendengar aku bicara ? pasti akan lebih buruk akibatnya untukku, pasal – pasal dalam lembaran rekayasa itu akan segera mendapatkan cairan tip ex yang tumpah tanpa pertimbangan keesokan harinya. Atau mungkin besok pagi, sebilah belati akan terhunus di depan leherku.

Laki – laki sebaya Ayah itu menganggukkan kepala segera setelah puncak kesadarannya terkumpul dan menyimpulkan dia tak akan pernah mendapatkan apa – apa dariku. Dia menyerah kalah pada kegigihannya membujukku untuk tetap menutup mulut dan merahasiakan kedatangannya yang dikirim oleh Script Writter yang merasa berhak menulis tentang hidupku. Laki – laki itu pergi meninggalkan busuk tubuhnya yang tertinggal pada udara penjara.

Aku tersenyum lebar, aku memang tak mempunyai apa – apa yang berharga tapi Tuhan tak akan pernah meninggalkanku. Jikapun akhirnya datang sekumpulan penjual berita – yang hanya berisi tentang fitnah, isu dan gosip, semuanya sudah tertebak olehku. Dan mereka hanya menulis sesuatu yang buruk tapi cukup untuk membuat keluarga mereka berlega hati – dia mendapat upah dari berita fitnah itu, Berita tentang penganiayaan seorang perempuan yang mepertahankan harga dirinya dan sedikit dibumbui oleh kisah tragis yang sudah pasti bohong. Aku tiba – tiba saja menjadi seorang selebriti yang ceritanya dibawa oleh penikmat – penikmat berita koran beroplah ribuan itu.

Aku harus puas karena lagi – lagi aku tak pernah punya pembela yang benar – benar tulus membelaku dan berfihak padaku, karena aku tak pernah bisa membayarnya dan sebab lain adalah karena aku bukan siapa – siapa.

“Lihat, akibat keras kepalamu, kamu tak lagi tertolong.” Seseorang melemparkan halaman koran itu tepat didepan hidungku. Aku mendengus kesal, apalah artinya aku, sebuah titik dalam selembar surat kabar, nol tak ada ! Sebuah rumput di Padang rumput luas, tak akan pernah bisa mengubah kehidupan sekalipun harus dicabut, diinjak atau dilenyapkan !

Kututup mataku rapat – rapat, tempat ini benar – benar salah sekalipun benar bukan, bukan tempat ini yang salah melainkan skenario hidupku terlalu menarik untuk tidak diinginkan. Mereka ingin menambakan koma, titik bahkan jika dan seandainya dalam deretan kalimat dan plot alur ceritanya. Tangan – tangan kejam dan tak berkemanusiaan itu ingin menuliskan sesuatu dalam lembar – lembarnya, continued walaupun seharusnya tamat, more seharusnya end. Sebelum tab dan enter.

Aku merasa jijik ketika tubuh tua yang – aku selalu berdo’a dia lebih cepat mampus, mungkin sebab wajahnya sudah menghitam gosong terpampang matahari saat berjemur menunggu mangsa, itu memnghampiriku, membentakku dan menanyakan apa aku mengakui kesalahan yang telah kuperbuat.

Aku tersenyum lebar, “Ya, aku akui kesalahanku, walaupun aku lakukan kesalahan itu karena dia telah bersalah kepadaku dan aku harus membalasnya.”

Laki – laki tua itu tidak pernah sepakat dengan kalimatku, menurutnya vocabulary ku benar – benar payah dan nilai bahasa Indonesiaku dulu mungkin dibawah enam atau lima, walaupun aku merasa bukan itu, tapi karena pelajaran idealisme kehidupanku – dalam sub keegoan, yang terlalu berlebih nilai.

Seketika, penglihatan, pendengaran dan perasaan berubah. Aku bukan koruptor, pencuri, perampok dan pemalak pinggir jalan tapi kabar dari neraka dunia mendenging hebat di telingaku. Mengabarkan sakaratul maut tanpa kematian yang segera akan datang.

Dan akibatnya aku harus dihukum, “Aku tolak pengacara yang akan membelamu.”

Aku tersentak, tapi seketika aku harus puas. Inilah aku, disinilah aku seharusnya dengan seluruh idealisme dan ke egoanku yang berlebih nilai. Tak ada yang harus kutukar, uang, harta, lembar berharga, tanah, dengan harga diri. Aku hanya tak mau mereka menuliskan skenario hidupku sekalipun mereka merasa berhak dan mau. Aku bukan siapa – siapa karena itu pula aku tak pernah takut dinginnya dinding penjara dan ganasnya sengatan nyamuk untuk sebuah idealisme dan harga diriku.

Aku bahkan bisa menebak, setelah dua laki – laki sepantaran Ayahku itu akan datang kembali misionaris – misionaris yang diutus untuk memngabarkan sebelum skenario film hidupku tertulis dengan airmata darah anak – anakku yang tak akan pernah bisa terhapus. Tapi aku tetap tertawa lebar, “Semua boleh meninggalkanku tapi Tuhan tak akan meninggalkanku.”

##

17-04: 23.16

Untuk : Sony SET.

No comments: